Ali Mazi dan Lukman; Tidak Ada Keuntungan dari Sebuah Konflik, Rujuklah!

Pena Opini683 views

Oleh: Hidayatullah

Ketidakharmonisan hubungan antara Gubernur Sultra Ali Mazi dan Wakil Gubernur Lukman Abunawas yang mencuat melalui pemberitaan media kemarin ditengarai akibat pelantikan pejabat administratur atau eselon II dan III Pemprov Sultra yang dipimpin Gubernur Sultra Ali Mazi pada tanggal 7 Januari 2019 dengan tidak melibatkan Wakil Gubernur Lukman Abunawas.

Ketidakharmonisan baik di awal pemerintahan maupun di tengah jalan antara kepala daerah dan wakilnya selalu berulang yang juga terjadi dibeberapa daerah lainnya. Perpecahannya selalu didasari motif dan gaya yang sama.

Ini soal relasi hubungan antara kepala daerah dan wakilnya terjadi akibat persaingan untuk memperebutkan pengaruh, simpati, pembagian kekuasaan, serta pengingkaran komitmen bersama disaat masa-masa kampanye Pilkada. Bahkan perpecahan itu disebabkan juga orang-orang terdekat yang ikut memanasi keadaan dengan motif tertentu. Bahkan senang hidup dengan konflik pimpinannya.

Padahal, kalau kita lihat ketokohan, karakter pribadi dan hubungan sosial masing-masing antara Gubernur Ali Mazi dan Wakil Gubernur Lukman Abunawas adalah tokoh-tokoh panutan yang penuh dengan kearifan, kebijaksanaan dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Saya sangat menyayangkan adanya ketidakharmonisan ini.

Apabila ini berlarut bisa menjadi bola liar, bias politik, dapat melahirkan bibit perpecahan yang mengarah pada isu SARA dan terutama dapat mengganggu stabilitas roda pemerintahan, pelayanan publik serta tujuan reformasi birokrasi tidak tercapai.

Ketidakharmonisan ini begitu nampak didepan publik melalui pemberitaan dibanyak media. Hal ini apabila tidak dikelola dengan baik oleh kedua belah pihak akan berdampak buruk bagi rakyat, bagi aparat birokrasi dan bagi para pihak yang berseteru itu sendiri.

Bagi kami JaDI Sultra sebagai salah satu komponen civil soceity di Sultra tentunya menjadi tidak nyaman dengan situasi konflik seperti ini. Kami tentu khawatir jangan sampai aktivitas kontrol sosial kami nanti dianggap bagian yang manasin situasi.

Jangan sampai statemen kami nanti berkaitan problem apa saja dianggap berada di kaki yang lain untuk menginjak kaki yang lain. Tidak ada keuntungan sama sekali dari konflik itu. Luka maupun derita yang diakibatkan oleh sebuah konflik politik dan kekuasaan yang paling menderita itu rakyat. Dan semua biaya konflik pasti rakyat pula yang menanggungnya.

Kami berharap semoga bisa ada titik temu, harus rujuk kembali dengan hasrat untuk kembali bekerja sama. Kalau ada masalah diurailah seobyektif mungkin agar hubungan baik tetap terjaga demi kepentingan bersama dan daerah yang kita cintai ini.

Kalau konflik dibiarkan berlarut masalahnya nanti jadi benang kusut, mengurainya akan sulit karena pasti banyak pihak yang akan selalu memanas-manasin. Jadi perlu menurunkan tensi konflik dan bagimana upaya yang bijaksana meredakan ketegangan.

Kalau cara rujuk tidak bisa karena soal adanya pengingkaran komitmen, maka metode pemecahan masalahnya adalah tawar menawar saja untuk menyelesaikannya dengan menggabungkn berbagai kebutuhan kedua belah pihak. Bahkan pembagian kekuasaan juga sudah diatur sebagaimana dalam Pasal 65, 67, 67 dan 68 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda berkaitan dengan tugas, wewenang, kewajiban dan hak Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Hal lain juga dapat dibangun proses komunikasi, bisa terjadi seperti bertukar informasi berdua lewat telponan dan saling berkunjung berdiskusi berdua membahas isue, fakta, juga bisa saling curhat perasaan. Tentunya kalau sudah sering bertemu berdiskusi berdua para pimpinan kita pasti akan mampu memperlihatkan berbagai macam solusi untuk menimbulkan rasa saling percaya. Kemudian pasti dapat menghadirkan berbagai alternatif pemecahan masalah dengan keuntungan berimbang di kedua belah pihak.

Sedangkan pihak-pihak dilingkaran terdekat AMAN (Ali Mazi-Lukman Abunawas) agar bersikap bagaikan ‘burung pipit’ Nabi Ibrahim yang walaupun tidak memadamkan api Raja Namrud paling tidak ada upaya untuk memadamkannya.

Jangan ada yang jadi ‘cicak’, yang ikut menghembuskan api Raja Namrud untuk membakar Nabi Ibrahim.(***)

Penulis: Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Sultra