Menilik Kasus Oknum ASN Pemprov Sultra yang Terjerat Narkoba untuk ke-4 Kalinya

Oleh: Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H., M.H.

Masalah narkotika masih menjadi isu yang sangat sentral di Indonesia. Menelisik laporan pada Indonesian Drugs Report tahun 2020 oleh Badan Narkotika Nasional menunjukkan total kasus narkotika jenis sabu mencapai 33.442 kasus dengan 43.637 pelaku. Data ini terlihat melonjak naik bila dibandingkan pada laporan tahun 2021 dimana angka kenaikan kasus narkotika jenis sabu tersebut naik hingga 3000-an kasus, yakni 36.533 kasus sedangkan pada pelaku naik hingga 5.000-an pelaku, yakni 48.228 pelaku.

Meningkatnya jumlah kasus dan pelaku tindak pidana narkotika jenis sabu dalam jangka waktu setahun ini menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar bagi Indonesia saat ini, apa lagi bila melihat penghuni Lapas dan Rutan yang ada di seluruh penjuru tanah air setengah dari penghuni tersebut adalah berasal dari tindak pidana narkotika.

Sulawesi Tenggara (Sultra) juga menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang terjerambab dalam kubangan hitam kasus tindak pidana narkotika. Meskipun Sultra tidak masuk dalam 10 top data kasus narkotika per-provinsi pada Indonesian Drugs Report baik tahun 2020 maupun tahun 2021, tetapi jika melihat data pada Badan Pusat Statistik Provinsi Sultra jumlah tersangka kasus narkotika pada tahun 2020 mencapai total 479 pelaku. Hal ini naik lebih dari 200 pelaku bila dibandingkan pada tahun 2019 yakni 299 pelaku.

Langkah aparat penegak hukum di Sultra dalam rangka melakukan penindakan terhadap peredaran dan penyalahguna narkotika perlu mendapatkan apresiasi. Belum lama ini, pihak kepolisian Sultra kembali menangkap pelaku tindak pidana narkotika dengan inisial DSS, yakni salah satu Aparatur Sipil Negara dilingkup pemerintah Provinsi Sultra. Bersama dengannya ditemukan barang bukti 5 sachet narkotika jenis sabu dengan berat 2,17 gram. Menariknya, penangkapan terhadap tersangka DSS ini adalah yang ke-4 kalinya dalam kasus yang sama, yakni tindak pidana narkotika.

Mestinya Menggunakan Pasal Residiv

DSS dijerat dengan Pasal 114 ayat (1) subsidair Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang mana ancaman pidana pada Pasal 114 ayat (1) adalah minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun. Sedangkan pada Pasal 112 ayat (1) adalah minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun. Menariknya, pada kasus DSS ini kepolisian tidak menggunakan pasal penyalahguna narkotika di dalam Pasal 127.

Terlepas dari itu, seharusnya pihak kepolisian tidak hanya menggunakan Pasal 114 atau Pasal 112), penulis berpendapat seharusnya pada kasus DSS juga menggunakan pasal pengulangan tindak pidana narkotika yang termuat di dalam Pasal 144 UU Narkotika, pasalnya DSS adalah termasuk dalam residiv narkotika. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Kasubdit III Ditresnarkoba Polda Sultra bahwa DSS baru saja keluar dari Lapas Kelas IIA Kendari pada tahun 2020. Selanjutnya juga berdasarkan putusan pengadilan dengan terpidana DSS nomor 577/Pid.Sus/2019/PN/Kdi, dimana DSS dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun 3 bulan dimana dianggap terbukti melakukan tindak pidana narkotika sebagai penyalahguna.

Oleh karena pengulangan tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh DSS ini tidak lebih dari 3 tahun, maka semestinya bisa menggunakan ketentuan Pasal 144 UU Narkotika yang mana ketentuan ini menyaratkan jika seseorang melakukan pengulangan tindak pidana narkotika dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun, dalam perkara DSS, ia bebas pada tahun 2020 dan melakukan tindak pidana narkotika kembali pada tahun 2022 sehingga termasuk dalam syarat residivis yang dimaksudkan di dalam UU Narkotika.

Konsekuensi yuridis dari penggunaan Pasal 114 ini adalah pada ancaman sanksi pidananya yang dapat ditambah 1/3 dari pidana maksimum jika terbukti melakukan Pasal 114 atau Pasal 112, bahkan jika fakta menunjukkan bahwa DSS tidak terbukti menggunakan Pasal 114 atau Pasal 112, melainkan pasal penyalahguna narkotika di dalam Pasal 127 masih terakumulasi di dalam ketentuan Pasal 144 sehingga menjadi pemberatan pidana.

Status ASN

Selain penggunaan ketentuan Pasal 114, yang menjadi perhatian juga adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Menelisik UU ASN tentang pemberhentian PNS, bahwa PNS dapat diberhentikan karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan atau pidana umum atau juga diberhentikan karena dihukum penjara karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.

Menariknya pada kasus DSS di tahun 2019 yang lalu yang mana ia dijatuhi vonis hakim dengan 2 tahun 3 bulan penjara yang apabila ditarik korelasi dengan ketentuan pemberhentian PNS menurut UU ASN, maka seharusnya memenuhi kualifikasi yang disebutkan oleh UU ASN yakni diberhentikan jika pidana penjaranya adalah minimal 2 tahun, namun pada kasus penangkapan kali ini ternyata DSS masih berstatus sebagai ASN dilingkup Pemerintah Provinsi. Mengapa bisa demikian? Tentu hal ini menarik pun untuk di diskusikan.

Terlepas dari itu semua, maka pada kasus yang menjeratnya kali ini, UU ASN juga mestinya menjadi perhatian utama dalam penegakan ke depan.

Penulis merupakan pemerhati hukum

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *