Pemulihan Hak Korban “Binary Option”

Pena Opini764 views

Oleh: Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H., M.

“In quo quis delinquit, in eo de jure est puniendus”. Artinya, setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum apapun patut dihukum.

Postulat hukum tersebut mencoba menggambarkan bahwa dalam kehidupan sosial manusia terdapat kaidah-kaidah yang menjadi pedoman dalam berperilaku yang mana kaidah-kaidah tersebut berisi perbuatan-perbuatan yang seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukan. Melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan atau suatu perbuatan yang dilarang oleh kaidah-kaidah tersebut akan memiliki konsekensi terhadap tindakan tersebut baik itu berasal dari dalam diri manusia, ataupun berasal dari luar diri manusia seperti pemberian sanksi masyarakat secara tidak resmi maupun pemberian sanksi oleh negara secara resmi.

Kaidah-kaidah tersebut coba terus diatur seiring dengan perkembangan teknologi yang kian berkembang begitu pesat. Sebagaimana adagium hukum yang sangat terkenal berbunyi “het recht hinkt achter de feitan aan” yang berarti hukum itu selalu tertinggal dari peristiwanya. Untuk itu, pedoman berperilaku dalam konteks ini adalah pengaturan hukum perlu selalu disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Pesatnya perkembangan teknologi, berjalan beriringan dengan pesatnya modus operandi (cara melakukan suatu kejahatan) yang juga semakin canggih sehingga membuat nyaris tak terendus suatu perbuatan sebagai suatu kejahatan, seperti halnya kasus yang sedang ramai menjadi sorotan publik saat ini adalah kasus investasi bodong berkedok trading yang melibatkan beberapa afiliator.

Investasi merupakan bagian dari pasar modal, sehingga soal investasi bukanlah menjadi barang baru. Investasi baik itu berupa saham, obligasi, reksadana atau lainnya. Perbedaan investasi trading pada kasus binary option yang melibatkan afiliator Indra Kenz dan Doni Salmanan adalah berbeda dengan model investasi pada umumnya. Dimana pada kasus ini para investor cukup menebak harga aset itu naik atau turun pada platform yang sediakan. Tebakan oleh investor itu diberikan waktu pada 10 atau 5 detik terakhir. Apabila tebakan para investor itu benar, maka ia akan mendapat keuntungan. Jika tidak maka dana dari investor akan lenyap. Model investasi berkedok trading ini mirip dengan perjudian.

Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappeti) selaku lembaga yang memiliki wewenang terhadap perdagangan berjangka komiditi sebenarnya telah melakukan pemblokiran pada kurang lebih 1200-an platform yang dianggap sebagai trading illegal, termasuk platform Binomo yang digunakan oleh influencer Indra Kenz dan juga Doni Salmanan dengan platform Quotex-nya. Oleh karena itu, bila merujuk pada Pasal 71 UU No 10 Tahun 2011 jo UU No 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi bahwa bila tidak memiliki izin usaha yang dikeluarkan oleh Bappeti merupakan suatu tindak pidana dalam bidang perdangangan berjangka komoditi.

Dalam kasus investasi bodong berkedok trading ini, kerugian korban diperkirakan mencapai lebih dari Rp. 25 Miliar.

Pengajuan Ganti Kerugian

Dalam hal terjadi suatu kejahatan, korban adalah pihak yang merasa paling dirugikan, baik secara fisik, mental ataupun secara ekonomi. Untuk itu seharusnya dalam hal penegakan hukum terhadap suatu kejahatan, aparat penegak hukum yang bekerja Polisi ataupun Jaksa sebagai representatif perpanjangan tangan dari korban dalam hal menuntut keadilan atas kerugian yang dirasakan dan seharusnya tidak boleh mengabaikan posisi korban.

Namun demikian praktiknya korban acapkali termarjinalkan posisinya dalam menuntut keadilan atas kasus yang menimpanya. Ditambah lagi pengaturan yang mengatur tidak memberikan ruang yang begitu besar atas pemulihan hak korban. Pengaturan yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum formil saja tidak banyak menyentuh soal kedudukan korban. Dari sekian ratus ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP, hanya ada 4 (empat) pasal yang menyinggung soal korban.

Perhatian terhadap korban kejahatan yang acapkali terabaikan juga menjadi isu internasional. Hal ini sebagaimana dituangkan di dalam deklarasi PBB tentang korban yakni Declaration of Basic Principle of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power. Di dalam dalam deklrasi PBB tersebut memberikan beberapa perlindungan pada korban kejahatan salah satunya adalah soal “restitusi”. Restitusi merupakan suatu bentuk ganti kerugian oleh pelaku kejahatan kepada korban tindak pidana. Untuk itu, jaminan perlindungan ini mesti digunakan oleh para korban investasi bodong ini.

Lahirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada tahun 2006 sedikit memberikan angin segar terhadap kedudukan korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana. Pasalnya ketentuan yang ada di dalam KUHAP terlalu banyak mengakomodir kepentingan tersangka dibandingkan kepentingan korban. Dengan lahirnya UU No 13 Tahun 2006 perlindungan terhadap korban kejahatan dapat sedikit lebih lega dengan adanya beberapa bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan salah satunya juga soal ganti kerugian dari tindak pidana oleh pelaku kejahatan atau restitusi yang selanjutnya diatur dalam peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Prosedur pengajuan restitusi ini dapat diajukan sebelum atau setelah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap melalui LPSK.

Selain hal tersebut, para korban kejahatan investasi bodong ini juga bisa mengajukan penggabungan perkara pidana dengan ganti kerugian yang terdapat di dalam Pasal 98 KUHAP. Mekanisme ini cukup berbeda dengan pengajuan ganti kerugian melalui LPSK, penggabungan perkara ini hanya dapat diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan selambat-lambatnya sebelum mengajukan tuntutan pidana. Akan tetapi, jika ternyata Jaksa Penuntut Umum tidak hadir, permintaan penggabungan perkara diajukan selambat-lambatnya sebelum Hakim menjatuhkan putusan. Dengan kata lain, mekanisme ganti kerugian ini sebagaimana diakomodir di dalam KUHAP adalah dipelopori oleh Jaksa sebagai representatif dari korban kejahatan.

Preseden Perampasan Aset oleh Negara

Berkaca pada kasus investasi bodong pada tahun 2017 silam kasus First Travel yang menipu dan menggelapkan uang dari 63 ribu lebih calon jamaah umrah dengan total kerugian mencapai Rp. 905 Miliar yang mana pada putusan pengadilan menyatakan bahwa seluruh aset dari kejahatan itu dirampas oleh negara dan bukan dikembalikan kapada korban jamaah umrah.

Hal yang sama juga ditemui pada kasus Jiwasraya yang melibatkan PT. Hanson Internasional yang mana para ribuan investor tidak dapat mendapatkan uangnya kembali karena seluruh aset yang dimiliki oleh PT. Hanson Internasional telah diblokir dan dirampas oleh negara dengan dalih sebagai pengembalian kerugian negara.

Kasus-kasus tersebut telah menjadi sebuah preseden buruk dalam hal menyikapi kedudukan korban kejahatan yang berkaitan dengan kerugian ekonomi. Untuk itu terhadap kasus investasi bodong berkedok trading ini kemudian juga menjadi tanda tanya besar apakah aset-aset yang telah disita saat ini oleh Kepolisan akan dilelang dikemudian hari dan hasil lelang itu akan dikembalikan sepenuhnya pada para korban ataukah justru akan bernasip sama seperti pada korban kasus First Travel dan juga PT. Hanson Internasional?

Bila ternyata aset yang telah disita ternyata juga akan dirampas oleh negara seperti halnya kasus-kasus sebelumnya, maka para korban investasi bodong berkedok trading ini telah mengalami re-victimization, yang pertama menjadi korban terhadap investasi bodong berkedok trading, yang kedua menjadi korban oleh negara.

Penulis merupakan Alumnus Magister Ilmu Hukum FH UGM

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *