Budaya Kreatif

Pena Opini581 views

Oleh:
Wahyu Pratama
Ketua DPM FKIP UHO / Penulis lepas

Pagi itu seperti biasa selepas mengaji badha Subuh, Kyai Engko duduk dibale- bale dibawah pohon mangga arum manis. Tempat itu biasa digunakannya untuk bersantai sambil menikmati kopi kesukaannya. Tempatnya yang strategis karena berada ditengah pondok sehingga dia leluasa mengamati aktivitas para santri.

Selagi asyik menikmati kopi, salah seorang santri datang tergopoh-gopoh. “ada apa ?”, sergah kyai engko sambil mengelap bekas kopi yang menempel dibibirnya. “ada orang Yai, katanya dari kampung, sepertinya penting Kyai”, ujar sang santri menunduk takzim. “penting ?”, sergah Kyai Engko. “iya Yai”, santri tersebut menunduk tak kuasa menatap wajah Kyai Engko. “baiklah, kamu duluan saja, sampaikan tidak lama lagi saya ke rumah, saya bersih-bersih dulu”, kata Kyai Engko. Sisa kopi yang setengah gelas ditutupnya, lantas bergegas membersihkan diri di bak umum milik pondok.

Setiba dirumah, Kyai Engko bertanya pada Nyai Engko, “siapa yang datang Nyai katanya dari kampung”. Nyai Engko menyampaikan bahwa Pak La Ghumbo yang datang. “ooalah, La Umbo rupanya”, segera Kyai Engko beranjak menuju teras samping untuk menemui tamunya. Raut wajah girang nampak diwajah Kyai Engko. Namanya La Ghumbo, Kyai Engko karib memanggilnya La Umbo. Kyai Engko tidak tahu kenapa sahabatnya itu diberi nama La Ghumbo, tapi yang jelas di kampung keluarga La Ghumbo adalah pandai besi yang sangat dikenal selain karena kualitasnya yang baik, juga dikenal dengan harganya yang murah.

“Assalamu Alaikum”, sapa Kyai Engko ramah. “Alaikum salam”, sahut La Ghumbo sambil berdiri dan menatap sahabatnya itu. Kyai Engko adalah sahabatnya sejak kecil, mereka bertetangga, temannya bermain. Bahkan, saat mereka muda, La Ghumbo kerap kali curhat soal hubungannya dengan Wa Misi yang menjadi istrinya sekarang. Orang tua Kyai Engko merupakan Kyai Kampung, Khatib Kampung dan guru ngaji langgar. Saban sore, teras rumah orang tua Kyai Engko yang berfungsi sebagai langgar selalu penuh dengan anak-anak yang ikut pengajian. Diantara mereka adalah La Ghumbo dan La Engko yang sekarang telah memiliki pondok pesantren dan masyarakat memanggilnya Kyai Engko, kenang La Ghumbo terhadap sosok sahabatnya itu.

“Kapan tiba ?”, tanya Kyai Engko sambil memeluk sahabatnya itu. “tadi pagi, mau membawa jualan ini ke pasar”, ujar La Ghumbo sambil menunjuk sekarung parang, sabit, pisau yang diletakannya disamping kursi tempatnya duduk. “penjualan besi-besi ini sudah sulit, tidak seperti dulu. Saat ini pelanggan saya lebih senang menggunakan parang dan pisau stainless, harganya murah, membuatnya juga lebih cepat karena perapiannya menggunakan listrik. Jika dulu saya masih bisa menjual antara 10 sampai 20 maka sekarang syuku-syukur kalau bisa terjual 5 atau 7 barang”, keluh La Ghumbo. “Tapikan kamu menang kualitas, itu parang buatanmu yang kamu beri tempo hari sangat baik saya pakai”, ujar Kyai Engko. Dia masih ingat 2 tahun lalu dia diberi parang oleh La Ghumbo dan bertahan sampai saat ini. “pembeli sekarang tidak lagi melihat kualitas, yang penting murah, itu saja”, gerutu La Ghumbo.

Kyai Engko tertegun sejenak, dia memahami ada perubahan prilaku konsumen terhadap produk yang dibelinya. Apa yang disampaikan Gusdur tahun 90-an tentang trend perubahan prilaku masyarakat memang benar adanya.

Demam Fun, Food and Fashion sedang melanda masyarakat kita. Orang-orang sedikit demi sedikit seolah ingin mencabut akar asalnya. Sesuatu yang berbau tradisional sudah mulai ditinggalkan karena dianggap tidak mewakili kemajuan. Dalam NU ada kaidah fiqih yang disebut, al-muhafadzah alal-qadim al-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah. Melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai baru yang lebih baik.

Gerutuan La Ghumbo sebetulnya mewakili kegelisahan banyak orang yang ingin melestarikan tradisi yang baik dan masih dipegang teguh masyarakat kita. Disini, ada peran pemerintah sehingga tradisi yang baik dan tidak bertentangan dengan syariat agama dapat tetap lestari. Jika saja pemerintah dan masyarakat (termasuk Ormas keagamaan), pengusaha (Kadin dan sejenisnya) memiliki pandangan yang sama maka kerajinan tradisional seperti yang digeluti La Ghumbo dapat menjadi ikon ekonomi kreatif yang menjanjikan.

La Ghumbo tidak sendirian dalam melestarikan budaya pandai besi, masih banyak pelestari budaya seperti tenun, nentu, kuliner dan lainnya yang menunjukan identitas kebangsaan kita. Para pekerja budaya itu sebetulnya sedang menjaga identitas kita sebagai sebuah bangsa, bukankah ada pandangan bahwa budaya menunjukan bangsa.

Kekurangan seperti yang dialami La Ghumbo dapat diatasi dengan melakukan transformasi teknologi sehingga bisa lebih efisien dan mampu menekan biaya produksi. Dengan demikian produk-produk itu bisa kompetitif dengan produk sejenisnya. Pemerintah dengan kekuasaannya dapat membuat terobosan untuk menjaga agar budaya-budaya kreatif peninggalan leluhur dapat selalu terjaga.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *