Dilema Sekolah Tatap Muka

Pena Opini1,148 views

Oleh: Dewi Sartika

Kurang lebih delapan bulan virus corona melenggang di negeri kita, selama itu pula banyak cerita dan peristiwa yang terjadi. Yang tak kalah menyedot perhatian adalah adanya pembelajaran jarak jauh ( PJJ) yang memunculkan banyak drama dikalangan orang tua dan anak. Wacana pembukaan kembali sekolah di tahun 2021 seolah menjadi angin segar bagi orang tua yang darting ( darah tinggi) akibat PJJ.

Pemerintah melalui menteri pendidikan berencana akan membuka kembali sekolah di tahun 2021, sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengizinkan pemerintah daerah untuk memutuskan pembukaan sekolah atau kegiatan belajar tatap muka di sekolah di seluruh zona risiko virus corona mulai Januari 2021.

“Perbedaan besar di SKB sebelumnya, peta zonasi risiko tidak lagi menentukan pemberian izin pembelajaran tatap muka. Tapi Pemda menentukan sehingga bisa memilih daerah-daerah dengan cara yang lebih detail,” ungkap Nadiem dalam konferensi pers daring dikutip dari akun Youtube Kemendikbud RI, Jumat (20/10).

“Kebijakan ini berlaku mulai semester genap tahun ajaran 2020/2021. Jadi, bulan Januari 2021. Jadi daerah dan sekolah sampai sekarang kalau siap tatap muka ingin tatap muka, segera tingkatkan kesiapan untuk laksanakan ini,” lanjut dia.

Nadiem mengatakan keputusan pembukaan sekolah akan diberikan kepada tiga pihak, yakni pemerintah daerah, kantor wilayah (kanwil) dan orang tua melalui komite sekolah.

Ada beberapa opsi yang dikemukakan, jika sekolah kembali dibuka, seperti memberlakukan sistem shifting, membatasi jumlah siswa masuk, serta menerapkan protokol kesehatan. Salah satu negara yang sudah membuka kembali sekolah tatap muka adalah Denmark. Denmark merupakan negara pertama di Eropa yang kembali membuka sekolah dan penitipan anak. Pembukaan sekolah telah dilakukan sejak 15 April, di mana anak-anak yang diizinkan kembali ke sekolah adalah mereka yang berusia 2 hingga 12 tahun ( Kompasiana.com).

Pro dan Kontra Sekolah Tatap Muka

Keputusan menteri pendidikan terkait soal sekolah tatap muka ini memunculkan berbagai reaksi dari masyarakat ada yang mendukung ada pula yang menolak karna berbagai alasan.

Beberapa orang setuju untuk dibukanya sekolah tatap muka pada Januari 2021. Dilihat dari sisi psikologi, para peserta didik sudah mulai merasa jenuh dengan sistem pembelajaran jarak jauh ini. Tidak bisa dipungkiri, jika sekolah online justru lebih melelahkan bagi anak-anak. Bahkan, beban tugas yang diberikan pun lebih banyak dibandingkan saat sekolah offline yang menyebabkan anak-anak menjadi stres dan tertekan.

Selain itu, pembelajaran jarak jauh seperti ini juga menambah kekhawatiran guru maupun orangtua akan kemampuan peserta didik dalam menyerap materi pembelajaran yang diberikan, karena pada saat sekolah tatap muka dikelas secara langsung saja para peserta didik belum tentu mengerti akan materi yang disampaikan apalagi yang hanya melalu WA atau melalui zoom yang kadang terkendala oleh jaringan yang susah.

Di samping itu, banyak juga masyarakat khususnya orangtua yang tidak setuju dibukanya sekolah pada Januari 2021 disaat wabah Covid-19 belum tuntas di Indonesia. Sebagian besar orangtua merasa khawatir akan keselamatan anak-anak mereka jika harus kembali ke sekolah dalam waktu dekat.

Epidemilog dr Dicky Budiman M.Sc.PH, PhD (Cand) Global Health Security tidak menyarankan untuk  membuka sekolah pada situasi yang belum benar-benar baik. Menurutnya, membuka sekolah pada masa pandemi ini berisiko memunculkan gelombang kedua virus Covid-19. Ia juga menambahkan, menurut studi yang di terbitkan Sera et al pada tahun 2012, menunjukkan bahwa seluruh sekolah akan tutup jika 0,1 persen populasi mengalami sakit atau pandemi ( Kompasiana.com)

Dilema Kembali ke Sekolah

Tak hanya menuai pro kontra, pembukaan sekolah tatap muka juga menjadi dilema bagi para orang tua. Jika sekolah dibuka kembali  di Januari 2021, dikhawatirkan angka penyebaran corona meningkat dan penyebaran terbanyak otomatis di sekolah, sehingga akan lebih baik sekolah di tutup kembali dan kembali sekolah daring.

Ini menjadi pertimbangan penting nantinya yang harus diperhatikan dengan matang, kesalahan dalam mengambil langkah yang tepat akan menimbulkan resiko yang fatal nantinya.

Namun, jika pembelajaran masih dilakukan dengan jarak jauh kembali juga menimbulkan dampak negatif, beberapa hal seperti kendala tumbuh kembang anak yang membuat anak cenderung hanya terpaku pada HP  saja dan  tidak  tumbuh dengan lingkungannya, kondisi mental karena selalu ditekan tugas yang menumpuk dan kesehatan mata anak akan terganggu akibat selalu fokus melihat layar gawai.

Kemudian  tekanan psikososial yang menyebabkan anak-anak akan cepat stres di usia muda, dan kekerasan yang tidak terdeteksi, kemudian ancaman putus sekolah karena tidak semua anak yang mampu untuk membeli hp atau alat penunjang belajar jarak jauh, serta keberadaan akses jaringan internet yang tidak memadai setiap daerah, yang menyebabkan beberapa siswa harus menempuh perjalanan jauh untuk melakukan sekolah daring.

Namun, jika sekolah diizinkan kembali dibuka, tingkat risiko penularan covid-19 akan semakin meningkat dengan cepat, sifat malas yang muncul karena terbiasa dengan suasana di rumah, kondisi psikososial siswa yang cenderung sudah terbiasa untuk bertatapan dengan gawai sendiri sehingga timbul rasa malas maupun minder untuk bergaul dengan teman sebayanya.

Kebolehan pembukaan sekolah pada Januari 2021 yang tanpa diiringi kemajuan dalam penanganan covid 19, serta kesiapan pihak sekolah menerapkan protokol kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan sistem hari ini hanya bersifat sektoral dan jauh dari sifat meriayah rakyat dari segala aspek.

Negara seharusnya berfikir keras mencari cara yang lebih jitu dalam mengatasi wabah covid 19 agar segera hengkang dari negri ini. Sehingga tidak ada lagi kekhawatiran jika sekolah dibuka kembali.

Langkah Negara Khilafah dalam Mengatasi Sekolah di masa Pandemi

Pertama, negara akan fokus menyelasaikan wabahnya terlebih dahulu baru membuka sekolah. Negara akan melakukan pemetaan terhadap kasus positif yang tersebar di beberapa daerah. Tujuanya adalah untuk memudahkan pemisahan yang sakit dengan yang sehat. Serta melakukan tes secara masif terhadap masyarakat diberbagai daerah, agar dapat diketahui dari mereka mana yang positif terinfeksi virus dan mana yang tidak. Sehingga, negara akan lebih mudah melakukan pemetaan daerah mana yang boleh sekolah tatap muka dan mana yang belum boleh tatap muka.

Kedua, melakukan edukasi kepada masyarakat melalui  kesadaran pemahaman, yaitu edukasi spiritual, emotional, dan intelektual. Rakyat harus memahami bahwa wabah pandemi bagian dari ujian Allah. Mereka juga dibekali  pengetahuan terkait pandemi covid-19.

Ketiga, memfasilitasi dan memenuhi kebutuhan rakyat. Tak dimungkiri, pandemi covid-19 memukul perekonomian masyarakat. Oleh karena itu, negara harus memberi insentif yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing keluarga agar mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup, serta menjutkan hidupnya tanpa terbebani biaya hidup meski saat pandemi.

Selain itu, negara juga harus menyediakan kebutuhan guru dan peserta didik dalam mendukung belajar daring. Seperti fasilitas internet, kuota, dan sarana penunjang lainnya yang mendukung pembelajaran jarak jauh.

Keempat, yang tak kalah penting dari semua itu adalah dukungan negara terkait anggaran pendidikan dan kesehatan. Negara harus memastikan setiap hak individu terjamin dalam mendapat layanan pendidikan di setiap kegiatan belajarnya. Apalagi di masa pandemi, biaya dan tenaga yang dikeluarkan akan jauh lebih besar. Semua anggaran dibiayai oleh Baitulmal.

Demikian cara Islam mengatasi pendidikan pada saat pandemi. Negara hadir sebagai periaayah bagi rakyatnya mengayomi serta memberi solusi. Hal seperti ini hanya akan kita rasakan jika negara menerapkan aturan dari sang Pencipta, pemimpin yang menerapakan aturan bukan berdasarkan asas manfaat semata. Wallahu a’alam bisshawab.**

Penulis adalalah Muslimah Pemerhati Umat