Drama Ketua DPRD yang Berujung “Wakatobi” Menjadi Anak Tiri Pemprov Sultra

Pena Opini724 views

Oleh: Noviyanti Malaha

Pemerintah Daerah Wakatobi harus menerima kenyataan karena penolakan akan dokumen usulan APBD Wakatobi 2019 sudah terjadi, dan para wakil rakyatlah yang harus siap gigt jari.

Bukan tanpa alasan pihak pemerintah provinsi menolak usulan APBD tersebut karena kesalahan ada para pemerintah legislatif yang boleh dikata tidak memahami bagaimana menjalankan roda pemerintahan.

Mengapa sampai hari ini ketua DPRD yang telah mengundurkan diri secara tertulis masih memimpin rapat dalam pembahasan APBD. Bukankah anggota DPRD yang telah mengundurkan diri harus menerima konsekuensi yaitu kehilangan hak politiknya seperti memimpin sidang.

Selain itu, bukankah telah hadir surat dari Kepala Pusat Penerangan Kementrian Dalam Negeri bernomor 160/6324/OTDA yang mengingatkan agar anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten kota yang mencalonkan diri dari partai politik yang berbeda dengan partai politik yang diwakili pada pemilu terakhir untuk mengundurkan diri.

Sesuai ketentuan pasal 139 ayat (2) huruf I dan pasal 193 ayat (2) huruf I UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah telah menegaskan pula bahwa anggota DPRD yang nyaleg bukan dari partai terakhirnya tapi menjadi caleg 2019-2024 lewat partai lain diberhentikan antar waktu.

Dengan kata lain mereka yang maju bukan lewat partai disaat yang bersangkutan menjadi anggota DPRD periode 2014 sampai dengan 2019 harus diberhentikan antar waktu.

Ketentuan serupa juga ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2018 tentang pedoman penyusunan tata tertib DPRD provinsi, kabupaten dan kota, yaitu pasal 99 ayat (3) huruf I, menegaskan bahwa anggota DPRD tersebut diberhentikan antar waktu.

Ketentuan ini juga sejalan dengan amanat Peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten atau Kota. Pasal 7 ayat (1) huruf t peraturan KPU menyatakan bakal calon anggota DPR dan DPRD adalah warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan.

Persyaratannya antara lain mengundurkan diri sebagai anggota DPR, DPRD yang dicalonkan oleh partai politik yang berbeda dengan partai politik yang diwakili pada pemilu terakhir.

Maka jika mengikuti pemilihan umum sejak yang bersangkutan ditetapkan sebagai calon dan sudah masuk dalam daftar calon tetap, tidak lagi memiliki status sebagai penyelenggara pemerintahan.

Terlepas dari semua ketentuan hukum yang berlaku mengenai anggota DPRD yang telah mencalonkan diri dan pindah partai, sebenarnya apa yang menjadi kendala pemerintah Wakatobi dalam menyikapi permasalahan seperti ini? Mengapa sampai hari ini belum ada sikap yang ditunjukan oleh pemerintah terkait permasalahan yang telah berlarut-berlarut selama beberapa bulan terakhir ini?

Seperti kita ketahui bersama bahwa peran DPRD dalam menjalankan pemerintahan amatlah penting. Anggota DPRD memiliki fungsi yaitu pembentukan peraturan daerah, kewenangan dalam hal anggaran daerah yaitu APBD yang belum lama ini usulan APBD daerah Wakatobi ditolak oleh pihak provinsi.

Peran yang diharapkan masyarakat bagi pemerintah daerah sebenarnya adalah mentaati ketentuan hukum yang membatasi kekuasaan serta menjadi pedoman pemerintah daerah dalam membuat kebijakan demi kebaikan seluruh elemen masyarakat.

Lalu sampai kapan drama ini akan dimainkan oleh ketua DPRD? Tindakan seperti apa yang akan dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini?.(***)

Penulis: Sekretaris Umum, UKM Bahasa dan Jurnalistik Unidayan