Hak Angket DPRD

Pena Opini1,341 views

Asal-muasal kata “angket” berasal dari bahasa Perancis “enquete” yang bermakna “penyelidikan”. Dalam sejarah penggunaan hak angket, parlemen Inggris yang pertama kali menggunakannya. Dipakai untuk menyelidiki kebijakan pemerintah dan menghukum pejabat pemerintah yang melakukan penyelewengan dalam administrasi pemerintahan.

Inggris adalah negara yang pertama kali pula menerapkan sistem pemerintahan parlementer. Sehingga, hak angket ini menjadi praktik yang tumbuh dan berakar dari dan dalam sistem parlementer. Namun bukan berarti negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial tidak mengadopsinya seperti Amerika Serikat.

Istilah angket muncul pertama kali di Indonesia dalam Pasal 121 UUD Republik Indomesia Serikat (RIS) 1949 yang berbunyi: DPR mempunyai hak menyelidiki (enquete). Pasal 70 UUDS 1950 juga memunculkan hak angket yang bunyinya persis sama yakni DPR mempunyai hak menyelidiki (enquete).

Dilahirkan pula UU No. 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR, namun UU ini sudah dibatalkan oleh MK. Eksistensi hak angket tetap dipertahankan dalam UUD 1945 pasca perubahan sebagaimana terbaca pada Pasal 20A ayat (2).

Lalu bagaimana dengan hak angket yang dimiliki DPRD? Jenis kelamin DPRD di Indonesia hingga kini masih terus diperdebatkan. Di satu sisi kedudukannya berada dalam cakupan pemerintahan daerah. Dengan kedudukan ini, “nyawa” DPRD berada dalam pemerintah daerah, sedangkan “raganya” ada di DPRD. Sebab formula yang disusun oleh pembentuk UU No. 23/2014 menempatkan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Di sisi lain, cara pemilihan anggota DPRD dilakukan melalui Pemilu bersama DPR dan DPD. Dalam konteks ini, DPRD memenuhi karakteristik trias politika yang berkonsekuensi pada kedudukannya.

Jika menggunakan logika negara kesatuan dimana pemegang kekuasaan ada di tangan pemerintah pusat maka desain kedudukan DPRD dalam UU No. 23/2014 adalah tepat. Karenanya pengaturan tentang DPRD diletakkan dalam UU pemerintahan daerah. Sebaliknya, apabila memakai logika trias politika maka DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berada di luar kotak pemerintahan daerah. Perbedaan inilah yang menyebabkan diskurus posisi DPRD belum berakhir.

Konsekuensi yang muncul kemudian ialah ketika DPRD menggunakan haknya dalam kanal pengawasan khusus, misalnya hak angket. Angket yang dibentuk dalam rangka penyelidikan yang bermuara pemakzulan akan dihadapkan dengan kedudukan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Dalam pandangan salah seorang ahli hukum tata negara Profesor Ni’matul Huda, menyebutnya “jeruk minum jeruk”. Cukup beralasan manakala analisanya berangkat dari kedudukan DPRD.

Konstruksi DPRD yang dibangun dalam UU No. 23/2014 secara sengaja dilakukan untuk menghindari dan mengantisipasi roda pemerintahan daerah mengalami kemandegan atau kelumpuhan. Hal ini didasari oleh pengalaman hubungan kepala daerah-DPRD dalam UU No. 22/1999 yang dinilai berwatak “federal”. Kala itu, kepala daerah tidak bisa leluasa menggerakan roda pemerintahan daerah karena kuatnya kedudukan DPRD sebagai badan legislatif.

Syarat Yuridis dan Teoritik

Kedudukan DPRD dalam UU No. 23/2014 disusun dalam satu kotak bersama kepala daerah dengan nama unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Berada dalam satu unsur dengan kepala daerah menandakan bahwa DPRD menjadi bagian dari rezim pemerintahan daerah bukan bagian dari rezim badan legislatif/parlemen.

Rumusan kedudukan DPRD tersebut selanjutnya dipindahkan dan menjadi ketentuan mengenai kedudukan DPRD dalam UU MD3 No. 17/2014. Yang lebih dahulu dibentuk dan dilahirkan adalah UU No. 23/2014, UU No. 17/2014 belakangan. Dengan begitu, kedudukan DPRD dalam UU MD3 diadopsi dari UU No. 23/2014. Lihat saja PP No. 12/2018 tentang Penyusunan Tatib DPRD mencantumkan UU No. 23/2014 sebagai konsideran hukum (Mengingat) bukan UU MD3.

Meski DPRD diletakkan dalam satu unsur dengan kepala daerah, DPRD diberikan juga hak seperti hak DPR (interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat). Tata cara penggunaannya diatur lebih lanjut dalam Tatib DPRD yang berpedoman pada PP No. 12/2018. Penggunaan hak DPRD ini diatur sesuai prosedur dan syarat-syarat tertentu serta diputuskan dengan syarat-syarat tertentu pula. Prosedur dan persyaratan yang telah ditetapkan dalam Tatib senantiasa dijaga, dihormati, dan ditaati oleh seluruh anggota DPRD.

Menaati Tatib dan Kode Etik DPRD adalah kewajiban semua anggota DPRD (Pasal 161 huruf f UU No. 23/2014). Adanya ketentuan prosedur dan persyaratan menunjukkan sifat kekhususan dari ketiga hak ini, yang hanya dapat digunakan apabila prosedur dan syaratnya terpenuhi sebelum ditetapkan menjadi keputusan DPRD.

Dalam hal anggota DPRD mengusulkan penggunaan hak angket, wajib dilandasi dengan alasan pengusulan. Misalnya, ada kebijakan kepala daerah yang dianggap strategis dan berdampak luas di duga bertentangan dengan peraturan perundang-undanga.

Kebijakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan itulah yang menjadi dasar pengusulan. Akan tetapi, kebijakan tersebut terlebih dahulu dikaji dan dianalisa oleh DPRD apakah kebijakan tersebut penting, strategis, berdampak luas dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka argumentasi pengusulan angket itu lemah.

Tingkatan pengunaan hak angket dimulai dengan pengusulan oleh sejumlah anggota lebih dari satu fraksi. Jika prosedur dan syarat pengusulan terpenuhi maka usul diajukan kepada pimpinan DPRD (Pasal 115 untuk DPRD Provinsi dan Pasal 169 untuk DPRD Kabupaten/Kota UU 23/2014).

Dalam memutuskan usul penggunaan hak angket berlaku prinsip kolektif-kolegial (Pasal 35 PP No. 12/2018). Prinsip ini mengkonsepsi pimpinan DPRD sebagai satu kesatuan dalam mengambil keputusan. Seluruh pimpinan DPRD harus ikut serta dan hadir mengambil keputusan. Apabia salah satu pimpinan DPRD tidak hadir maka keputusan tidak bisa diambil karena Pasal 35 PP No. 12/2018 menyatakan pimpinan DPRD sebagai satu kesatuan yang bersifat kolektiif-kolegial. Jika dipakasakan, maka keputusannya tidak sah dan keputusan tersebut tidak dapat dipakai sebagai landasan menggelar sidang paripurna pembentukan Pansus Angket.

Sebaliknya, apabila prosedur dan persyaratan pengusulan hak angket terpenuhi akan disahkan dalam rapat paripurna DPRD. Rapat paripurna DPRD harus pula memenuhi syarat kehadiran dan syarat persetujuan.

Artinya, prinsip kolektif-kolegial wajib dipenuhi yang dihadiri oleh seluruh pimpinan DPRD. Jika tidak, keputusan tidak bisa ditetapkan karena melanggar Pasal 35 PP No. 12/2018.

Mengapa demikian? Tidak lain dalam rangka menegakkan kewajiban anggota DPRD yang mana salah satunya menyatakan bahwa anggota DPRD melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan (cetak miring oleh penulis).

Secara teoritik, keputusan dianggap cacat yuridis apabila (1) salah kira (dwaling): salah dalam menilai obyek dan subyek; (2) paksaan (dwang): terdapat pengaruh dari seseorang secara melanggar hukum sehingga keputusan yang dikeluarkan menyimpang dari peraturan dasarnya; dan (3) tipuan (bedrog): karena adanya tipuan maka keputusan yang dikeluarkan pejabat salah dalam menilai dasar-dasar penetapan dan akibatnya cacat esensial.

Walapun keputusan DPRD lahir dalam kanal pengawasan khusus yang telah diatentukan prosedur dan mekanismennya, tetap tunduk pada prinsip negara hukum yang mengedepankan hukum sebagai pijakan utamanya. Karena itu, keputusan yang dilahirkan harus memenuhi standar pembuatan keputusan baik secara teortik maupun yuridis.

Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Unidayan Baubau