Eksploitasi Aspal Buton untuk Siapa?

Pena Opini901 views

Oleh: Muhammad Risman

PT Wijaya Karya Bitumen sebagai salah satu anak perusahaan dari PT Wijaya Karya (Persero), Tbk (WIKA), merupakan bagian dari ekspansi perusahaan yang mengkhususkan diri dalam industri aspal di Pulau Buton yang kemudian dikenal dengan nama Aspal Buton atau Asbuton.

Bisnis pertambangan Asbuton ini dimulai sejak zaman penjajahan Belanda pada tanggal 21 Oktober 1924. Sedangkan pemberi konsesi pertambangan Asbuton selama 30 tahun untuk seorang pengusaha Belanda bernama A. Volker.

PT Sarana Karya berubah menjadi Badan Usaha Milik Negara Perusahaan sejak 30 Januari 1984, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1984.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 91 Tahun 2013, tanggal 24 Desember 2013, seluruh saham PT Sarana Karya (Persero) dijual kepada PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. Sejak 30 Juni 2014 PT Sarana Karya berubah nama menjadi PT Wijaya Karya Bitumen.

Komposisi PT Wijaya Karya Bitumen atau PT WIKA Bitumen: PT Wijaya Karya (Persero) Tbk: 99% dan PT Wijaya Karya Bangunan: 1%.

Perusahaan akan dikembangkan untuk memasuki industri pengolahan Asbuton, menjadi produk bernilai tambah aspal yang dapat digunakan sebagai bahan untuk jalan dan industri bahan pendukung lainnya.

Program pengembangan industri pengolahan Asbuton Produk akan diproduksi menjadi Asbuton Ekstraksi oleh kualitas produk dan nilai tambah tinggi produk yang terdiri dari: Bahan Baku, Asbuton Granular, dan Asbuton Ekstraksi (Sumber: www.wikabitumen.co.id).

*Tanggung Jawab Perusahaan kepada Masyarakat Lingkar Tambang

Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan tanggung jawab perusahaan kepada masyarakat lingkar tambang dan meskipun dikatakan bukan “uang negara” tetapi diatur dalam ketentuan hukum.

Peraturan yang mewajibkan CSR adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, tentang Penanaman Modal, baik penanaman modal dalam negeri, maupun penanaman modal asing. Dalam Pasal 15 (b) dinyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.

Sehingga (perusahaan) akan mendapat sanksi-sanksi terhadap badan usaha atau perseorangan yang melanggar peraturan, diatur dalam Pasal 34, yaitu berupa sanksi administratif dan sanksi lainnya, diantaranya: (a) Peringatan tertulis; (b) pembatasan kegiatan usaha; (c) pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau (d) pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.

Maka, jika perusahaan pertambangan khususnya tambang aspal tidak dapat memberikan dana CSR kepada warga masyarakat lingkar tambang perlu dipertimbangkan berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Sejauh ini tidak ada dampak positif terhadap masyarakat Kabupaten Buton utamanya bidang pendidikan, kesehatan dan UKM yang dapat dibantu melalui dana CSR. Hal ini dipersoalkan oleh masyarakat lingkar tambang khususnya Desa Wining kepada staf anggota DPR-RI beberapa bulan lalu.

Kalau kita lihat, selama ini apa yang dibangun oleh pihak perusahaan tambang aspal di Kabupaten Buton khususnya masyarakat lingkar tambang?

Maka, saya pastikan persoalan ini jika tidak dapat diselesaikan akan diteruskan kepada pemerintah pusat melalui gubernur Sulawesi Tenggara untuk dapat mengambil tindakan dalam menyelesaikan masalahnya. Bahkan jika terus tidak mengikuti ketentuan maka layak untuk dicabut kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanam modal lainnya “regulasi menjamin”.(***)

Penulis: Koordinator Forum Pemuda Sultra di Maluku Utara