Fenomena Politik di Era Reformasi

Pena Opini1,549 views

Oleh: Ramadhan Ako

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tujuh Kabupaten di Sulawesi Tenggara meliputi Konawe Selatan, Konawe Kepulauan, Konawe Utara, Kolaka Timur, Buton Utara, Kabupaten Muna, dan Wakatobi. Rakyat di tujuh daerah itu akan merayakan pesta demokrasi untuk memilih bupati dan wakil bupati sebagai pemimpin lima tahun ke depan.

Di Kabupaten Muna, politik bergemuruh dari bibir komunitas pecandu kopi, bergentayangan dan berhiruk-pikuk dari masyarakat Kota sampai ke sudut-sudut desa. Kepentingan menjadi kekal sehingga tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam dunia politik. Santun dan tidak menghalalkan berbagai cara tercela dalam mencapai kemenangan tentulah menjadi harapan bagi masyarakat yang beradab, berbudaya,dan bermarwah sehingga politik itu berkonotasi kepada hal-hal yang positif. Cara yang jahat, kotor, egois, munafik, primordial, dendam dan tidak mendidik kepribadian masyarakat menuju pribadi yang matang dalam bernegara, berbangsa dan bertanah air harus dihindari karena erat kaitannya dengan  politik negatif.

Prof Mirriam Budiharjo mendefinisikan politik adalah usaha untuk mencapai masyarakat yang baik dan berkeadilan. Berpolitik berarti melibatkan diri dalam ruang lingkup kekuasan maupun dalam menetapkan berbagai kebijaksanaan pengambilan keputusan. Berpolitik bersinggungan langsung dengan negara, pengambilan keputusan, penetapan kebijaksanaan umum, partai politik, golongan, dan assosiasi.

Politik dengan teorinya yang eksis yaitu untuk membela kepentingan umum, mencapai usaha yang mulia dalam mensejahterakan rakyat dan makna tujuan bernegara dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Politik yang telah diracuni oleh tindakan dan upaya tidak santun serta beradab adalah hasil ketidaktahuan dari organisasi politik, massa, sosial, kepemudaan, maupun tokoh masyarakat dan tergabung dalam komunitas masyarakat yang tidak mengerti dan tidak mau tahu dengan peradaban politik.

Arti demokrasi akan melenceng jauh dari  tujuan demokrasi itu sendiri yaitu pemerintahan dilaksanakan oleh, dari, dan untuk rakyat apabila politik masih berkonotasi ke hal yang negatif. Kesiapan dan kematangan rakyat dalam berpolitik maupun motivasi yang berlandaskan pada kepercayaan terhadap pemimpin akan dapat membantu arti berpolitik dalam disiplin ilmu politik.

Organisasi politik serta tokoh masyarakat seharusnya mampu berdialektika dengan bijak serta mampu bernarasi dengan cerdas karena mereka sebagai pilar atau mediator professional yang menjembatani berbagai kepentingan untuk mencapai masyarakat yang makmur dan berkeadilan. Diharapkan organisasi politik serta ketokohan di masyarakat tidak beralih fungsi menjadi provokator atas persoalan pribadi dan menjadikan kampanye untuk ajang hinaan pada salah satu calon  kepala daerah karena mereka sebagai pilar demokrasi yang tangguh serta mediator yang professional untuk merangkul dan mensinergikan berbagai kepentingan guna mewujudkan makna yang hakiki dari demokrasi.

Di era reformasi, sejarah telah mencatat dalam pelaksanaan pileg, pilpres, pilgub, pilbup/pilwali, rakyat telah divonis dan dipaksakan harus siap berdemokrasi. Namun sebagian indikator produk berpolitik yang dihasilkan sangat mengecewakan. Rakyat menyaksikan sandiwara kebodohan para pimpinan hasil politik melalui pertengkaran, perkelahian di ruang sidang parlemen, tarik ulur kebijakan, terjerat kasus korupsi, pelecehan seksual, narkoba,  dan lainnya.

Fenomena baru dihasilkan dari tatanan berpolitik di era reformasi, rakyat termotivasi untuk melecehkan makna politik dengan perilaku ambil kesempatan dalam kesempitan, sambil menyelam minum air, sumber mata pencaharian, dan segala aktivitas politik dihitung dengan uang atau Money Politic. Produk money politic dan profesi politik tidak lagi memperhitungkan  keberadaan figur yang dilatarbelakangi oleh unsur kualitas, profesional, kemampuan, pengalaman, moral, marwah, dan adab sopan santun.

Kelompok intelektual yang selalu risau dengan fenomena politik maupun kelompok intelektual yang apatis terhadap perpolitikan, kehabisan teori untuk mencari tahu agar dapat mengembalikan hakikat berpolitik dalam demokrasi yang sehat, santun dan beradab. Strategi politik yang dimotivasi oleh para politikus kotor membuat makna politik dikonotasikan menjadi politik itu jahat, melenceng dari filosofi politik dan teori politik.**

Penulis adalah Demisioner Ketua PC PMII Muna 2018-2019