Kabinet Baru; Harapan Baru atau Deradikalisasi?

Pena Opini642 views

Oleh: Drg Endartini Kusumastuti

Presiden Joko Widodo menunjuk mantan wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fachrul Razi masuk kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024. Jokowi meminta lulusan akademi militer 1970 itu mengurus pencegahan radikalisme dalam jabatan barunya.

Satu persatu, nama menteri yang dipanggil Jokowi berdiri. Nama lainnya adalah Tito Karnavian Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kummolo Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Mahfud MD Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Prabowo Subianto Menteri Pertahanan.

Jika melihat kelima formasi menteri itu, terlihat sinyal pemerintah lima tahun ke depan berfokus pada persoalan melawan radikalisme di Indonesia. Fachrul Razi, usai pelantikan kabinet Indonesia Maju mengatakan bahwa ia sedang menyusun upaya-upaya menangkal radikalisme di Indonesia. Ia mengakui Presiden memilihnya karena dianggap mempunyai terobosan menghadapi radikalisme. (www.tirto.id, 25/10/2019).

Sementara itu melihat kabinet Indonesia Maju 2019-2024, Yunita, aktivis HAM sekaligus mantan advokat LBH Jakarta mengatakan tidak terlalu kaget dengan pilihan menteri tersebut. Pasalnya dari awal pencalonan diri sebagai capres patahana, Presiden Jokowi tidak serius dalam penyelesaian kasus HAM dan penegakan hukum.

Ia menambahkan, penegakan HAM di era Presiden Jokowi tidak berlangsung baik, malah terjadi tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian dengan skala besar kepada pihak-pihak yeng mengkritik pemerintah seperti mahasiswa.

“Itu bisa saja, apalagi ada UU Ormas. Yang ditakutkan bukan hanya membubarkan HTI justru ormas sipil lainnya bisa dibubarkan secara paksa dan ini ancaman demokrasi,” kata Yunita. (www.cnnindonesia.com, 30/10/2019).

Apakah Ada Harapan Baru atau Sekedar Kepentingan?

Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, DR Rizal Ramli menilai jurus monoton yang ditunjukkan Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak bakal ampuh mendongkrak ekonomi Indonesia. Sebab menteri berpredikat terbaik dunia itu hanya mengandalkan utang dan kebijakan austerity atau pengetatan anggaran tanpa ada terobosan-terobosan.

Prediksi RR terbukti bukan sembarangan. Pasalnya, baru empat hari dilantik menjadi menteri di Kabinet Indonesia Maju, Sri Mulyani telah mengumumkan rencana akan menerbitkan surat utang berdenominasi valuta asing atau global bond. Langkah Sri Mulyani itu diambil karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 mengalami defisit sementara kebutuhan negara membengkak. Mantan wakil ketua DPR, Fadli Zon juga menegaskan bahwa masalah yang dialami Indonesia adalah masalah ekonomi, bukan radikalisme. (www.rmolbengkulu.com, 28/10/2019).

Pemerintahan Jokowi periode kedua diminta cermat dan hati-hati dalam melontarkan pernyataan seperti ingin mengatasi paham radikalisme. Isu ini dinilai politis yang hanya untuk mengalihkan kompleksnya persoalan negara sebenarnya.

Pengamat teroris dan intelijen, Harits Abu Ulya menyindir pernyataan sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju seperti Menteri Agama Fachrul Razi yang siap mengatasi radikalisme. Dengan latar belakang dari militer, Fachrul diminta bijak menyampaikan isu agar tak memunculkan kegaduhan.

“Meski secara sadar atau tidak, misi yang di amanahkan itu sangat potensial melahirkan kegaduhan baru dalam kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia,” kata Harits, dalam keterangannya, Rabu malam, 30 Oktober 2019.

Dia khawatir jika tugas prioritas yang diemban Menteri Agama sekarang ini adalah kontra radikalisme maka menyeret Kemenag kepada proyek tendensius yang diarahkan kepada umat Islam. Ia mengingatkan jangan sampai persepsi publik menjadi berkembang liar.

Perlahan, umat digiring melalui labelling dan framming terhadap ajaran Islam sendiri. Kelompok anti Islam telah mengganti War On Terorism dengan propaganda War On Radicalism.

Isu radikalisme sengaja digulirkan untuk memecah belah di tubuh umat Islam sendiri, sebagai grand design yang disampaikan dalam Rand Corporation, Pusat Penelitian dan Kajian Strategis tentang Islam di Timur Tengah atas biaya Smith Richardson Foundation, berpusat di Santa Monica (California dan Arington Virginia, Amerika Serikat (AS). Mereka memang sengaja mengategorikan kelompok Islam, ada yang radikal dan moderat. Karena melalui cara itulah mereka bisa menghembuskan fitnah, propaganda dan perpecahan di tengah-tengah umat. Sekaligus mengalienasi ormas yang mereka benci dari kehidupan umat.

Direktur Eksekutif Global Future Institue, Hendrajit menuturkan bahwa ada skema yang jauh lebih besar yang tengah mengancam umat Islam, tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia.

“Sejak perang dingin berakhir dan ketika Josh W. Bush naik kesinggasana tahun 2000, ada satu dokumen dari Rand Corporation yang entah dibocorkan atau sengaja betul-betul bocor bertajuk Civil Democratic Islam: Partners, Resources and Strategies,”

Alih-alih memberantas radikalisme, yang terjadi di depan mata justru fakta yang mencengangkan. Kemenag yang saat itu masih dipimpin Lukman Hakim Saifuddin menempati posisi kedua sebagai kementerian dengan jumlah ASN terbanyak yang terlibat kasus korupsi (14 orang). Posisi Kemenag dikalahkan Kementerian Perhubungan yang menempati posisi pertama (16 orang). (www.nasional.kompas.com, 01/11/2019).

Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsudin menyoroti arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi untuk mengatasi radikalisme. Seharusnya, tugas Kementerian Agama (Kemenag), bukan memberantas hal semacam itu. Namun, Kemenag memiliki peranan untuk membangun bangsa.

“Kementerian Agama itu membangun moralitas bangsa, mengembangkan keberagamaan ke arah yang positif konstruktif bagi bangsa menjaga kerukunan meningkatkan kerukunan kualitas keagamaan, itu fungsi – fungsinya sudah ada sejak kelahirannya,” ujarnya.

Din meminta Kemenag jangan disalahfungsikan, sebab radikalisme tidak hanya di seputaran keagamaan. Maka, jangan dibelokkan karena antiradikalisme tidak hanya radikalisme keagamaan.

“Kenapa tidak boleh sebut radikalisme ekonomi, yang melakukan kekerasan pemodal, yang menimbulkan kesenjangan, itu namanya radikalisme ekonomi, kenapa tidak radikalisme politik,” ujarnya.

Beberapa kalangan menilai bahwa kehidupan demokrasi di Indonesia saat ini sedang terancam ketika kita melihat kondisi koalisi Indonesia maju, yakni menyeberangnya partai oposan pemerintah seperti Gerindra menjadi salah satu faktornya.

Banyaknya koalisi pemerintah di parlemen menjadikan nilai demokrasi tergerus dan membahayakan. Ditambah lagi Presiden Joko Widodo yang menunjuk Prabowo Subianto untuk menjadi Menhan lima tahun ke depan. Fakta itu seolah meniadakan makna pemilihan presiden 2019 yang penuh gejolak sebagai nadi demokrasi. Nampak jelas bahwa demokrasi memang busuk sejak dari akarnya.

Sekulerisme Demokrasi Biang Kerusakan, Bukan Radikalisme!

Dari hal di atas, akan terlihat secara nyata bahwa pembentukkan kabiet baru, cenderung sarat kepentingan partai, daripada mengatasi persoalan masyarakat. Radikalisme hanyalah kedok semata bagi sengkarutnya masalah di berbagai bidang kehidupan.

Demokrasi yang digadang-gadang mampu memberikan perubahan bagi negeri ini, terbukti tidak pernah bisa diandalkan. Persoalan demi persoalan kian menggerogoti. Sejak negeri ini merdeka, mekanisme politik dagang sapi maupun tambal sulam terus dilakukan. Disebabkan karena ketidakpahaman melihat fakta dan mengkaitkannya dengan solusi yang benar. Campur tangan asing makin membuat berbagai kebijakan politik tidak pro rakyat.

Lebih jauh, apa yang mereka lakukan itu dapat dibaca sebagai bagian ghazwul-fikr yang memang gencar dilakukan di seluruh dunia oleh negara-negara Barat penjajah terhadap Islam. Inilah bagian fakta perang peradaban antara Islam dan Barat.

Umat Islam sudah seharusnya menyambut Clash of civilizations ini melalui dakwah argumentatif yang berbasis intelektualitas. Sehingga nantinya akan tampak dengan jelas mulianya Sistem Islam dan rusaknya Sekulerisme-liberalisme itu. Karenanya yang perlu diwaspadai itu justru mereka yang telah terpapar pemikiran sekulerisme, liberalisme, komunisme dan separatisme. Merekalah sejatinya perusak bagi negeri ini.

Sungguh tak mungkin Islam dapat berdampingan dengan sekularisme. Sekularisme menciptakan kerusakan serta menyuburkan kemaksiatan dan pelanggaran terhadap aturan Allah SWT. Sebaliknya, Islam menebarkan rahmat bagi semesta alam. Karena itu pantas jika Allah SWT berfirman:
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Maidah [5]: 50).(***)

Penulis: Pengamat Sosial Politik