Kahiya, Warisan Budaya Buton yang Masih Terawat

Pena Daerah2,477 views

PENASULTRA.COM, BUTON TENGAH – Kahiya merupakan tradisi turun temurun bagi masyarakat Buton. Hampir setiap wilayah yang masuk dalam Kesultanan Buton mempunyai tradisi ini dengan tujuan yang sama. Meskipun tata cara dan penyebutannya berbeda-beda.

Desa Lalibo, Kecamatan Mawasangka Tengah, Kabupaten Buton Tengah, Kahiya masih terpelihara dengan baik dengan melaksanakannya tiga tahun sekali. Di tahun 2019 pegalaran Kahiyaa (resepsi adat) di Desa Lalibo berlangsung dari 9 – 14 Juli 2019.

Acaranya mencakup Kaombo (pingitan). Kaombo dilakukan pada anak perempuan yang telah memasuki usia dewasa. Kaombo dilaksanakan selama delapan hari delapan malam. Ritual ini wajib diikuti seorang Gadis perawan.

Ritual Kaombo dilaksanakan sebagai penanda transisi bagi seorang wanita, dari gadis remaja (Kabua-bua) menjadi seorang gadis dewasa (Kalambe).

“Kalau disini kita masih pertahanankan, para gadis yang melaksanakan kaombo ini dikurung selama 8 hari 7 malam dalam ruang khusus yang disebut kaumpu,” ujar ketua adat Desa Lalibo, La Patola, Senin 15 Juli 2019.

Dalam Kaumpu dilakukan berbagai ritual sebagai sarana pendidikan sebagai persiapan mental seorang perempuan remaja, menjadi seorang perempuan dewasa yang siap mengarungi kehidupan dan membentuk rumah tangga.

Agar pelajaran dapat diterima dengan baik, maka selama berada dalam kaumpu, para peserta kaombo hanya boleh bertemu dengan dukun (bhisa) yang memimpin upacara. Mereka akan dijauhkan dari segala pengaruh dari luar dan harus menaati beberapa pantangan yang tidak boleh dilakukan selama dalam masa pengurungan.

“Selama dikurung mereka tidak bisa berinteraksi dengan dunia luar, sebut nama laki-laki juga tidak boleh. Buang air besar sangat anjurkan untuk ditahan, dan selama pengurungan ini peserta juga harus makan sedikit sesuai porsi yang diberikan,” terang Mariha salah satu Bhisa di Desa Lalibo.

Dari Bhisa inilah, para gadis peserta Kaombo akan mendapatkan bimbingan moral, spritual dan pengetahuan terutama bimbingan dalam membentuk keluarga yang baik.

Dalam ritual Kambo ini juga, ada tiga tahap yang harus dijalani setiap peserta. Sesi pertama pengukuhan. Pada tahap ini dilakukan pengakuan dosa-dosa yang sebelumnya pernah dilakukan oleh si gadis selama hidupnya, dan pada tahap prosesi diawali dengan Tunuano Dupa (pembakaran kemenyan) yang disertai dengan pembacaan do’a.

Setelah pengakuan dosa dan pembacaan do’a selesai, dilanjutkan dengan pemberkatan yang dilakukan dengan memberikan sapuan asap kemenyan kesekujur tubuh peserta Kaombo. Dan setela itu, Bisa mengumumkan nama-nama para peserta ritual dan pemberitahuan kepada seluruh peserta dan keluarga bahwa sejak saat itu mereka akan diisolasi dari dunia luar.

Sesi kedua disebut Konduno ganda atau mulainya pemukulan gendang yang dilakukan setelah ritual berjalan empat hari, pada sesi ini juga gendang mulai dimainkan saat memandikan peserta Kaombo. Gendang ini akan terus dimainkan sampai selesainya ritual Kaombo secara keseluruhan.

Sesi keempat disebut Kalempagi atau mengganti penampilan yang dilakukan setelah ritual berjalan lima hari. Pada tahap ini bedak peserta kaombo diganti warna dari sebelumnya. Dalam ritual ini juga peserta Kaombo mengganti posisi tidur. Dari sebelumnya kepala diselatan dan kaki di utara menjadi kepala di barat dan kaki di timur. Posisi tidur ini akan terus dilakoni sampai malam ketujuh.

Sesi terakhir disebut matano kahiyaa atau puncak acara. Puncak acara ini mulai dilakukan tepat pada malam ke ketuju. Para peserta Kaombo dimandikan dengan menggunakan wadah bosu (buyung yang terbuat dari tanah liat). Setelah selasai mandi, para peserta akan didandani dengan pakayan Ajo Kalambe (dandanan gadis dewasa).

Di hari kedelapan para gadis ini didandani dengan munggunakan pakaian khas gadis Buton yang dipimpin oleh Bhisa. Setelah didandani para gadis kaombo ini dikeluarkan dari pengurungannya dengan digendong seorang lelaki dewasa yang masi merupakan keluargannya. Dalam puncak acara ini juga para gadis dibacakan doa oleh tokoh-tokoh adat setempat. Seusai pembacaan do’a seluruh hadirin yang menyaksikan ritual ini diperkenankan untuk memberikan Pasali (saweran) dengan menamparkan uang yamg diberikan di pipi peserta Kaombo sebagai bentuk syukuran atau hadia untuk peserta kaombo yang telah melawati seluruh rangkayan ritual.

Selain Kaombo, dalam puncak kahiya ini juga dilaksanakan ritual Kangkilo atau pembersihan. Kangkilo dilakukan pada anak laki-laki dan perempuan yang suda memasuki usia balik yang berkisar pada usia 7 tahun sampai 10 tahun.

“Dalam Agama sejak usia aqil balik, anak-anak sudah mulai menanggung dosanya sendiri, sehingga Kangkilo ini dimaksudkan sebagai pengenalan nilai-nilai keislaman kepada anak-anak termasuk membimbing mereka mengucapkan dua kalimat syahadat,” kata Awaluddin Kepala Desa Lalibo

Dalam pelaksanaan Kangkilo ini, untuk perempuan, peserta Kangkilo diarak keliling kampung sambil dipikul oleh seoarang lelaki dewasa sambil diringi irama gendang. Sementara peserta Kangkilo anak Laki-laki diarak keliling kampung sambil memperagakan gerakan dasar Mansa (Seni bela diri khas Buton) yang dilimpin salah satu tokoh adat dan diakhir ritual seluruh peserta diberkahi dan dibacakan do’a para tokoh adat.

Dipenghujung rangkaiyan Kahiya ini, di malam kesembilan para peserta Kaombo bersama peserta Kangkilo untu perempuan menampilkan keahliannya dalam menari (Linda) di depan umum dan seluruh penonton diperkenankan untuk memberi Pasali (Menyawer) pada peserta yang tampil dengan menamparkan uang di pipi si gadis yang sedang menari.

Tak hanya linda, dalam penutupan pagelaran Kahiya ini juga, selama dua hari, disetiap sorenya dilaksanakan unjuk kebolehan Mansa (seni bela diri khas Buton). Parah tokoh adat, peserta Kangkilo laki-laki, dan warga yang jago silat diringi gendang dua orang saling menantang dan berlawanan dan seni bela diri ini terus diperagakan secara bergantian yang mau menunjukan kebolehannya.

Ritual adat ini masi terus dipertahankan oleh masyarakat Desa Lalibo dan menjadi agenda rutin yang dilaksanakan dalam tiga tahun sekali.

“Ini suda menjadi keharusan bagi masyarakat Lalibo yang mesti dilaksanakan 3 tahun sekali,” tutup Awaluddin.(b)

Penulis: Amrin Lamena
Editor: Mil