Kebakaran Lapas, Problem Lawas yang Tak Pernah Tuntas

Pena Opini466 views

Oleh: Yeni Rosnaeni

Hingga Kamis (9/9/2021), korban meninggal akibat insiden kebakaran Lapas Kelas 1 di Tangerang, mencapai 44 orang. Dugaan sementara penyebab kebakaran adalah masalah arus pendek.

Menkumham Yasonna Laoly mengatakan Lapas Kelas 1 di Tangerang dibangun pada 1972. Sejak itu, tidak ada perbaikan instalasi listrik meski ada penambahan daya listrik.

Diketahui, lapas tersebut memang kelebihan penghuni hingga 250%. Lapas yang semestinya untuk 600 orang, saat ini diisi penghuni mencapai 2.072.

Kebakaran Lapas di Tangerang bukanlah kejadian pertama. Beberapa lapas di negeri ini pernah mengalami kebakaran dengan beragam penyebab.

Hanya saja, mengapa over kapasitas selalu jadi alasan klasik terjadinya kebakaran? Problem lawas yang tak pernah tuntas diselesaikan.

Masalah Klasik

Ada banyak pendapat mengemuka mengenai kebakaran Lapas Kelas 1 di Tangerang. Pertama, over kapasitas. Pernyataan ini dikemukakan pihak Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham.

Alasan yang dianggap sebagai kegagalan Kemenkumham mengurai masalah klasik Lapas sejak lama.

Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani meminta Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) melakukan audit menyeluruh pada seluruh lapas di Indonesia.

Audit harus dilakukan, terutama dalam sistem keamanan dan mitigasi terjadinya bencana, seperti kebakaran. (Tirtoid, 8/9/2021).

Kedua, sistem peradilan pidana bermasalah. Menurut Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati, kelebihan penghuni hanyalah efek dari sistem peradilan Indonesia yang menjadikan penjara sebagai hukuman utama.

Ia mencatat sebanyak 52 kali hukuman penjara sering kali digunakan hakim dan jaksa dalam proses pidana. Sehingga, terjadilah yang namanya lapas kelebihan beban karena narapidana selalu berakhir di penjara.

Solusi Pragmatis

Bukannya mengurai masalah dengan solusi tepat, penguasa justru menawarkan solusi yang tidak pas. Lebih bersifat pragmatis ketimbang menyolusi.

Di antaranya, pertama, revisi UU Narkotika. Pernyataan ini disampaikan Menkumham Yasonna Laoly.

Apakah dengan revisi UU Narkotika kelebihan beban Lapas dapat terurai? Apakah dengan mengubah jenis hukuman bagi para pengguna narkoba dari penjara ke rehabilitasi akan menyelesaikan masalah Lapas dan narkotika itu sendiri?

Jika memang narkoba menjadi masalah, harusnya berpikir bagaimana memberantas narkoba sehingga mereka yang terjerat baik sebagai  pengguna, pengedar, ataupun bandar tidak semakin merajalela. Kok solusinya revisi UU Narkotika? Pragmatis sekali.

Kedua, pengesahan RUU Pemasyarakatan. RUU ini dianggap menjadi solusi bagi problem lapas yang menahun. Masalahnya, berapa pun RUU yang mau disahkan, tidak akan menuntaskan persoalan, karena UU dibuat hanya untuk menyelesaikan persoalan cabang, bukan akarnya.

Ketiga, perbaikan sistem peradilan. Lapas overcrowding karena hukuman penjara selalu jadi andalan memvonis narapidana.

Harusnya dievaluasi apakah hukuman penjara sudah memberi efek jera bagi pelaku kejahatan? Sudah banyak residivis keluar masuk penjara karena negeri ini tidak menetapkan hukuman yang membuat jera pelakunya.

Seperti kasus transaksi narkoba yang masih bisa dilaksanakan meski di dalam penjara. Ada potensi para napi itu justru menjadikan penjara sebagai “hulu” untuk melakukan aksi kriminalnya.

Keempat, membangun penjara baru. Pernyataan ini disampaikan Menkopolhukam, Mahfud MD. Ia akan menggunakan dana hasil sitaan kasus BLBI untuk membangun penjara baru agar tidak overkapasitas.

Ini lebih pragmatis lagi. Solusi ini seperti memotong rumput tetapi akarnya tak dicabut, rumput tetap bisa tumbuh. Menambah penjara baru boleh jadi mengurangi overcrowding, tapi tidak akan menghilangkan kriminalitas dengan hadirnya wajah baru pelaku kriminal.

Para penguasa negeri ini mengapa selalu berfokus pada dampak akibat kebakaran Lapas? Kelebihan penghuni Lapas sejatinya diakibatkan meningkatnya kriminalitas.

Di awal tahun 2021 saja, angka kejahatan mengalami tren kenaikan. Bukan kenaikan tahunan, tapi pekanan. Pada Februari 2021, kenaikan angka kejahatan meningkat dari 4.878 kasus di pekan ke-3 menjadi 5.247 kasus di pekan ke-4. Itu baru sebulan, belum dua sampai beberapa bulan ke depan.

Meningkatnya angka kriminalitas tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem hukum sekuler. Orang mudah berbuat jahat lantaran tak membekali diri dengan iman.

Orang mudah menjahati orang lain lantaran kepepet ekonomi yang serba sulit. Ekonomi sulit karena penguasa mengabaikan kewajibannya memenuhi kebutuhan dasar rakyat.

Jadi, kriminalitas terjadi bukan hanya karena ada peluang dan kesempatan atau himpitan ekonomi, tetapi juga tegaknya hukum sekuler buatan manusia yang tidak memberikan efek jera bagi pelakunya.

Keunggulan Hukum Islam

Salah satu keunggulan hukum Islam adalah pemberlakuan sistem sanksi yang tegas. Dengan sanksi tersebut akan memberikan efek jera bagi para pelaku.  Efek jera inilah yang memiliki fungsi zawajir (pencegah) dan  jawabir (penebus dosa).

Sanksi yang diputuskan akan membuat para pelaku merasa kapok dan tidak mengulangi kejahatannya. Dengan sanksi itu pulalah, hukuman itu bisa mereka tebus di dunia sehingga kelak di akhirat tidak akan mendapat azab yang pedih dari Allah Swt.

Islam memiliki sejumlah strategi dalam mencegah angka kriminalitas. Pertama, membina keimanan dan ketakwaan individi dengan akidah Islam. Hal ini bisa dilakukan dengan penerapan sistem pendidikan Islam serta peran masyarakat untuk membentuk ketakwaan komunal.

Kedua, kepekaan sosial yang tinggi dalam wujud dakwah amar makruf nahi mungkar. Dengan lingkungan yang Islami, setiap kemaksiatan dapat dicegah oleh masyarakat sendiri. Budaya saling menasihati, mengontrol, dan mengawasi setiap pelanggaran syariat akan mampu mencegah angka kriminalitas.

Ketiga, berfungsinya peran aparat penegak hukum sebagai pelayan dan pelindung umat dari kejahatan. Ketika fungsi ini didasari rasa tanggung jawab dan iman yang kuat, masyarakat tidak akan segan dan sungkan melaporkan setiap kejahatan yang terjadi.

Jika hukum yang ditegakkan berdasar syariat Islam, tidak akan ada jual beli hukum di lingkungan aparat penegak hukum.

Keempat, negara memberi jaminan kebutuhan hidup yang layak dan tercukupi. Hal itu terangkum dalam kebijakan ekonomi negara islam dalam mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan penyediaan lapangan kerja. Sehingga orang tidak akan mudah berutang lantaran kekurangan kebutuhan. Atau ia berdalih melakukan kejahatan karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Jika kebutuhan rakyat terpenuhi, lapangan kerja mudah diperoleh, angka kriminal seperti pencurian, pembegalan, perampokan akan terminimalisir dengan sendirinya. Jika masih ada yang melanggar setelah diberlakukan aspek pencegahan, maka aspek hukuman berupa sanksi akan diterapkan. Sistem ini akan terterapkan secara integratif dengan negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Dengan begitu, masalah-masalah yang muncul akibat tingginya kriminalitas dapat dicegah.

Wallahu A’lam.

Penulis Adalah Pemerhati Sosial

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *