Ketika Masjid Istiqlal Dirancang Seorang Anak Pendeta

PENASULTRA.COM – Pasca kemerdekaan tepatnya 1953. Sejumlah tokoh Islam berkumpul diantaranya Wahid Hasyim, Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto, untuk mencetuskan ide mendirikan sebuah masjid sebagai simbol kemerdekaan RI.

Setahun kemudian, 7 Desember 1954, dibentuklah yayasan yang difungsikan sebagai panitia pendirian masjid. Sebelumnya, telah disepakati nama Istiqlal dalam bahasa Arab berarti kemerdekaan.

Yayasan Masjid Istiqlal kemudian mengadakan sayembara untuk mendapatkan desain ideal masjid yang mampu merepresentasikan kemerdekaan Indonesia. Dari 30 peserta sayembara arsitek, Presiden Sukarno sebagai Ketua Dewan Juri mengumumkan nama Friedrich Silaban dengan karya berjudul “Ketuhanan” sebagai pemenang sayembara arsitek masjid itu.

Bung Karno menjuluki F Silaban sebagai “By the grace of God” karena memenangi sayembara itu.

Menariknya, Frederich Silaban justru seorang penganut Kristiani.
Lahir di Bonandolok, Sumatera Utara, 16 Desember 1912.

F Silaban hanya bersekolah di HIS Narumonda, Tapanuli, Sumatera Utara, dan Koningin Wilhelmina School, sebuah sekolah teknik di Jakarta. Namun, anak seorang pendeta Kristen Protestan yang miskin itu telah melahirkan berbagai bangunan modern pada masanya. Hingga kini, karya-karyanya pun menjadi bangunan bersejarah. Kemegahan sekaligus simbol kerukunan antarumat beragama di Indonesia, menyatu pada arsitek masjid Istiqlal, Jakarta.

Pembangunan masjid Istiqlal memakan waktu hingga 17 tahun terhitung sejak 1961 saat pemerintahan Sukarno. Kemudian rampung tahun 1978 di era kepemimpinan Soeharto.

Masjid ini berdiri diatas lahan seluas 9,5 Hektar. Luas tersebut meliputi bangunan masjid, taman, tempat parkir, dan kolam air mancur. Enam tahun setelah Masjid Istiqlal selesai dibangun, F. Silaban mengaku bahwa arsitektur Istiqlal itu asli. Tidak meniru dari mana-mana, tetapi ia juga tidak tahu dari mana datangnya.

“Patokan saya dalam merancang hanyalah kaidah-kaidah arsitektur yang sesuai dengan iklim Indonesia dan berdasarkan apa yang dikehendaki orang Islam terhadap sebuah masjid,” ucap Silaban.

Kesederhanaan ide Silaban rupanya berbuah kemegahan. Jadilah masjid yang berdampingan dengan Gereja Katedral itu tampak seperti masa saat ini. Masjid Istiqlal berdiri megah diapit dua kanal Kali Ciliwung, kubahnya bergaris tengah 45 meter, dan ditopang 12 pilar raksasa serta 5.138 tiang pancang.

Dindingnya berlapis batu marmer putih. Air mancur besar melambangkan “tauhid” dibangun di barat daya. Udara didalam masjid sangat sejuk walau tanpa dilengkapi pendingin ruangan.

Dilengkapi menara setinggi 6.666 sentimeter, sesuai dengan jumlah ayat Al Quran, masjid itu mampu menampung 20.000 jamaah. 

“Saya membuat dinding sesedikit mungkin supaya angin leluasa masuk. Saya ingin umat yang sembahyang di masjid itu seintim mungkin dengan Tuhan,” tutur Silaban dikutip dari nationalgeographic.co.id.

Karier Silaban di dunia arsitek diawali saat bersekolah di Jakarta. Setelah lulus sekolah, Silaban mengunjungi kantor Antonisse. Dia pun dipekerjakan sebagai pegawai di Departemen Umum, di bawah pemerintahan kolonial. Kariernya terus meningkat hingga akhirnya ia menjabat sebagai Direktur Pekerjaan Umum tahun 1947 hingga 1965. Jabatannya itu membawa Silaban ke penjuru dunia.

Tahun 1949 hingga 1950, Silaban ke Belanda mengikuti kuliah tahun terakhir di Academie voor Bouwkunst atau akademi seni dan bangunan. Pada saat inilah, Silaban mendalami arsitektur Negeri Kincir Angin itu dengan melihat dan “menyentuhnya” secara langsung.

Tidak hanya Belanda, setidaknya 30 kota besar di penjuru dunia telah dikunjungi Silaban. Tujuannya satu, mempelajari arsitektur di negara-negara tersebut.

Perjalanannya ke penjuru dunia, terutama setelah kunjungannya ke India, menyiratkan satu hal bahwa jiwa sebuah bangsalah yang mendefinisikan arsitektur bangsa tersebut.

Sang arsitek tutup usia pada hari Senin, 14 Mei 1984, di RSPAD Gatot Subroto karena sakit yang dideritanya.
Selain Istiqlal, peninggalan Silaban tercatat sekitar 700 bangunan mega proyek di Indonesia. Diantaranya, Stadion Gelora Bung Karno (Jakarta/1962), Monumen Pembebasan Irian Barat, Tugu Monas, Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata, hingga Tugu Khatulistiwa di Pontianak.

Friedrich Silaban telah pergi, tapi sejarah telah terukir melalui jejak karya monumentalnya. Bukan hanya jejak karya seni arsitektur. Tetapi tentang toleransi dan kemanusiaan.(b)

Editor: La Ode Kasmilahi

Sumber: indonesiakaya.com, nationalgeographic.co.id