Mengelola Virus

Pena Opini528 views

Oleh: 

Wahyu Pratama Mahasiswa Pendidikan Geografi FKIP UHO/Ketua DPM FKIP UHO 2021-2021

Kyai Engko agak heran, ditengah situasi persebaran Covid-19 yang kian mengganas, kapasitas daya tampung Rumah sakit yang kian menurun ditambah lagi dengan ditemukannya varian baru Covid-19, justru banyak orang termasuk pemerintah tidak merasa terancam, aktivitas berkumpul dilakukan seperti kita tidak sedang mengalami bencana. Padahal, Negara telah mengeluarkan seluruh resourches untuk menanggulangi pandemi yang amat berbahaya ini. Tetapi dia melihat pemerintah hanya resah di televisi dan diatas kertas kebijakan tetapi dalam aplikasinya pemerintah seolah tergagap-gagap dalam memberlakukan kebijakan tersebut.

“Pemerintah kelihatan ambigu dalam menangani krisis ini”, ujar Kyai Engko, pada diskusi malam jum’at dengan para santrinya.

Para santri, mula-mula masih agak takut-takut dan berusaha menebak arah pembicaraan Kyai Engko. Sebab, kalau sudah memasuki masalah krisis, ujung-ujungnya pastilah menyinggung soal politik.

Misalnya, apa yang baru saja ramai di media-media tentang lonjakan kasus positif Covid-19, pembatasan kegiatan masyarakat skala mikro sampai dengan bed occupancy rate (BOR) yang kian menipis dibeberapa rumah sakit. Masalah-masalah tersebut kelihatannya sangat serius dan tentu saja menimbulkan kekuatiran, namun pada sisi yang lain, pemerintah dengan alasan menggerakan ekonomi tetap membolehkan acara yang berpotensi menimbulkan kerumunan. Sebut saja misalnya, Sultra Ekspo serta pelaksanaan Munas Kadin yang akan dibuka oleh Presiden Joko Widodo. Kegiatan tersebut tentu berpotensi menimbulkan kerumunan dan juga berpotensi menjadi cluster baru penyebaran covid, utamanya peserta yang berasal dari wilayah zona merah.

Kalau begitu, bagaimana cara mengukur keseriusan pemerintah, Kyai”, ujar santri yang aktif di Badan Pemerintahan Mahasiswa. Perhatiannya terhadap soal-soal politik sangat tinggi, malah melebihi para politisi praktis sendiri. Di kalangan mahasiswa dikampusnya, dia disejajarkan dengan para vokalis politik resmi, seperti DPR.

Mereka merasa wajib bertanya begitu. Soalnya, pandemi Covid-19 menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia, soal kesehatan, ekonomi, sosial-politik dan hankam, yang seringkali sulit menentukan ukurannya.

“Rasanya, kita harus bisa menentukan jumlah indicator krisis agar tidak sekedar mengukurnya dengan perasaan, yang seringkali sangat subyektif,” sahut santri-budaya.

Beberapa santri, memang ribut berbeda pendapat tentang ukuran indicator itu. Ada yang memberi dukungan, penanganan pandemi harus disertai dengan pemulihan ekonomi. Tetapi bagi sebagian santri, kebijakan itu akan sangat sulit dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan. Sebagian santri mendukung pernyataan PB IDI agar pemerintah menerapkan PSBB utamanya diwilayah zona merah. Toh, jika hanya kepentingan Munas Kadin dan kunjungan Presiden lantas pemerintah kembali melonggarkan pengetatan kegiatan masyarakat maka itu memperlihatkan pemerintah tidak serius mengurus Covid ini. Kalau hanya kegiatan Munas Kadin bisa dilaksanakan secara virtual atau Hybrid. “PMII sudah memberi contoh bagaimana perhelatan Kongres dapat dilaksanakan secara hybrid melalui pembagian zona kongres, dan Presiden dapat membuka pelaksanaan Munas Kadin secara virtual dan itu tidak menghilangkan esensi sebuah musyawarah,” ujar salah satu santri NU.

“Pemerintah sekarang ini membingungkan Kyai, Mendagri mengeluarkan kebijakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat, kemarin Menteri PANRB mengeluarkan pembatasan bepergian keluar daerah dan cuti bagi ASN selama hari libur nasional dengan nomor 13/2021. Tetapi disisi lain, Gubernur Sulawesi Tenggara mengadakan pameran Sultra Ekspo dalam rangka Munas Kadin.

Jadi, sulit bagi kita masyarakat untuk menilai bahwa pemerintah sedang serius menangani pandemi ini,” ujar santri yang lain.

Bagi dia, tindakan preventif untuk menangkal virus dan ancaman penularan harus ditopang oleh komitmen para CEO dalam hal ini pejabat pusat, Gubernur dan Bupati/Walikota, karena selama ini telah banyak kertas kebijakan, diskusi, dan sebagainya itu, yang menyinggung krisis covid-19 dan ancaman yang akan ditimbulkan hanya menghasilkan tumpukan kertas kebijakan yang mengawang saja.

Kyai Engko tersenyum saja. Dia merasakan. Aksi-aksi yang ditampilkan pemerintah saat ini semacam “panggung komedi” saja, untuk bahan lucu-lucuan. Pemerintah dalam kurun waktu tertentu ingin dikatakan sangat tegas dalam menangani covid, namun dalam waktu yang lain pemerintah sangat longgar dalam melaksanakan kebijakan itu.

“Persoalan sebenarnya bukan melarang adanya kegiatan Sultra Ekspo dan Munas Kadin, karena memang itu kegiatan yang dapat menopang peningkatan ekonomi,” ujar Kyai Engko. “Yang penting, justru bagaimana menghadirkan kekuatan teknologi informasi agar dua agenda pemerintah itu dapat terlaksana. Surabaya Virtual Fashion, Craft,and Culinary Expo 2021 yang dilaksanakan Pemerintah Kota Surabaya adalah suatu contoh inovasi menggerakan ekonomi dengan kekuatan teknologi informasi,” ujarnya.

“apa kita bisa ?”

“Bisa. Krisis itu selalu memunculkan ide dan gagasan inovatif agar kita bisa tetap survive. Inovasi itu, identic dengan potensi yang berenergi. Kalau potensi itu dikelola secara serius, akan menghasilkan suatu kemajuan yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup kita,” tambahnya.

“Kalian sudah mafhum teori-teori manajemen, kan ? ini soal sederhana saja, yakni menggunakan akal sehat (common sense),” ujar Kyai Engko.

“Bagaimana penempatannya pada prinsip-prinsip manajemen ?”

“Itu kan hanya prinsip-prinsip pokoknya. Tetapi, bagaimana mengaplikasikannya dalam aspek gerak, menyangkut aspek seni, bukan sekedar pengetahuan.”

Bagi Kyai Engko, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi tidak bisa dilakukan dengan visi yang simplistis, butuh keterpaduan dalam mengelola virus ini. Kita tidak sedang berperang dengan virus, tetapi kita sedang berperang untuk mencari solusi agar keduanya bisa berjalan simultan. Penanganan pandemi tetap berjalan tetapi pemulihan ekonomi juga berjalan.

“Berarti, manajemen virus menyangkut pendekatan santifik, estetik dan etik sekaligus, bukan sekadar mencari mudahnya,” ujar Kyai Engko.

“Kita sering kali bicara soal penting, darurat, krisis, ancaman. Itu sebenarnya apa sih ? berarti, kan harus dipahami oleh semua orang, bukan sekadar dipahami oleh pemerintah sebagai pemilik program.”

Ujian sesungguhnya dari seorang CEO adalah ketika dia mampu keluar sebagai pemenang ditengah kepungan musuh yang dahsyat itu.(***)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *