Menilik Objektifitas Tuntutan Jaksa Pinangki

Pena Opini1,182 views

Oleh: Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H.

Posisi Kasus

Joko Soegiharto Tjandra atau yang lebih dikenal Joko Candra adalah seorang terpidana korupsi berdasarkan putusan Majelis Peninjauan Kembali Mahkamah Agung pada 11 Juli 2009 atas kasus hak tagih (cassie)Bank Bali yang merugikan negara sebesar Rp.904 miliyar pada tahun 1999. Ia dihukum 2 tahun penjara dan denda Rp.15 juta serta uang milik Joko Candra yang berada di Bank Bali senilai Rp.5,4 miliyar dirampas oleh negara. Namun, sebelum putusan PK oleh MA itu dibacakan, tanggal 19 Juni 2009 Joko Candra melarikan diri ke luar negeri. Maka sejak saat itu, Joko Candra ditetapkan sebagai buronan dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang.

11 tahun menjadi buronan aparat penegak hukum, Joko Candra akhirnya berhasil ditangkap pada 30 Juli 2020 bertempat di Malaysia. Naasnya, keberhasilan aparat penegak hukum dalam menangkap pelarian Joko Candra turut melibatkan 2 Jendral Polri, seorang Jaksa, seorang Advokat, juga pihak swasta lainnya dimana kesemuanya itu turut membantu Joko Candra untuk masuk kembali ke Indonesia termasuk pengurusan fatwa MA melalui Kejaksaan Agung.

Terhadap seorang Jaksa yang dimaksud adalah bernama lengkap Pinangki Sirna Malasari atau Jaksa Pinangki. Perannya dalam kasus Joko Candra adalah menjaminkan diri sebagai orang yang akan mengurus upaya hukum Joko Candra untuk mendapatkan fatwa MA melalui Kejaksaan Agung sehingga Joko Candra bisa kembali lagi ke Indonesia tanpa harus menjalani masa pidana 2 tahun penjara yang dijatuhkan terhadapnya sejak 11 Juli 2009 lalu. Dalam perannya tersebut, Jaksa Pinangki menerima uang sebesar $500 ribu dollar atau sekitar Rp.7 miliyar sebagai biaya pengurusan fatwa MAa quo. Dimana uang itu kemudian dibagikan kepada Anita Kolopaking yang berprofesi sebagai Advokat yang akan mendampingi Joko Candra sebesar $50 ribu dollar atau sekitar Rp.700 juta. Sehingga uang yang dikuasai oleh Jaksa Pinangki seorang diri adalah $450 ribu dollar atau sekitar Rp.6,3 miliyar.

Uang pemberian Joko Candra itu kemudian digunakan oleh Jaksa Pinangki untuk :Pertama, membeli 1 unit mobil BMW X5 senilai Rp. 1,7 miliyar. Kedua, pembayaran sewa apartemen di Amerika Serikat senilai Rp. 421 juta. Ketiga, pembayaran dokter kecantikan di Amerika Serikat sebesar Rp.419 juta. Keempat, pembayaran dokter home care Rp.176 juta. Kelima, pembayaran kartu kredit bank Mega Rp.467 juta, pembayaran kartu kredit Bank DBS Rp.185 juta, pembayaran kartu kredit BNI Visa Platinum dan Master Gold senilai Rp.483 juta, pembayaran kartu kredit Bank Panin senilai Rp.950 juta. Keenam, pembayaran sewa apartemen The Pakubuwono Signature sebesar $68,9 ribu dollar atau setara Rp.969 juta dan perpanjangan sewa apartemen Darmawangsa sebesar $38,4 ribu dollar atau setara Rp.524 juta.  Jumlah keseluruhan uang yang disamarkan asal usulnya oleh Jaksa Pinangki adalah $444,900 ribu dollar atau setara dengan RP. 6,2 Miliyar.

Atas perbuatannya tersebut Jaksa Pinangki didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung dengan 3 dakwaan yakni dakwaan pertama terhadap tindak pidana korupsi suap Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Dakwaan kedua terhadap tindak pidana pencucian uang Pasal 3Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Dan dakwaan ketiga terkait permufakatan jahat Pasal 15 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 15 jo Pasal 13 UU PTPK. In casu, dalam sidang tuntutan Jaksa Pinangki dituntut dengan 4 tahun penjara dan denda Rp. 500 juta.

Sumber diperoleh dari Liputan6.com “Kronologis Kasus Djoko Tjandra, dari Bank Bali hingga Jadi WN Papua Nugini”.Nasional.tempo.co “Perjalanan Djoko Tjandra hingga Menyeret Dua Jendral Polisi”.Hukumonline.com “Ini Uraian Dakwaan Berlapis Jaksa Pinangki” dimana Penulis telah merangkumnya.

Tindak Pidana Korupsi Suap

Korupsi dalam perspektif hukum, mengacu pada UU PTPK. Bila mencermati undang-undang a quo kiranya terdapat 30 perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi, yakni : Pertama, berkaitan dengan kerugian keuangan negara sebanyak 2 pasal. Kedua, berkaitan dengan suap-menyuap sebanyak 12 pasal.Ketiga, berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan sebanyak 5 pasal.Keempat, berkaitan dengan pemerasan sebanyak 3 pasal.Kelima, berkaitan dengan perbuatan curang 6 pasal.Keenam, berkaitan dengan benturan kepentingan dalam pengadaan sebanyak 1 pasal.Ketujuh, berkaitan dengan gratifikasi sebanyak 1 pasal.

Terhadap tindak pidana korupsi suap yang terdapat dalam 12 pasal sebagaimana disebutkan di atas, yakni : Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf c dan Pasal 12 huruf d. Dimana dalam 12 pasal ini kemudian dikelompokan menjadi dua, yakni disebutkan dengan penyuapan aktif (active omkoping) dan penyuapan pasif (passieve omkoping).Juga subjek yang ditujukkan sebagai penerima suapdikelompokkan unsur Pegawai Negeri, Penyelenggara Negara, Hakim juga Advokat.

Dakwaan Pertama

Mencermati dakwaan pertama JPU yang menggunakan Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 11 UU PTPK. Pertama, didalam Pasal 5 kiranya terdapat 3 bentuk delik korupsi.Dua delik korupsi memberi suap, yang terdapat masing-masing pada ayat (1) huruf a dan huruf b. Sedangkan bentuk ketiga adalah delik korupsi pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima suap pada ayat (2). Dapat dikelompokkan bahwa, terhadap Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b termasuk dalam suap aktif sedangkan Pasal 5 ayat (2) adalah suap pasif. In casu, terhadap Jaksa Pinangki didakwakandengan Pasal 5 ayat (2) mutatis-mutandistermasuk dalam suap pasif oleh karena ia sebagai penerima suap. Kedua, terhadap pasal yang mengatur tentang suap pasif ini kiranya didalam UU PTPK sendiri membaginya kedalam 10 bentuk penerima suap yakni : Pertama,pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji dari pemberi suap didalam Pasal 5 ayat (1) huruf a yang dimaksukkan menjadi ayat (2) dari Pasal 5. Kedua,pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji dari pemberi suap didalam Pasal 5 ayat (1) huruf b yang dimasukkan menjadi ayat (2) dari Pasal 5. Ketiga,hakim yang menerima pemberian atau janji dari pemberi suap didalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 6 ayat (2). Keempat, advokat yang menerima pemberian atau janji dari pemberi suap didalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, yang dimasukkan dalam Pasal 6 ayat (2). Kelima,pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya (Pasal 11). Keenam,pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima hadiah atau janji untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 12 huruf a). Ketujuh, pegawai negeri atau penyelenggara negarayang menerima hadiah sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 12 huruf b).Kedelapan,hakimyang menerima hadiah atau janji untuk memengaruhi putusan yang diadilinya (Pasal 12 huruf c). Kesembilan, advokat menerima hadiah atau janji untuk memengaruhi nasihat yang diberikan berhubungan dengan perkara yang ditanganinya di sidang pengadilan (Pasal 12 huruf d). Kesepuluh, pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima gratifikasi (Pasal 12 B). Ketiga,terhadap point kedua di atas dapat diketengahkan bahwa kiranya subjek hukum sebagai penerima suap terkualifikasi yakni dia sebagai pengawai negeri, penyelenggara negara, hakim ataukah advokat.In casu, terhadap Jaksa Pinangki adalah termasuk kedalam subjek hukum pegawai negeri.Hal ini dapat dibuktikan dengan SK pengangkatannya sebagai pegawai negeri dilingkungan Kejaksaan Agung berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Keempat, oleh karena Jaksa Pinangki berprofesi sebagai seorang Jaksa yang termasuk kedalam subjek hukum pegawai negeri penerima suap maka pasal yang dapat dikenakan terhadapnya adalah Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat 1 huruf a dan huruf b, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b dan Pasal 12 B.In casu,terhadap Jaksa Pinangki JPUhanya menggunakan Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 11 UU PTPK.

Persamaan dan Perbedaan Rumusan Delik

Terhadap rumusan delik didalam Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat 1 huruf a yang didakwakan kepada Jaksa Pinangki sebenarnya memiliki kesamaan rumusan delik didalam Pasal 12 huruf a dalam teknis perumusannya. Persamaan itu terletak pada :Pertama,kualifikasi subjek hukum yang melakukannya yakni pegawai negeri atau penyelenggara negara. Kedua, unsur perbuatannya.Pasal 5 ayat (2) adalah “menerima pemberian atau menerima janji” sedangkan dalam Pasal 12 huruf a adalah “menerima hadiah atau menerima janji”. Persamaan keduanya adalah terletak pada unsur perbuatan “menerima”.Ketiga,dilihat dari tujuan pemberian suap.Kiranya baik Pasal 5 ayat (2) maupun Pasal 12 huruf a memiliki tujuan yang sama dalam rumusan deliknya. Dalam Pasal 5 ayat (2) dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a yakni pada frasa “supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”.Sedangkan dalam Pasal 12 huruf a terletak pada frasa “bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”.

Terkait dengan perbedaan rumusan delik Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 huruf a adalah :Pertama, Pasal 5 ayat (2) adalah delik yang tidak bisa berdiri sendiri. Dimana untuk dapat dihukum berdasarkan Pasal 5 ayat (2) bergantung pada delik yang dilakukan menurut Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b. Untuk itu, dalam rumusan deliknya agar dapat menghukum seseorang berdasarkan Pasal 5 ayat (2) selalu di hubungkan dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b. Hal ini berbeda dengan Pasal 12 huruf a adalah delik yang dapat berdiri sendiri.Kedua, terkait dengan ancaman sanksi pidana. Seseorang yang dituntut dengan Pasal 5 ayat (2) ancaman pidananya adalah pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 50 juta dan paling banyak Rp. 250 juta. Sedangkan dalam Pasal 12 huruf a ancaman pidananya adalah pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak Rp. 1 miliyar.Ketiga, terkait unsur kesalahannya.Suap menurut Pasal 5 ayat (2) tidak dirumuskan secara expressive verbis berkaitan dengan bentuk kesalahan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap apakah bentuk kesalahan itu berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).Sedangkan didalam Pasal 12 huruf a dirumuskan secara tegas bentukkesalahan berupa dolus atau culpa. Hal ini dapat ditemukan pada frasa “diketahui” sebagai bentuk kesalahan berupa dolus sedangkan frasa “patut diduga”sebagai bentuk kesalahan berupa culpa.

Terhadap perbedaan pada point ketiga ini hemat Penulis tidak menjadi persoalan yang signifikan.Memang adakalanya pembentuk undang-undang tidak mencantumkan bentuk kesalahan dalam rumusan delik secara tegas.Namun, terkait dengan pencantuman bentuk kesalahan secara tegas ataukah tidak didalam suatu rumusan delik itu hanya memiliki arti penting pada konteks pembuktiannya saja. Jika dalam suatu rumusan delik tidak dinyatakan secara tegas bentuk kesalahannya berupa dolus atau culpasebagaimana didalam Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a, maka dengan dapat dibuktikan unsur-unsur delik yang lain bentuk kesalahan berupa dolus atau culpa dianggap telah terbukti dengan sendirinya. Sedangkan tehadap suatu rumusan delik yang menyatakan secara expressiveverbis bentuk kesalahannya maka penuntut umum harus membuktikan unsur kesalahan tersebut.

Dakwaan Kedua

Mencermati dakwaan kedua terhadap tindak pidana pencucian uang Pasal 3 UU TPPU.Terhadap pasal a quo kiranya ada beberapa unsur perbuatan yang dilarang yakni menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain. Perbuatan tersebut dilarang jika diperoleh dari hasil tindak pidana yang dimaksudkan didalam Pasal 2 ayat (1) berupa : korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, dibidang perpajakan, dibidang kehutanan, dibidang lingkungan hidup, dibidang kelautan dan perikanan atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih.

Terhadap unsur perbuatan yang dilarang tersebut baik menempatkan, mentransfer dan seterusnya sebagaimana dimaksud didalam Pasal 3 UU TPPU tidak perlu membuktikan keselurusan unsurnya cukup hanya dibuktikan salah satu unsurnya saja oleh karena rumusan delik dalam pasal aquo dirumuskan secara alternatif.Terhadap pembuktian dalam TPPU pun tidak diwajibkan membuktikan predicate crime atau tindak pidana asalnya lebih dulu yang termuat dalam Pasal 2 sehingga penegakannya jauh lebih mudah. Hal ini sebagaimana ditegaskandidalam Pasal 69 UU TPPU.Terakhir, dilihat dari berat-ringannya sanksi pidana (strafmaat)didalam Pasal 3 adalah pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp. 10 miliyar.

Dakwaan Ketiga

Mencermati dakwaan ketiga terkait permufakatan jahat Pasal 15 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 15 jo Pasal 13 UU PTPK. Terkait dengan apa yang dimaksud dengan permufakatan jahat, merujuk pada Putusan MK Nomor : 21/PUU-XIV/2016 atas judicial review terhadap Pasal 15 UU PTPK bahwa “permufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas sama saling bersepakat melakukan tindak pidana”.Berdasarkan konstruksi hukum putusan MK a quo tampak ada permufakatan jahat apabila : Pertama, dua orang atau lebih. Kedua, memiliki kualitas yang sama. Ketiga, kesepakatan. Keempat, akan melakukan kejahatan. Jika mencermati lebih jauh kiranya unsur kesepakatan adalah menjadi unsur paling esensial didalam permufakatan jahat.Konsepsi kesepakatan ini perlu dibuktikan dengan adanya meeting of mind yang tidak mengharuskan adanya kesepakatan antara yang disuap dengan penyuap.Meeting of mind tidak harus melalui persetujuan secara eksplisit layaknya dalam lapangan hukum perdata akan tetapi cukup melalui tindakan secara tidak langsung menandakan adanya kesepakatan atau yang dalam hukum perdata disebut dengan persetujuan diam-diam. In casu, pertemuan Jaksa Pinangki dengan Joko Candra di Malaysia untuk membantu pengurusan fatwa MA melalui Kejaksaan Agung kiranya dapat termasuk dalam permufakatan jahat dalam konsepsi meeting of mind yang dimaksud.

Terhadap suatu perbuatan yang termasuk dalam permufakatan jahat, berdasarkan Pasal 15 sanksi pidana yang dapat dijatuhkan adalah sama dengan tindak pidana yang dimaksud Pasal, 2 Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Artinya seseorang yang melakukan percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat terhadap tindak pidana korupsi tidak mendapat keringanan hukuman menurut Pasal 15 ini sebagaimana halnya delik percobaan atau pembantuan didalam KUHP yang dikurang 1/3 (sepertiga) dari maksimum pidana.In casu, terhadap dakwaan ketiga Jaksa Pinangki ini sanksi pidana tidak mendapatkan keringanan dan tetap merujuk sanksi pidana pada Pasal 5 atau Pasal 13 seperti yang didakwakan terhadapnya.

Kritik

Berdasarkan uraian di atas, Penulis kemudian berpandang sebagai berikut :

PERTAMA, terhadap dakwaan pertama JPU yang menggunakan Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 11 sebenarnya JPU juga memiliki pilihan untuk menggunakan Pasal 12 huruf a. Alasannya adalah karena rumusan antara keduanya memiliki persamaan dalam teknis perumusannya.Disisi lain, ancaman pidana didalam Pasal 12 huruf a jauh lebih berat bila dibandingkan dengan Pasal 5.

KEDUA,menggunakan Pasal 12 B tentang gratifikasi sebagai bentuk suap dalam arti yang lebih luas. Alasannya mencermati syarat adanya delik gratifikasi menurut Pasal 12 B ayat (1) kiranya terdapat 2 bentuk : Pertama, penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara harus ada hubungannya dengan jabatannya. Kedua, penerimaan itu harus berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Terkait dengan bentuk penerimaan gratifikasi sendiri sangat luas dijelaskan dalam penjelasan Pasal 12 B ayat (1) yakni “gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Sehingga dari syarat dan penjelasan gratifikasi tersebut bila disandingkan dengan rumusan delik didalam Pasal 5 ayat (2) maupun Pasal 12 huruf a memiliki kesamaan makna terhadap yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajibannya sehingga hemat Penulis Pasal 12 B ini dapat pula digunakan dalam dakwaan JPU. Bahkan penggunaan Pasal 12 B ini dianggap lebih menguntungkan JPU karena beban pembuktian terhadap uang yang diperoleh dari suap dibebankan kepada terdakwa dengan syarat jika nilainya itu Rp. 10 juta atau lebih.In casu, terhadap Jaksa Pinangki uang yang dimiliki adalah $450 ribu dollar atau sekitar Rp. 6,3 miliyar mutatis-mutandis pembuktian uang itu dibuktikan oleh Terdakwa Jaksa Pinangki sendiri bukan kepada JPU.

KETIGA, karena bentuk delik yang dilakukan adalah sejenis berkaitan dengan penerima suap oleh pegawai negeri sehingga dakwaan yang digunakan adalah dakwaan alternatif. Olehnya itu, seharusnya JPU menggunakan Pasal 12 B terkait dengan gratifikasi atau menggunakan Pasal 12 huruf a sebagai dakwaan primair sedangkan Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 11 sebagai dakwaan subsidairnya. Hal ini menghitung penggunakan Pasal 12 B terkait dengan gratifikasi atau Pasal 12 huruf a sanksi pidananya lebih berat bila dibandingkan dengan penggunaan Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 UU PTPK

KEEMPAT, mencermati ketiga dakwaan yang didakwakan kepada Jaksa Pinangki yakni delik suap, delik pencucian uang dan permufakatan jahat adalah delik yang berdiri sendiri.Sehingga berlaku terhadapnya prinsip concursus realis dalam perbarengan perbuatan pidana yang dikenal dalam lapangan hukum pidana.Hal ini diatur didalam Pasal 65 KUHP dimana prinsip ini lebih kepada penjatuhan pidana bahwa maksimum pidana yang diancamkan terhadap perbuatan yang dilakukan lebih dari satu perbuatan pidana adalah pidana terberat ditambah 1/3 (sepertiga).

KELIMA,terhadap point keempat di atas, maka seharusnya ancaman pidana yang dijatuhkan kepada Jaksa Pinangki berdasarkan prinsip concursus realis didalam Pasal 65 KUHP adalah pidana penjara 20 tahun bukan 4 tahun penjara sebagaimana tuntutan JPU. Hal ini bila berdasarkan ketiga rumusan dakwaan yang didakwaan terhadap Jaksa Pinangki kualifikasi delik denganancaman terberat terdapat didalam Pasal 3 UU TPPU dengan acaman pidana yakni paling lama 20 tahun. Terkait dengan pemberatan ditambah 1/3 (sepertiga) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 65 KUHP tidak dapat dijatuhkan kepada kasus ini karena pidana penjara 20 tahun adalah pidana maksimum terhadap pidana dalam kurun waktu tertentu.

KEENAM,Penulis membandingkandakwaan terhadap kasus yang samayakni suap terhadap pengawai negeri khususnya berprofesi sebagai jaksa. Pertama, kasus Jaksa Eka Safitra (Putusan Nomor : 1/Pid.Sus-TPK/2020/PN Yyk) dan Jaksa Satriawan Sulaksono (Putusan Nomor : 2/Pid.Sus-TPK/2020/PN Yyk) yang bertugas pada Kejaksaan Negeri Yogyakarta sebagai penerima suap atas proyek saluran air hujan di Yogyakarta dimana keduanya menerima suap sebesar Rp. 220 juta dan didakwa menggunakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU PTPK. Kedua, kasus mantan Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta yakni Agus Winoto yang menerima suap sebesar Rp. 200 juta dan didakwa terhadapnya menggunakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU PTPK. Ketiga, kasus Jaksa Farizal (Putusan Nomor : 1/Pid.Sus-TPK/2017/PNPdg) yang bertugas pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat menerima suap sebesar Rp. 440 juta terkait perkara gula berstandar nasional Indonesia didakwa dengan menggunakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU PTPK.

KETUJUH, terhadap point keenam di atas melihat kebiasaan aparat penegak hukum dalam kasus penerima suap dengan subjek penerimaadalah pegawai negeri, JPU selalu menggunakan Pasal 12 huruf a sebagai dakwaan primair.In casu,hal ini terlihat berbeda terhadap kasus Jaksa Pinangki, dimana JPU memilih menggunakan Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a sebagai dakwaan primair bukan memilih menggunakan Pasal 12 huruf a selayaknya kebiasaan JPU pada umumnya.

KEDELAPAN, sejak awal kasus ini bergulir ke publik, Penulis meragukan kasus Jaksa Pinangki diperiksa oleh Kejaksaan Agung.Keraguan itu muncul terkait dengan objektifitas aparat penegak hukum dalam memeriksa perkara quo karena yang menjadi terdakwa dalam kasus quo adalah juga seorang yang berprofesi sebagai Jaksa sehingga memungkinkan munculnya conflict of interest.Olehnya itu dari awal Penulis berpendapat bahwa sebaiknya kasus Jaksa Pinangki diambilalih oleh KPK untuk menjaga objektifitas pemeriksaannya.Keraguan Penulis itu kemudian terjawab pada pemilihan pasal dalam dakwaan oleh Kejaksaan Agung yang menggunakan Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a sebagai dakwaan primair dimana sanksi pidana dalam pasal quo rendah yakni maksimal 5 tahun penjara sedangkan bila dibandingkan dengan menggunakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 B maksimum pidana penjara adalah seumur hidup.Ditambah lagi tuntutan 4 tahun penjara oleh JPU dianggap tidak berpedoman pada prinsip concursus realis yang dianut didalam hukum pidana.

Harapan

Atas kasus ini kiranya kembali menjadi catatan penting atas pengaturan didalam UU PTPK sendiri dimana rumusan pasal khususnya penerima suap dengan unsur pegawai negeri yang saling tumpang tindihantara satu dengan lainnya sehingga dapat membuat celah hukum yang oleh aparat penegak hukum dalam memeriksa seseorang yang diduga menerima suap. Tumpang tindih tersebut telah Penulis jelaskan di atas yakni pada Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 huruf a dimana keberadaan keduanya dalam teknis perumusannya memiliki kesamaan sehingga dapat menimbulkan ketidakadilan dalam penerapannya khususnya JPU dapat memilih antara menggunakan pasal dengan sanksi pidana rendah sebagaimana Pasal 5 ataukah menggunakan pasal dengan sanksi pidana yang berat sebagaimana Pasal 12 huruf a. Olehnya itu, kedepannya UU PTPK sendiri perlu di kaji kembali dan dilakukan perubahan untuk mencegah terjadinya celah hukum yang demikian. (*)Walauhu a’lam bishawab

Penulis merupakan kandidat Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *