Modul Menjadi Alat Komersialisasi Kegiatan Akademik di Kampus

Pena Opini1,806 views

Oleh: La Ode Husaini

Mahasiswa atau seseorang yang pernah menempuh pendidikan di perguruan tinggi maupun pendidikan menengah, tentunya sudah tidak asing lagi dengan istilah “modul/diktat”.

Modul sangat erat kaitannya dengan mata pelajaran atau mata kuliah di perguruan tinggi dan lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal.

Modul adalah suatu paket belajar yang berisi satu unit materi belajar, yang dapat dibaca atau dipelajari seseorang secara mandiri.

Modul sangat diperlukan sebagai media pembelajaran di perguruan tinggi dengan berbagai pertimbangan, misalnya ketika dosen menyampaikan materi kuliah dengan metode standar dalam waktu tertentu (satu semester) terkadang tidak efektif.

Hal ini dikarenakan banyak faktor yang menjadi kendala, yaitu kurangnya waktu untuk menyampaikan secara tuntas semua materi sesuai dengan silabus yang telah ditetapakan serta kurangnya media visualisasi untuk menampilkan bahan ajar secara keseluruhan.

Melihat berbagai permasalahan tersebut, maka banyak dosen berinisiatif menyusun modul agar materi kuliah yang akan disampaikan kepada mahasiswa selama satu semester dapat diselesaikan secara keseluruhan.

Dengan adanya modul tersebut, mahasiswa diharapkan dapat mempelajarinya di rumah atau di kamar kos masing-masing, walaupun materi tersebut belum disampaikan secara langsung oleh dosen yang bersangkutan.

Begitu juga dengan dosen yang mengajarkan mata kuliah tersebut tidak perlu lagi mengejar dedline untuk menyampaikan materi secara keseluruhan karena modul yang telah disediakan bisa dibaca atau dipelajari seacara autodidak. Hal ini dapat memberi kemudahan pada dosen pengajar dalam merancang dan menyusun materi perkuliahan selama satu semester.

Dalam proses belajar mengajar, dosen dan mahasiswa akan mudah mengontrol materi apa yang sudah disampaikan dan yang belum disampaikan. Sehingga, diharapakan dalam proses belajar mengajar suasananya akan lebih aktif, asyik dan menyenangkan.

Namun disamping itu, ada beberapa oknum dosen yang memanfaatkan moment ini sebagai ladang bisinis alias mencari keuntungan dalam menjual modul atau diktat tersebut. Sehingga, sangat tepat kata pepatah “sambil menyelam minum air”.

Hal ini dapat kita ketahui bahwa ternyata komersialisasi dalam dunia pendidikan tidak hanya terjadi pada sejumlah proyek pembangunan dan pengadaan fasilitas kampus, tingginya nominal Uang Kuliah Tunggal (UKT), namun praktik yang sama juga dilakukan oleh beberapa oknum dosen yang menawarkan kepada mahasiswa untuk membeli diktat dengan harga tinggi.

Tawaran tersebut juga pernah ditujukan kepada saya sendiri dan beberapa teman saya ketika kami masih berstatus sebagai mahasiswa baru. Kamipun terkejut dan heran ketika mendengar harga modul yang cukup mahal itu.

Padahal menurut analisis kami, harga yang ditawarkan tersebut tidak sepadan dengan harga yang semestinya. Namun apalah daya, kami sebagai mahasiswa baru waktu itu, yang berasal dari pelosok kampung dan belum mengetahui seluk beluk dunia kampus, tidak ada pilihan lain selain menyanggupi tawaran tersebut. Terlebih lagi hal itu berkaitan dengan kegiatan akademik, yang nanti muaranya akan berdampak pada nilai mata kuliah.

Salah satu contoh, sebuah diktat fotokopian dengan tebal 64 halaman dijual seharga Rp 50.000-70.000. Padahal jika difotokopi dengan harga Rp 200 per lembar, harga diktat itu tidak lebih dari Rp 12.800 plus dijilid dengan biaya seharga Rp 3.000, maka total harga sebuah diktat hanya Rp 15.800.

Ironisnya beberapa dosen memilih menjual modul/diktatnya kepada mahasiswa dengan sedikit nada ancaman. Pertama mahasiswa yang membeli modul dicatat nama dan stambuknya dan diserahkan kepada dosen. Kedua, mahasiswa tidak diperkenankan memfotokopi diktat tersebut. Ketiga, mahasiswa yang tidak membeli modul itu dianggap tidak serius mengikuti perkuliahan. Jadi, suda pasti bahwa tidak ada pilihan lain bagi mahasiswa selain membeli diktat dengan harga super mahal itu.
Komersialisasi diktat yang dilakukan sejumlah dosen diperguruan tinggi ini sungguh sangat memprihatinkan.

Memang tidak semua dosen melakukan hal tersebut. Ada cerita teman saya, mengatakan bahwa ada seorang dosen yang memberikan buku karyanya sendiri kepada mahasiswa secara gratis. Bahkan, ada juga dosen yang menawarkan buku hasil karyanya kepada mahasiswa untuk dibeli dengan harga lebih murah daripada di toko buku.

Mahasiswa juga tidak diwajibkan membelinya, hanya diperuntukan bagi yang mau dan punya duit saja. Sementara bagi mahasiswa yang tidak mampu, mereka bisa membeli satu buku untuk dipelajari bersama-sama.

Fenomena penjualan diktat dan buku hasil karya dosen yang terkesan dipaksakan kepada mahasiswanya dengan harga selangit tidak bisa dipadang sebelah mata. Tampaknya hal seperti ini sudah lama terjadi di beberapa perguruan tinggi yang seharusnya steril dari perilaku korup.

Praktik-praktik kotor ini nampaknya sudah dianggap wajar dan mahasiswa juga memilih tutup mulut lantaran tidak mau bermasalah dengan sang dosen karena bisa berakibat fatal. Nilai mata kuliah yang terletak di ujung pulpen dosen bisa menjadi ancaman jika berani membangkang.

Menjadi pertanyaan reflektif mengapa sebagian dosen menjual diktat dengan harga di luar batas rasional kepada mahasiswanya? Bagi saya, salah satu alasannya, mungkin karena gaji seorang dosen belum bisa menutupi kebutuhan hidup dan keluarga. Akibatnya, ia melakukan hal tersebut kepada mahasiswanya.

Di sisi lain, praktik-praktik seperti ini tampaknya sudah lumrah terjadi di sejumlah kampus, sehingga bagi dosen mengganggap itu hal yang wajar karena diktat tersebut hasil karyanya.

Persoalannya, menjual diktat dengan harga tinggi dan disertai sedikit nada ancaman membuat biaya pendididikan di negeri ini semakin mahal. Orangtua tidak hanya dihantui dengan pembayaran biaya kuliah yang cukup mahal setiap semester dan biaya operasional kampus, tapi juga harus membayar mahal sejumlah modul atau materi kuliah dan biasanya hanya dipakai satu semester.

Sementara jika dianalisis, bukankah sudah menjadi kewajiban dosen menyediakan diktat tanpa mengambil keuntungan yang tinggi dari diktat atau modul tersebut. Mereka sudah dibayar dengan gaji yang diperoleh per bulan dari perguruan tinggi dimana mereka mengajar.

Jika dilihat dari tugasnya yang mulia, yakni mentranfer ilmu pengetahuan dan membuka wawasan mahasiswa, dosen seharusnya tidak perlu lagi memfotokopi diktatnya sendiri dan menjualnya di dalam kelas. Pasalnya tugas utama dosen adalah mengajar, mendidik, bukan berdagang. Seharusnya dosen dapat memberikan diktat itu kepada mahasiswa untuk difotokopi sendiri.

Praktik komersialisasi pengetahuan seyogyanya tidak terjadi di lingkungan kampus. Apalagi jika praktik tersebut dilakukan secara terang-terangan dengan menggelembungkan harga diktat secara terang-terangan pula.
Melihat fenomena ini, seharusnya pihak Universitas atau perguruan tinggi tidak bisa lagi menutup mata. Dosen-dosen yang memanfaatkan ruang kelas sebagai medan transaksi mencari untung harus ditindak tegas. Mereka harus diberikan peringatan yang tegas bahwa tidak diperkenankan melakukan transaksi penjualan diktat atau buku kepada mahasiswa di dalam kelas.

Kepada teman-teman mahasiswa juga disarankan untuk tidak tinggal diam melihat perilaku dosen yang suka melakukan hal itu. Sebab dengan diam, seolah-olah mahasiswa melegalkan perilaku dosen tersebut. Mahasiswa harus berani memberikan kritik atau melaporkannya ke pihak perguruan tinggi.

Jika tidak diindahkan, mahasiswa harus berani menyuarakan aspirasinya dan menuntut pihak-pihak terkait untuk mengusut kasus-kasus seperti itu.

Memang bukan suatu permasalahan jika ada dosen yang sudah berhasil menerbitkan buku dan merekomendasikan kepada mahasiswa membeli buku tersebut untuk menambah pengetahuan. Namun jangan sampai dosen tersebut menjual buku atau diktat dengan harga lebih tinggi daripada harga di pasaran. Apalagi jika yang dijual kepada mahasiswa hanyalah diktat saja, tapi harganya lebih mahal daripada buku cetak. Dosen-dosen seperti ini harus diberi peringatan.

Tujuannya agar mahasiswa yang tidak punya uang lebih, tidak merasa terpaksa untuk membeli buku atau diktat itu karena takut terancam nilainya anjlok.
Selain itu, praktik kotor seperti ini bisa meracuni generasi masa depan bangsa dengan mentalitas korupsi. Sebab tindakan dosen yang seperti itu sama saja dengan menanamkan pendidikan korupsi seperti mark up dalam lingkup pendidikan. Karean tindakan mark up tersebut bisa melecehkan institusi pendidikan dan para dosen lainnya. Apalagi mahasiswa tahu betul berapa harga satu lembar foto kopi dan mereka bisa menghitung berapa nilai uang mereka yang dimark up.

Selain untuk mempermudah proses perkuliahan, salah satu alasan dosen yang menyusun buku bahan pelajaran, kemudian menjualnya kepada mahasiswa adalah membantu mereka yang kesusahan dalam mencari buku referensi. Namun dengan harga yang tinggi terebut, muncul kesan bahwa dosen-dosen seperti itu hanya memanfaatkan kesempatan yang ada dari pengadaan buku-buku bahan ajar tersebut, untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya alias ‘bisnis sambilan’ disamping tugasnya sebagai pengajar.

Sungguh ironis mengingat biaya kuliah saja hampir mencekik keuangan orang tua mahasiswa, kini mesti diperparah lagi oleh beban membeli buku bahan ajar dari beberapa dosen mata kuliah yang bersangkutan.

Semoga memang benar alasan dosen yang menjual modul atau diktat adalah betul-betul berangkat dari niat yang tulus dan ikhlas untuk membantu mahasiswa dalam mencari bahan referensi mata kuliahnya. Bukan malah sebaliknya, didasari niat untuk mencari keuntungan materi dengan memanfaatkan kondisi tersebut.

Oleh karena itu, secara pribadi penulis menghimbau dan menaruh harapan kepada dosen-dosen lain agar kiranya tidak melakukan hal-hal yang kurang wajar dan merugikan mahasiswa. Karena menurut saya, seorang guru atau dosen merupakan obor penerang bagi kehidupan para generasi muda ke depannya.***

Penulis adalah Ketua HMJ Psikologi UHO