Nasib Tenaga Kerja di Negeri Sendiri, Sejahterahkah?

Pena Opini485 views

Oleh: Yuliati, S.Pd

PT Tiran Mineral yang merupakan salah satu anak perusahaan PT Tiran Group tengah melakukan pembangunan smelter nikel di Kabupaten Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara (Sultra), dan berencana akan menyerap seribu tenaga kerja. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan swasta tentu harus melibatkan tenaga kerja lokal. Bukan sekedar lipservis agar perijinan tetap ada. Melainkan memang kontribusi kepada rakyat tanpa ada imbalan di belakang.

Sehubungan dengan itu presiden Jokowi menandatangani peraturan presiden (perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), pada 26 Maret 2018. Tujuannya, untuk mendukung ekonomi nasional dan membuka lapangan kerja baru dengan adanya investasi. (Liputan6.com, Jakarta-).

Namun aturan ini ternyata menuaai perdebatan. Sejumlah pihak khawatir penyederhanaan izin bagi swasta asing yang bekerja di Indonesia akan berdampak luas, terutama bagi pekerja lokal. Penyerapan tenaga kerja lokal sudah menjadi kewajiban bagi sebuah perusahaan, baik swasta ataupun Negara.

Said mengatakan, pemerintah seharusnya dapat menata dan menindak buruh kasar dari Negara lain. Bahkan dia meminta pemerintah mencabut perpres Nomor 20 Tahun 2018.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Industri Indonesia (Kadin ) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan, sejak awal pemerintah mengeluarkan paket kebijakan untuk menarik investasi, pengusaha sudah mengingatkan agar berhati-hati khususnya terhadap penggunaan tenaga kerja asing.(liputan6.com)

Inilah masalah yang selalu merundung nasib perburuhan di Negeri kita. Sebenarnya masalahnya dipicu oleh dasar system kapitalisme, yaitu kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan living cost terendah yang dijadikan sebagai standar penentuan gaji buruh, yang mementingkan keuntungan dari keadilan.

Karena itu, masalah perburuhan ini akan selalu ada selama relasi antara buruh dan majikan dibangun berdasarkan system ini. Meskipun  mereka melakukan sejumlah perubahan untuk menghadapi provokasi kaum sosialis, namun perubahan tersebut hanya sekedar untuk mempertahankan system kapitalisme.

Kondisi ini berbeda dengan islam, dimana islam menangani  prosedur perusahaan swasta terhadap pekerja local dan penanganan buruh, dengan penuh keadilan tanpa membedakan apakah dia lokal ataupun dari luar negeri.

Beberapa hal yang diperhatikan sistem islam dalam masalah perburuhan yaitu: pertama, standar gaji buruh dimana dalam menetukan standar gaji buruh, standar yang di gunakan oleh islam adalah manfaat tenaga (manfa’at al-judh). Seperti yang di berikan buruh di pasar, bukan living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.

Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara)-lah yang menetukan upah sepadan ( ajr al-mitsl ). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar untuk mereka. Dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini mengikuti keputusan pakar tersebut.

Dengan demikian, negara  tidak perlu menetapkan UMR (upah minimum regional). Bahkan ,penetapan seperti ini tidak di perbolehkan, dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang di terima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa.

Alhasil, konsep dan solusi Islam di atas benar-benar telah teruji selama berabad – abad lamanya dan mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh tenaga kerja yang ada dalam Negara Islam.

Wallahu a’lam.

Penulis merupakan pemerhati sosial

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *