Pembekuan IUP Harus Didukung Regulasi Berkapasitas Hukum!

PENASULTRA.COM, KENDARI – Meski Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Ali Mazi telah membekukan sementara 15 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), namun masih saja hal tersebut masih dianggap keputusan yang belum tegas.

Direktur Eksekutif Indonesia Mining and Energy Studies (IMES), Erwin Usman mengatakan, respon gubernur sudah baik, walau terlambat. Sebab, dalam dua kali aksi telah terjadi tindakan kekerasan dan ada korban, baik dari pihak warga maupun aparat.

“Ini suatu kondisi yang mestinya tidak perlu terjadi, jika gubernur lebih responsif dan segera menggelar dialog yang adil dan demokratis dengan warga Wawonii yang gelar aksi, maupun dengan perwakilan mahasiswa,” kata Erwin melalui rilis persnya, Rabu 13 Maret 2019.

Menurut Ketua DPP Pospera Bidang ESDM dan Lingkungan Hidup ini, langkah membekukan 15 IUP di Wawonii hanya dapat bermakna hukum jika diikuti dengan dikeluarkannya suatu surat putusan gubernur terkait hal tersebut.

Sebab, kata dia, IUP adalah produk hukum. Ada tata cara dan prosedur pembatalan atau penghentiannya yang diatur dalam Undang-undang (UU) Mineral dan Batubara (Minerba).

“Oleh karena itu, gubernur sebaiknya mengambil langkah tegas berikutnya dengan mengeluarkan suatu keputusan tertulis guna menguatkan pernyataannya di media massa.

Lebih strategis dari itu, lanjut Erwin, jika Ali Mazi segera mengkoordinasikan digelarnya suatu tindakan audit atas ratusan IUP tambang yang terbit di Sultra sejak 2009, termasuk 15 IUP yang ada di Pulau Wawonii.

“Gubernur dapat menggunakan instrumen UUPPLH 32/2009 untuk tindakan audit ini. Juga akan sangat kuat bila mengkoordinasikannya dengan KPK melalui program Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Minerba. Hal ini untuk menyasar dugaan adanya praktek korupsi dalam proses terbitnya IUP dan pada saat operasionalnya,” tegasnya.

Untuk itu, Erwin berharap, dalam kasus Wawonii ini, Gubernur Sultra, Ali Mazi dapat mengambil pelajaran dengan memberi respon cepat (quick response) dalam menyikapi persoalan-persoalan kerakyatan dan keberlanjutan lingkungan hidup sebagai sumber-sumber kehidupan rakyat.(a)

Penulis: Yeni Marinda
Editor: Ridho Achmed