Proyek De-Extinction, Perlukah di Indonesia?

Pena Opini898 views

Oleh: Husni Mubarok

Beberapa dari kita mungkin masih asing dengan istilah de-extinction. Deextinction merupakan suatu proses “menghidupkan kembali” spesies atau jenis organisme yang telah punah. Proyek de-extinction ini sendiri mulai dikenal masyarakat dunia ketika National Geographic memberitakannya pada tahun 2013 silam. Salah satu proyek deextinction yang cukup dikenal luas yaitu proyek menghidupkan kembali Passenger Pigeon atau Burung Dara Passenger yang memiliki nama latin Ectopistes migratorius.

Burung ini telah punah sejak tahun 1914 akibat perburuan oleh manusia. Proyek deextinction tersebut dilakukan oleh sebuah organisasi yang bernama Revive and Restore (www.reviverestore.org).

Organisasi ini bertujuan membangun suatu alat konservasi baru untuk abad 21 dengan mengaplikasikan teknologi genetik baru untuk menghadapi tantangan biodiversitas.

Menurut salah satu direktur dan cofounder organisasi Revive and Restore, Stewart Brand yang dilansir dari laman National Geographic tahun 2013; Proyek de-extinction sangat potensial untuk mempertahankan biodiversitas, mengembalikan ekosistemnya yang rusak, mengembangkan ilmu untuk mencegah kepunahan organisme dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh manusia di masa lalu seperti perburuan yang menyebabkan kepunahan Passenger Pigeon.

Selain Passenger Pigeon, spesies hewan lain yang berusaha untuk dihidupkan kembali oleh organisasi ini adalah ayam Heath Hen (Tympanuchus cupido cupido) dan Gajah purba Wolly Mammot. Lebih lanjut, sampai saat ini bukan hanya masalah menghidupkan kembali spesies yang telah punah; Revive and Restore juga tengah fokus kepada spesies hewan yang hampir punah (endangered species) seperti Ketam Tapak Kuda/ Horseshoe Crab (Limulus polyphemus) dan Musang Black-footed (Mustela nigrepes).

Mungkin kita takjub dan sekaligus bertanya-tanya, Bagaimana mungkin menghidupkan kembali spesies yang benar-benar sudah tidak ada satupun di bumi?. Melalui proyek deextinction ini, sampel genetik dari organisme yang telah punah diolah sedemikian rupa, dikonfigurasi ulang kembali secara genetik di laboratorium dan dihasilkan organisme yang mirip baik secara genetik, fenotip dan perilaku dengan spesies yang telah punah. Bayangan kita tentang film Jurassic Park yang selama ini masih di angan-angan dan sebatas fiksi mungkin saja bisa menjadi kenyataan. Sayangnya, menurut Stewart Brand yang dikutip dari lama www.reviverestore.org; de-extinction sangat berbeda dengan apa yang terjadi di film Jurassic Park. Dinosaurus sudah tidak ada lagi di bumi dalam waktu yang sangat lama dan telah menjadi fosil. Akibatnya tidak ada sampel genetik (DNA) yang bisa diolah atau dikonfigurasi di laboratorium.

Indonesia merupakan salah satu negara yang dikenal dengan World Megabiodiversity Hotspot. Berdasarkan artikel Norman Myers Biodiversity hotspots for conservation priorities yang dimuat di Jurnal Nature pada tahun 2000 menyebutkan bahwa Indonesia (Sundaland dan Wallacea) masuk ke dalam 25 Biodiversity Hotspot di dunia yang memiliki 2.942 spesies hewan vertebrata dan 1230 hewan vertebrata endemik atau sekitar 4.5% dari total vertebrata global. Lebih lanjut, dilansir dari World Wildlife Fund (WWF) secara global Indonesia adalah rumah untuk 12% mamalia, 16% reptil dan amfibi, 17% burung, 10% tanaman berbunga serta 25% spesies ikan yang ada di dunia. Namun, dikutip dari Protection of Forest & Fauna (PROFAUNA) Indonesia, pada tahun 2015 tercatat sekitar 5.000 kasus perdagangan satwa liar, yang artinya ada 5.000 hewan liar yang telah dibunuh secara ilegal. Jumlah tersebut mungkin dapat dipredikasi akan terus bertambah setiap tahunnya.

Sementara itu, spesies hewan endemik Indonesia yang paling terkenal dilaporkan punah, diambil dari data IUCN RED LIST (www.iucnredlist.org) yaitu Harimau Jawa dan Harimau Bali. Serta banyak spesies hewan endemik lain di Indonesia yang terancam punah seperti Harimau Sumatera, Badak Jawa, Badak Sumatera, Gajah Sumatera, Orang Utan, Ketam Tapal Kuda, Banteng Jawa dan banyak lainnya.

Berdasarkan fakta yang telah dipaparkan, hal tersebut merupakan suatu kebanggaan sekaligus tantangan bagi kita. Di satu sisi kita pasti sangat bangga memiliki plasma nutfah yang sangat kaya, namun di sisi lain kita dihadapkan pada ancaman kepunahan spesies yang salah satunya diakibatkan oleh perburuan liar yang banyak terjadi.

Selanjutanya, terkait dengan proyek de-extinction, sebenarnya perlukah kita menerapkan proyek tersebut di Indonesia?. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, coba bayangkan bagaimana seandainya hewan-hewan seperti Harimau Jawa dan Harimau Bali hidup kembali di tengah-tengah kita seperti dahulu. Apakah mereka akan berbentuk sama seperti sebelum punah dan mampu beradaptasi dengan lingkungan kita yang seperti sekarang?.

Proyek de-extinction itu sendiri telah sering mendapatkan banyak sorotan. Istilah “menciptakan” atau “menghidupkan” kembali spesies yang telah punah oleh beberapa pihak dianggap kurang tepat. Hal tersebut dikarenakan hasil dari proyek tersebut ternyata bukan spesies asli yang muncul, tetapi lebih kepada spesies hibrid BandTailed Pigeon yang fenotip dan perilakunya mirip dengan Passenger Pigeon. Berdasarkan sorotan tersebut, coba bayangkan saja jika misalnya ingin melakukan de-extinction pada Harimau Jawa; Alih-alih ingin memunculkan kembali spesies yang asli namun yang muncul adalah spesies baru yang mirip secara fenotip dan perilaku dengan Harimau Jawa. Hal tersebut jelas akan menimbulkan permasalahan baru jika spesies tersebut di lepas di alam. Spesies hasil proyek tersebut juga sering dikhawatirkan lebih invasif dan gagal menempati relung ekologinya karena memang bukan spesies asli yang muncul.

Sorotan lain dari de-extinction yaitu mengenai kesejahteraan hewan, etika/moral, nilai keberadaan suatu hewan dan tuduhan berlaku seperti Tuhan. Misalkan saja spesies Harimau Jawa dibuat di Indonesia, maka akan ada banyak pertanyaan tentang bagaimana kesejahteraan spesies tersebut, bagaimana kita memperlakukan spesies tersebut, apakah kita bermain-main dengan penciptaan makhluk hidup yang notabene hanya bisa dilakukan oleh Tuhan, dan sebagainya. Tentu hal tersebut akan menjadi permasalahan yang tidak dapat diabaikan.

Terlepas dari sorotan-sorotan tersebut, de-extinction jelas menjadi salah satu pencapaian besar dalam teknologi kita saat ini. Apalagi kita akan menghadapi Revolusi Industri 4.0. Dengan status Indonesia sebagai World Megabiodiversity Hotspot, tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri. Mungkin saja Indonesia tidak membutuhkan proyek deextinction, namun kita harus mampu untuk berpikiran ke depan, sudah saatnya kita mengubah mindset untuk kehidupan dan lingkungan yang lebih baik. Jika kepunahan memang menjadi sesuatu yang tidak mungkin dihindari, maka apa yang dapat kita adopsi dari proyek de-extinction seperti teknologi genetik misalnya, mungkin saja dapat kita terapkan di masa yang akan datang untuk tujuan yang lebih baik.(***)

Penulis: Mahasiswa Program Doktor Biologi Fakultas Biologi UGM