Refleksi 76 Tahun RI, Pancasila Menjawab Permasalahan Sosial-Ekonomi Bangsa

Pena Opini391 views

Oleh: La Ode Muhammad Faisal

76 tahun sudah Indonesia Merdeka. Tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saar ini semakin berat. Pandemi COVID-19 tidak hanya menjadi permasalahan kesehatan, tetapi juga berdampak terhadap kondisi sosial ekonomi suatu negara, termasuk Indonesia.

Setelah menunjukkan pencapaian penurunan kemiskinan beberapa tahun belakangan ini, tingkat kemiskinan kembali meningkat setelah pandemi covid-19. Satu dari 10 orang di Indonesia hari ini hidup di bawah garis kemiskinan nasional.

Kolaborasi survey berskala nasional yang dilakukan UNICEF, UNDP, Prospera, dan The SMERU Research Institute di akhir tahun 2020 menyimpulkan bahwa dampak dari covid-19 masih akan dirasakan berbagai lapisan masyarakat di tahun 2021.

Menghadapi dampak pandemi terhadap keadaan sosial-ekonomi yang semakin parah, Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah paket stimulus fiskal skala besar melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), yakni pengalokasian anggaran besar-besaran untuk mengurangi dampak pandemi.

Kendati kebijakan PEN belum memberikan dampak signifikan di tahun 2020, namum stimulus yang sama dilakukan di tahun 2021 ini cukup memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Terbukti, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2021 melejit hingga 7,07 persen secara tahunan (yoy) sehingga Indonesia berhasil kembali ke zona positif pertumbuhan ekonomi, setelah beberapa triwulan terakhir berada dalam tekanan resesi akibat dampak pandemi Covid-19.

Capaian ini cukup membanggakan mengingat capaian ini merupakan pertumbuhan tertinggi sejak 17 tahun terakhir. Pertumbuhan ini juga tercatat lebih tinggi dibanding beberapa negara tetangga yang juga terkena dampak pandemik. Namun, meskipun tumbuh tinggi dan bahkan melebihi ekspektasi pasar dan pemerintah, ternyata itu semua tidak dirasakan oleh masyarakat luas dan sektor riil.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, pertumbuhan ekonomi hanya di atas kertas dan bersifat semu. Sedangkan masyarakat dan pelaku usaha belum menikmati pertumbuhan ekonomi RI.

Selain itu, bantuan sosial pemerintah terhadap konsumsi masyarakat dinilai tak begitu besar. Sebab konsumsi masyarakat yang terjadi sepanjang April-Juni 2021 justru lebih banyak terjadi karena pelonggaran kegiatan ekonomi. Dan karena pelonggaran itu, ada ‘ongkos’ yang harus dibayar dari realisasi pertumbuhan, yakni, meningkatnya kasus infeksi corona dan korban meninggal akibat pandemi itu.

Mungkin sebagian dari kita pernah mendengar sebuah ungkapan pepatah, “Jika kita ingin menolong orang lain, jangan langsung memberikan ikan, tapi berikan pancingnya. Dengan begitu orang itu akan berusaha sendiri untuk mendapatkan ikan”. Untuk itu, arah kebijikan pemerintah dalam mengatasi dampak sosial-ekomomi dari pandemi, khususnya dalam menjaga tingkat konsumsi masyarakat jangan hanya memberikan bantuan sosial untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Jauh lebih penting adalah merancang sebuah strategi kebijakan untuk menjaga daya tahan kooperasi dan UMKM dimasa pandemi.

Selain itu, masalah serius yang berkepanjangan yang masih menghantui bangsa yakni ketimpangan ekonomi. Bank Dunia mencatat, ketimpangan yang terus meningkat di Indonesia bukan karena memburuknya kondisi kemiskinan, namun melesatnya akumulasi kekayaan kelas atas.

Dalam 10 tahun terakhir, konsumsi tahunan per orang dari 10 persen individu terkaya tumbuh hingga 6 persen setelah disesuaikan dengan inflasi. Tetapi konsumsi tahunan untuk 40 persen individu termiskin hanya tumbuh kurang dari 2 persen, seperti yang tertulis dalam laporan A Perceived Divide: How Indonesians Perceive Inequality and What They Want Done About It (dikutip katadata.co.id).

Keparahan ketimpangan ekonomi yang terjadi selain disebabkan adanya ketimpangan pasar kerja, faktor yang paling mencolok adalah konsentrasi kekayaan di segelintir orang. Sebagaimana Bank Dunia mencatat, hanya 1 persen rumah tangga terkaya di Indonesia mampu menguasai 50,3 persen kekayaan nasional.

Penting untuk dipahami, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak mengartikan menipisnya kesenjangan sosial-ekonomi. Pengalaman pahit krismon 1997-1998 ditambah ancaman pandemik harusnya telah meyakinkan kita semua betapa besar arti perekonomian nasional yang benar-benar mandiri. Yaitu, ekonomi yang meskipun tumbuh dengan laju relatif rendah, tetapi dalam jangka panjang terjaga keberlanjutannya.

Berbagai tantangan sosial-ekonomi yang tengah dihadapi bangsa Indonesia saat ini juga harusnya sudah cukup untuk menyadarkan kita untuk kembali merevitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam menemukan jalan keluar.

Soekarno dalam pidatonya terkait dasar bernegara pada tanggal 1 Juni 1945 telah menyampaikan uraiannya mengenai arti merdeka, yaitu Philosophische Grondslag, yaitu fundamen, filsafat, jiwa, dan hasrat sedalam-dalamnya untuk mendirikan Indonesia Merdeka yang Kekal dan Abadi.

Kemudian melanjutkan dengan menyampaikan pandangan tentang dasar negara dengan melemparkan pertanyaan teoritis mengenai orientasi kognitif dan mendasar yang mencakup seluruh pengetahuan dan sudut pandang individu atau masyarakat. Dasar negara pada poin keempat yang disampaikan oleh Soekarno adalah kesejantraan. Yaitu, selain persamaan politik, persamaan ekonomi dalam bentuk kesejahtraan bersama juga perlu diadakan sebagai prinsip dimana tidak ada lagi kemiskinan di masa Indonesia merdeka.

Setelah melalui beberapa proses persidangan, Pancasila akhirnya disahkan dan disepakati untuk dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar negara Indonesia yang sah. Poin kesejahtraan kemudian dimuat dalam Sila kelima dalam Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berdasarkan nilai yang terkandung pada Sila kelima Pancasila, sistem ekonomi Indonesia adalah sebuah sistem yang menjamin keadilan ekonomi. Sila kelima Pancasila juga menetapkan misi dan tujuan bangsa Indonesia dalam melaksanakan cita-cita Indonesia yang adil dan makmur.

Dengan tujuan itu, ditanamlah dalam UUD 1945 pasal 33 tentang dasar-dasar operasional dalam mewujudkan keadilan sosial. Yaitu kebijakan yang berusaha menyantuni hak-hak konstitusi rakyat serta memperdekat jurang pemisah, baik politik maupun ekonomi di dalam masyarakat.

Kemudian dalam kehidupan sosial-ekonomi, kompetisi ekonomi diletakkan dalam bingkai kooperatif berlandaskan asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Penulis  adalah Ketu Serikat  Nelayan Nahdlatul  Ulama (SNNU) Kota Kendari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *