“SIKKATO” Warisan Leluhur Wajib Dipertahankan untuk Menjaga Ketahanan Pangan Masyarakat Sulawesi Tenggara

Pena Opini621 views

Oleh: Amiluddin Indi

Sulawesi Tenggara (Sultra) memiliki beragam kelezatan kuliner nusantara salah satunya sinonggi, kasoami, kambose, kabuto atau disingkat SIKKATO. Sumber daya alam yang melimpah, struktur geografis didominasi laut serta kekayaan rempah, membuat masakan Sulawesi Tenggara beragam.

Sejak lama Sulawesi Tenggara dikenal memiliki keberagaman yang kuat. Tidak hanya soal budaya termasuk bahasanya, tapi juga soal keragaman kuliner yang terbentang dari Barat ke Timur Sulawesi Tenggara dan yang melekat di kehidupan sosial masyarakatnya.

Para sosiolog dan ahli gizi mendapati temuan bahwa faktor budaya sangat mempengaruhi dalam pembentukan pola konsumsi dan kebiasaan menu makanan di suatu daerah. Salah satunya adalah Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi yang berada di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi. Beribukota di Kendari.

Sulawesi Tenggara punya empat suku adat, yaitu Muna, Buton, Tolaki dan Moronene. Masing-masing memiliki beragam kuliner khas yang disajikan dalam kehidupan sehari-hari. Patut disyukuri adalah sumber daya pangan lokal di daerah kita seperti sagu, ubi kayu, dan jagung cukup berlimpah dan telah lama dijadikan pangan pokok lokal oleh sebagian besar masyarakat Sultra.

Sulawesi Tenggara memiliki warisan leluhur yang wajib dipertahankan yang dikenal dengan Sinonggi, Kasoami, Kambose, dan Kabuto atau di singkat “SIKKATO” untuk menjaga ketahanan pangan masyarakat Sulawesi Tenggara dan sekaligus melambangkan kearifan dari makanan sehat yang beragam dan eksotis, tangguh, dan simbol tradisi serta budaya. Diolah secara organik yang ramah lingkungan.

Dalam rangka mempertahankan warisan leluhur tersebut maka pemerintah wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara gencar mempromosikan pangan lokal Sinonggi, Kasuami, Kambose dan Kabuto atau “SIKKATO” sebagai panganan khas daerah. Salah satu upaya promosi yakni dengan cara bekerja sama dengan pengelola hotel, restoran dan rumah makan agar menjadikan pangan SIKKATO sebagai menu utama.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara terus berupaya memperkenalkan atau mensosialisasikan pangan lokal tersebut melalui berbagai ajang dan pameran kuliner.

Pemerintah juga memberikan edaran kepada pemilik hotel dan restoran agar menyiapkan menu pangan lokal SIKKATO, agar tamu luar daerah mudah menjumpai pangan tersebut, pangan lokal SIKKATO berbahan nonberas yakni sinonggi berbahan baku sagu, kasuami berbahan baku singkong, kambose berbahan baku jagung, dan kabuto berbahan baku ubi kayu. Bahkan saat ini sudah banyak rumah makan yang tumbuh dan menyajikan khusus pangan lokal SIKKATO.

Undang-undang Nomor 18/2012 tentang Pangan menjelaskan bahwa diversifikasi (penganeka-ragaman) pangan adalah upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan berbasis pada potensi sumber daya lokal. Pada Pasal 41 dinyatakan bahwa salah satu tujuan diversifikasi pangan adalah untuk memenuhi pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman.

Ketahanan pangan merupakan salah satu faktor penentu stabilitas ekonomi sehingga upaya pemenuhan kecukupan pangan menjadi kerangka pembangunan yang mampu mendorong pembangunan sektor lainnya. Ketahanan pangan dibangun atas tiga pilar utama, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Tersedianya pangan secara fisik di daerah bisa diperoleh dari hasil produksi daerah sendiri, impor, maupun bantuan pangan. Analisis mengenai ketersediaan pangan dan akses pangan menjadi tahapan pembangunan yang strategis karena dibutuhkan untuk menelaah kinerja ketahanan pangan di Sulawesi Tenggara. Kemandirian pangan akan mampu menjamin masyarakat memenuhi kebutuhan pangan yang cukup, mutu yang layak, aman dan tanpa ketergantungan dari pihak luar.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara sudah membudayakan dan memperkenalkan menu makanan SIKKATO dalam keluarga agar warisan leluhur yang namanya SIKKATO tetap selalu menghiasi menu makan sehari-hari, bahkan sampai dirumah makan dan restoran, dimana makanan sinonggi yang bahan bakunya terbuat dari sagu yang diperkenalkan masyarakat etnis Tolaki dan Mekongga. Sedangkan makanan kasoami terbuat dari ubi kayu diperkenalkan masyarakat etnis Wakatobi dan Buton. Makanan kambose terbuat dari jagung, sementara kabuto dari ubi kayu. Kambose dan kabuto diperkenalkan masyarakat etnis Muna. Dengan demikian diharapkan SIKKATO bisa booming seperti makanan-makanan kuliner lainnya yang ada di Kota Kendari, bahkan SIKKATO diharapkan bisa terkenal sampai kemanca Negara.

Upaya yang dilakukan agar SIKKATO dapat mendunia maka dilakukan strategi – strategi penguatan dari pemerintah seperti adanya regulasi yang berisikan penguatan agar masyarakat melestarikan pangan lokal warisan leluhur sebagai pangan konsumsi hari – hari yang sehat dan dapat memenuhi kebutuhan karbohidrat harian. Setelah regulasi ada maka digencarkan kegiatan sosialisasi SIKKATO dari hulu sampai kehilir diperkuat lagi dengan adanya kegiatan – kegiatan yang bisa memacu kreativitas masyarakat agar dapat mengolah dalam bentuk makanan yang lebih menarik.

SIKKATO harus terus di lestarikan, diperkenalkan kepada masyarakat agar keberadaan SIKKATO tidak terus tergerus eksistensinya dengan makanan yang lain. Kelompok – kelompok pengolah makanan yang tidak berhenti terus berkreativitas untuk menghasilkan olahan pangan berbahan SIKKATO menjadi makanan yang menarik dan tidak ketinggalan trend dengan makanan – makanan yang lagi trend di masa sekarang.

Salah satu contoh yang dilakukan oleh Guru Besar di Universitasi Haluoleo (UHO) yaitu Prof. Dr. Sri Wahyuni, M.Si, berhasil mengembangkan produk pangan lokal menjadi lebih berkualitas dan aman dikonsumsi masyarakat. Antusias wanita kelahiran 30 Mei 1968 ini untuk mengembangkan pangan lokal bermula ketika ia ditantang Badan Ketahanan Pangan Sultra (sekarang Dinas Ketahanan Pangan) untuk menciptakan sebuah produk di tahun 2011.

Prof. Sri yang sejak kecil, telah menyukai pangan lokal seperti kabuto (makanan khas Kabupaten Muna yang terbuat dari ubi kering), memilih untuk membuat produk-produk berbahan baku ubi tersebut. Prof. Sri telah melahirkan sejumlah inovasi produk pangan lokal berbahan dasar ubi salah satunya tepung kaopi dan burger kaopi.

Salah satu langkah inovasi yang dilakukan oleh Prof. Sri Wahyuni dapat dijadikan contoh sehingga dapat menghasilkan produk – produk makanan berbahan dasar pangan lokal akan tetapi tidak ketinggalan dari perkembangan zaman dan tekhnologi. Kemampuan akan terus meningkat apabila dilatih secara terus menerus karena potensi pangan yang ada di wilayah provinsi Sulawesi Tenggara sangat banyak sehingga jika diolah dan dikembangkan niscaya akan membawa kebermanfaatan. Dan dengan inovasi mengolah pangan menjadi pangan yang lebih menarik bisa merupakan salah satu strategi menjaga ketahanan pangan mamasyarakat.(***)

Penulis adalah Dosen Fakultas Peternakan Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *