Survey Kepuasan Publik, Nyata atau Manipulatif?

Pena Opini747 views

Oleh: Yusra Ummu Izzah

Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan tingkat kepercayaan rakyat Indonesia terhadap kinerja Presiden Jokowi meningkat pada tahun 2019. Berdasarkan hasil survei tersebut, 10,6 persen masyarakat merasa sangat puas dengan hasil kerja Jokowi. Kemudian 61,2 persen merasa cukup puas.

Sementara itu, 23,6 persen masyarakat yang merasa kurang puas terhadap kinerja presidan. Sisanya sebanyak 2,9 persen sama sekali merasa tidak puas.

“Kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi cukup tinggi 71,8 persen. Kepercayaan ini tampak menguat dibandingkan pada masa awal pemerintahannya, meskipun stagnan dalam tiga tahun terakhir,” kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan di kawasan Jakarta pusat, Ahad (3/11/2019).

Itu artinya, Jokowi benar-benar dikehendaki oleh publik untuk memimpin negeri Indonesia yang kita cintai bersama ini. Karena 2,9 persen yang sama sekali tidak merasa puas, jika dibandingkan dengan yang merasa puas 71,8 persen itu tidak ada artinya.

Benarkah hasil survey tersebut? Sejak memimpin Indonesia 2014, Jokowi gagal menepati janjinya. Banyak janjinya hanya pemanis bibir. Masih ingat kampanyenya saat itu? Secara tegas menolak penambahan utang Luar Negri baru apabila terpilih menjadi Presiden diperiode 2014 – 2019.

Faktanya, utang Luar Negri saat ini membengkak. Sampai akhir 2018, utang pemerintah mencapai Rp.4,418 Triliun. Jumlah ini lebih besar ketimbang penambahan jumlah utang diera pemerintahan SBY selama 10 tahun yang mencapai Rp.1.309 Triliun.

Selain itu, selama memimpin Indonesia Jokowi lebih pro kepada asing dibandingkan kepada rakyatnya sendiri. Padahal, Jokowi dulu pernah berjanji untuk membuka 10 juta lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan dan menguatkan ekonomi.

Faktanya, rezim Jokowi justru menghapus puluhan bidang usaha dari daftar negatif investasi. Dengan kebijakan ekonomi ini, asing bisa masuk dengan leluasa ke sektor UMKM, sementara bagi pelaku UMKM, mengatur urusan izin saja sulit. Rakyat pun dibuat keki dengan janji-janjinya termasuk untuk menghentikan impor.

”Kita harus berani stop impor pangan, stop impor beras, stop impor daging, stop impor kedelai, stop impor sayur, buah dan ikan. Kita ini semuaya punya kok,” kata Jokowi. Ternyata semuanya bohong.

Dan di penghujung pemerintahanya, Jokowi dianggap ingkar janji lagi ketika menyetujui pengesahan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Para pegiat anti korupsi menuding Jokowi justru ingin melemahkan KPK. Pun deretan janji-janji yang diingkari dari naiknya harga BBM, tarif dasar listrik sampai untuk membentuk kabinet yang ramping, (Media Umat edisi 252).

Berdasarkan janji-janji yang diingkarinya, sulit bagi penulis untuk tidak mengatakan kalau hasil survei tersebut adalah Hoax!!!. Apalagi dengan kebijakan yang terbaru menaikan 100 persen iuran BPJS. Rakyat mana yang suka apalagi sampai merasa puas jika dibebani dengan berbagai macam iuran dan pajak?

Realita Berbicara

Apa itu hoax? Ahli komunikasi dari Universitas Indonesia, Prof. Muh. Alwi Dahlan menjelaskan, hoax merupakan kabar bohong yang sudah direncanakan oleh penyebarnya.

”Hoax merupakan manipulasi berita yang sengaja dilakukan dan bertujuan untuk memberikan pengakuan atau pemahaman yang salah,” ujar Prof. Alwi.

Ia menambahkan penjelasanya, hoax berbeda dengan berita bohong biasa karena hoax direncanakan sebelumnya. Berbeda antara hoax dengan berita karena orang salah kutip. Pada hoax ada penyelewengan fakta, sehingga menjadi menarik perhatian masyarakat dan hoax sengaja disebarkan untuk mengarahkan orang ke arah yang tidak benar (Antaranews.com).

Menarik apa yang disampaikan Rocky Gerung dalam acara ILC di TVOne diawal tahun 2017.

”Pembuat hoax terbaik adalah penguasa, karena penguasa memiliki seluruh peralatan untuk berbohong. Intelijen pemerintah punya, data statistik pemerintah punya, begitu pun dengan media, itu faktanya. Hanya pemerintah yang mampu berbohong secara sempurna,” kata Rocky.

Senada dengan pernyataan Rocky, Syahganda yang bergelar doctor riset dalam NusaNews.id 24 april 2019, menyatakan “Hampir semua Lembaga Survei di negeri ini hanya menampilkan kebohongan ke publik”.

Pernyataan ini tidaklah berlebihan, masih lekat dalam ingatan bagaimana lembaga-lembaga survey memainkan perannya dalam memenangkan pihak tertentu dalam pertarungan politik.

Manipulasi survei yang terbaru saat Lembaga Survei Alvara menampilkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja menteri cabinet Jokowi-Jk. Ada 10 menteri yang masuk dalam kategori tingkat kepuasan tertinggi. Bahkan, 83,39 persen responden menyatakan kepuasan terhadap kinerja menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI).

Parameternya, SMI dinilai mampu mengelola keuangan negara dengan baik meskipun kondisi ekonomi global yang tidak menentu. Padahal SMI sendiri mengaku sulit menggenjot ekonomi tumbuh 7 persen seperti target Jokowi. ”Prestasi” SMI justru ditunjukkan dengan kenaikan utang hingga 30 persen dari PDB. Rasio itu lebih besar dari era SBY yang berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB hingga 24,7 persen dari 47,3 persen saat SBY mulai menjabat tahun 2005.
Bahkan kinerja ekonomi Jokowi kian terpuruk dengan laporan baru Asian Development Bank (ADB) yang menunjukkan angka kelaparan kronis di Indonesia masih mencapai 22 juta orang pada kurun waktu 2016 – 2018.

Antara Nyata atau Manipulatif?

Membangun narasi demi keuntungan rezim, amat lumrah terjadi di jagad demokrasi. Apalagi ketika yang menjadi penguasa adalah orang yang cukup mendapatkan legitimasi publik, dan rekam jejak prestasinya tidak ada. Tapi tidak mustahil dia sukses melenggang ditampuk kekuasaan karena rekayasa opini. Salah satu komponen yang berjasa untuk memoles elit politik hingga tercitrakan dengan baik adalah lembaga survei.

Manipulasi survey telah menjadi lahan basah bisnis pencitraan seiring meningkatnya mafia kekuasaan. Kepentingan melestarikan bisnis para cukong, menjadikan mereka sanggup merekayasa opini yang pada faktanya tidak pernah terjadi di tengah masyarakat.

Fenomena tersebut biasa terjadi diera kekinian yang acap kali dikaitkan dengan aliran postmodernisme. Secara umum pahan ini memiliki karakter, ”tidak ada kebenaran absolut” semua serba relative, sehingga tidak ada standar norma apalagi Agama.

Wajar, bila kemudian parameter kebenaran bukan lagi tuntunan syariat yang mengukur baik buruk berdasarkan Wahyu Allah SWT., namun kembali pada pendapat mayoritas, sekalipun parameter mayoritas dalam praktek demokrasi pun harus ditafsirkan ulang karena bisa direkayasa demi kepentingan kelompok tertentu.

Jujur dan Obyektif dengan Islam

Begitu besarnya dampak kebohongan, Imam Al-Ghazali sampai menilai bahwa kebohongan merupakan dosa yang sangat tercela. Kebohongan juga dinilai sebagai dosa yang sangat besar. Ar-Ruyani dari kalangan syafiiyah menilai kebohongan merupakan al-kabirah (dosa besar).

Semua bentuk kebohongan dilarang untuk dilakukan oleh siapapun dan dengan maksud apapun. Termasuk berbohong untuk mendukung rezim penguasa.

Rasul SAW bersabda: “Sungguh akan ada sesudahku para pemimpin. Siapa saja yang membenarkan kebohongan mereka dan membantu kedzaliman mereka, maka ia bukan golonganku dan akupun bukan golongannya, ia pun tidak akan masuk menemaniku di telaga.” (HR.an-Nasai,al-Baihaqi dan al-Hakim)

Juga dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasul SAW bersabda: ”Tidaklah seorang pemimpin yang mengurusi urusan kaum muslim, kemudian ia mati, sementara ia menipu rakyatnya, kecuali Allah haramkan atasnya surga”.

Walhasil, sistem sekuler saat ini tak akan mungkin mewujudkan negara bebas bohong selama menjauhkan agama dari negara. Sebaliknya, hanya system Islam yang mampu membasmi kebohongan ini dengan sempurna karena adanya ketakwaan individu, masyarakat dan negara. Wallahu ‘alam bishowab.(***)

Penulis: Pendidik Generasi