Tahun 2021, Resolusi Menutup Pintu Kejahatan Seksual Terhadap Anak

Pena Opini509 views

Oleh: Luthfiah Jufri, S. Si., M. Pd.

“Penting untuk menguggah kepedulian dan partisipasi seluruh masyarakat Indonesia terhadap anak-anak agar bisa tumbuh dan berkembang secara maksimal”. Pernyataan tersebut merupakan pesan dari Kak Seto.

Sebab anak merupakan calon pemuda yang akan melanjutkan estafet kehidupan bangsa sekaligus aset terbesar bagi orang tuanya di dunia dan di akhirat. Jika tak dilindungi apa jadinya bangsa ini ketika batin dan fisiknya selalu terancam dengan kondisi lingkungan yang tak lagi aman untuk mereka bermain dan belajar.

Sebagaimana kasus kejahatan keksual terhadap anak di Indonesia tampaknya belum usai. Jika dikerucutkan salah satu kabupaten di Sultra Konawe Selatan (Konsel) bahwa sepanjang tahun 2020 berjumlah 32 kasus. Hal ini diungkapkan oleh Helpin dari Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) Kementrian Sosial Republik Indonesia.

Helpin menyebutkan, faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan seksual pada anak adalah kurangnya pengawasan orang tua dan besarnya pengaruh digital dan korban merupakan anak berusia 5 hingga 18 tahun. Menurutnya pula, saat ini masih minim literasi dalam penggunaan internet. Itu sebabnya sebagian masyarakat mudah terpapar konten negatif dari internet. Kemudian anak-anak menjadi sasaran kejahatan seksual (Telisik.id, 26/12/2020).

Ironisnya fenomena ini masih kurang mendapat tanggapan publik. Sehingga secara internal telah runtuhnya moralitas keluarga yang mendorong terjadinya inses yang menjadikan anak menjadi korban kekerasan, baik dari orang tua dan saudara (tiri maupun kandung) dan sanak keluarga lainnya yang bermental bejat. Bukan lagi rahasia umum, jika banyak fakta yang menyatakan pelaku-pelaku kekerasan di tengah masyarakat berasal dari orang-orang terdekat.

Ada juga faktor yang disebabkan pendidikan karakter anak di sekolah masih kurang memadai. Sehingga anak-anak sangat mudah terkontaminasi dengan pergaulan bebas dan mudah terbujuk rayu oleh orang-orang yang tidak memperdulikan masa depan anak-anak.

Di sisi lainnya adalah faktor lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku kekerasan. Karena hukuman yang diberikan masih terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan efek jera. Faktor penegakan hukum ini cukup memberi andil terulangnya kembali kasus-kasus kekerasan terhadap anak.

Berbagai faktor penyebab masih maraknya kasus kekerasan terhadap anak ini menunjukkan adanya kegagalan sistemis dari sistemyang ada hari ini, yakni kapitalisme sekuler dalam melindungi keluarga dan anak-anak. Karenanya saat ini kitas butuh sistem kehidupan lain yang lebih melindungi, mengayomi dan meminimalkan kasus kekerasan, khususnya terhadap anak.

Adapun dalam Islam peran keluarga, masyarakat dan negara harus bersinergi menyelesaikan kasus kekerasan anak. Hal itu, yakni: Pertama, negara berkewajiban mendorong setiap individu warga negara untuk taat terhadap aturan Allah Swt.

Kedua, Islam mengharuskan negara  menyediakan lapangan kerja yang cukup memadai dan layak, serta mendorong para kepala keluarga (ayah) untuk dapat bekerja dan mampu menafkahi keluarganya. Sehingga bisa  mengembalikan fungsi perempuan sebagaiummu warabatul bait dan madrasatul ula yaitu mengurus rumah tangga, mengasuh, menjaga, dan mendidik anak-anaknya.

Ketiga, negara wajib menerapkan sistem sosial yang mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan sesuai ketentuan syariat. Setiap individu juga dilarang melakukan pornoaksi atau pornografi sehingga terhindar dari naluri seksual yang tak terkendali, yang mengancam anak dari pencabulan, kekerasan, atau kejahatan seksual. Negara juga akan menutup semua mata rantai penyebaran situs-situs porno di berbagai media yang akan mampu menimbulkan syahwat yang liar.

Keempat, negara akan memberikan sanksi yang tegas dan keras terhadap pelaku kekerasan maupun kejahatan terhadap anak, baik fisik maupun seksual. Di mana sanksi tersebut mampu memberikan efek jera bagi pelaku dan orang lain.

Oleh karena itu, kejahatan seksual saat ini tidak akan mudah sirna jika aturan yang ada belum mampu mencegah hal tersebut. Karenanya, semua itu bisa terlaksana jika orang tua,masyarakat dan negara paham akan perannya. Sebab tujuan tertinggi dalam beraktivitas adalah semata-mata mencari rida Allah Swt. Bukan untung rugi seperti yang ditawarkan para kaum kapitalis sekuler. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *