Tanpa Sagu; Utopia Lumbung Pangan Dunia 2045

Pena Opini1,113 views

Oleh: Masluki

Diatas kertas, nawacita bangsa menjadi lumbung pangan dunia 2045 bukan sekedar janji manis belaka. Fakta masifnya gerakan Upsus Pajale (upaya khusus padi, jagung, kedelai) sebagai komoditi super prioritas di periode pertama pemerintahan Jokowi. Ironinya, hampir mengaburkan peran komoditi pangan potensial dan strategis lainnya.

Ratusan triliunan anggaran digelontorkan untuk meraih ambisi swasembada pangan 2017. Namun, hasilnya belum mampu menutup kran impor jutaan ton beras, jagung dan kedelai.

Sebagai negara tropis yang memiliki jutaan keanekaragaman hayati perlu dikaji ulang tentang visi kedaulatan pangan bangsa.

Secara kesejarahan, padi bukanlah tanaman asli Indonesia melainkan dari India dan Cina. Jagungpun demikian, berasal dari Amerika Selatan, sedangkan kedelai berasal dari Cina.

Saat ini, 98 persen penduduk indonesia telah mengkonsumsi beras, 2 persenya jagung, sagu, talas dan ubi.

Di depan mata, perang pangan makin mengangah. Sedangkan cadangan beras di pasar dunia makin menipis.

Di atlas politik dunia, ekosistem pasar pangan makin tidak sehat dan tersandra dengan politik dumping dan perang dagang.

Pada sisi lain, kita di hadapkan dengan ledakan populasi penduduk dunia yang meroket tajam mencapai 8.6 milyar pada tahun 2030.

BPS tahun 2018, merilis angka konsumsi beras 111,58 kg/kapita/tahun maka dibutuhkan 29,57 juta ton/tahun.

Indonesia tahun 2030 harus memberi makan 300 juta penduduk dengan konsumsi 111,58 perkapita, yang membutuhkan 33.474 juta ton beras.

Pada sisi lain, konversi ribuan hektar lahan sawah produktif makin memprihatinkan. Produktivitas lahan mengalami pelandaian dan usaha tani padi makin tidak efisien.

Pembukaan lahan sawah baru menuai polemik, baik sosio-kultur, dampak lingkungan, anomali iklim hingga ledakan hama penyakit.

Dalam kondisi tersebut, nawacita bangsa menjadi lumbung pangan dunia sebatas utopia belaka.

Tanpa adanya diversifikasi pangan, Jalan menuju lumbung pangan duniapun makin terjal. Di lain pihak, sumber pangan endemik potensial seperti sagu belum banyak dilirik bahkan dibiarkan mati begitu saja dalam hutan tanpa di panen.

Padahal tidak butuh penanaman dan pemeliharaan, hanya perlu inovasi 4D; Ditata, Dipanen, Diolah dan Dijual.

Di Sorong Selatan Papua Barat, satu pohon sagu yang di panen, cukup untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat selama 6 bulan dalam satu rumah tangga.

Produksi sagu yang mencapai 30 – 40 ton/ha/tahun pati kering, hanya butuh satu juta hektar lahan sagu setara dengan kebutuhan 33.8 juta ton beras 300 juta jiwa penduduk Indonesia tahun 2030.

Indonesia memiliki 5.5 juta hektar lahan sagu dari 6.5 juta hektar lahan sagu dunia. Bukankah ini mampu memenuhi 13 persen kebutuhan karbohidrat dari 9.8 milyar penduduk dunia 2050.

Di masa depan, jika dikelola dengan baik, sagu dapat menjadi komoditi strategis dalam membangun posisi tawar bangsa di kanca ekonomi politik menuju lumbung pangan dunia 2045.

Selamat Memperingati Hari Pangan Dunia ke 39 di Sulawesi Tenggara 2 sampai 5 November 2019***

Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor