UU Cipta Kerja: Solusi atau Bencana?

Pena Opini624 views

Oleh: Qadaruddin Fajri Adi S.TP. M.Sc.

Pasca pernyataan Bapak Jokowi terkait UU Cipta Kerja, polemik terkait UU ini tidak juga berhenti. Pasalnya, pernyataan Pak Jokowi bukannya menenangkan pihak yang menentang pengesahan UU Cipta Kerja, melainkan terkesan menyalahkan.

Dalam salah satu pernyataannya, Bapak Jokowi melihat adanya unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja pada dasarnya dilatarbelakangi oleh disinformasi mengenai substansi dari undang-undang ini dan hoax di media sosial. Padahal, sampai dengan pernyataan tersebut dikeluarkan, draft final UU ini belum juga keluar, baik di laman website DPR RI maupun salinan fisiknya. Lantas, dokumen mana yang menjadi dasar untuk menilai bahwa informasi UU Cipta Kerja yang berseliweran di media sosial adalah hoax ?

Lebih lanjut, Bapak Jokowi mempersilahkan bagi pihak yang masih tidak puas untuk melakukan uji materi UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi. Sikap ini sudah bisa diprediksi sebelumnya. Kecil kemungkinan Bapak Jokowi mengeluarkan PERPPU karena beliau sendiri yang meminta UU ini dibuat.

Terlepas dari polemik UU Cipta Kerja, apakah UU ini tetap berlaku atau dibatalkan oleh Mahkaman Konstitusi, Indonesia tetap saja menghadapi tantangan yang cukup sulit. Padahal, anggaran pemerintah sudah cukup terkuras untuk menangani pandemi ini.

Katadata(dot)co(dot)id melangsir bahwa hingga 30 September 2020, pemerintah sudah menggelontorkan 290,28 T untuk menangani pandemi Covid-19 dengan rincian 21,79 T untuk anggaran kesehatan (24,9 % dari pagu anggaran senilai 87,55 T) dan 268,49 T untuk anggaran pemulihan ekonomi nasional (56% dari pagu anggaran senilai 487,03 T). Meskipun realisasi masih dibawah pagu anggaran, tidak menutup kemungkinan penanganan pandemi bakal menelan biaya lebih besar dari pagu anggaran karena hingga saat ini kurva puncak pandemi belum juga terlihat.

Selain itu, pandemi juga memaksa pertumbuhan ekonomi pada kuartal II lalu terjun bebas, minus 5,32 %. Memasuki kuartal III-2020, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan proyeksi pemerintah, pertumbuhan ekonomi berada di rentang minus 2,8% hingga minus 1%. Dus, ekonomi sepanjang tahun 2020 diprediksi ambles minus 0,6% bahkan bisa hingga kontraksi 1,7% dan ikut menyumbang lonjakan pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja. [kontan(dot)co(dot)id, 23/9/2020].

Pada kesempatan terpisah, Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, mengatakan saat ini jumlah pengangguran di Indonesia sudah naik sekitar 3,7 juta orang akibat pandemi COVID-19. BPS mencatat total penganggur per Februari 2020 adalah 6,88 juta orang. Dengan tambahan ini jumlah penganggur Indonesia bisa menjadi sekitar 10,58 juta orang.

Oleh sebab itu, langkah pemerintah untuk memaksakan UU Cipta Kerja merupakan manuver yang cukup realistis (sebenarnya). Dengan adanya pandemi, hampir bisa dipastikan postur APBN 2021 akan tidak seimbang. Penurunan aktivitas ekonomi akan memaksa penerimaan negara ikut berkurang. Mengingat, 70-80 % pendapatan negara bersumber dari pajak yang bertumpu pada aktivitas ekonomi masyarakat.

Pendapatan yang bertumpu pada pajak tidak bisa diandalkan. Realisasi penerimaan dari sektor pajak dipastikan menurun. Kementerian Keuangan RI merilis data APBN Periode Juli 2020, realisasi Pendapatan Negara dari Penerimaan Perpajakan mencapai Rp624,93 triliun, (44,49 persen dari target APBN-Perpres 72/2020). Pertumbuhan terkontraksi negatif 9,42 % (yoy).

Setali tiga uang, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp184,52 triliun (62,73 % dari target APBN-Perpres 72/2020), dengan tingkat kontraksi negatif 11,76 % (yoy). Satu-satunya penerimaan yang menunjukkan angka positif adalah realisasi dari Hibah, mencapai Rp1,74 T (133,81 % dari target). Meskipun demikian, sumbangan hibah terhadap penerimaan negara sangat kecil.

Salah satu langkah realistis pemerintah untuk menambal APBN 2021 adalah dengan menambah utang. Pilihan ini cukup sulit karena untuk membayar bunga utang saja kita sudah kewalahan, apalagi menambah utang baru yang jumlahnya besar dengan bunga yang mengikuti.

Posisi utang Indonesia per Juni 2020 mencapai 5264,07 T, naik cukup drastis dari utang periode yang sama tahun 2019, yaitu 4570 T. Sementara, uang yang dikeluarkan hanya untuk membayar bunga utang mencapai Rp 275,5 triliun (2019) dan Rp 92,82 T dari target RP 335,16 T (2020). Target pembayaran bunga utang tahun 2020 hampir separuh dari total penerimaan negara (periode September 2020).

Oleh sebab itu, langkah membuka investasi seluas-luasnya dengan mengesahkan UU Cipta Kerja dipandang pemerintah sebagai langkah yang lebih “aman”. Pemerintah tidak perlu menambah utang, uang masuk ke dalam negeri, lapangan pekerjaan terbuka, angka pengangguran dan kemiskinan turun. Begitu (harapan) algoritmanya bekerja.

Apakah bayangan dampak positif investasi besar-besaran akan semulus harapannya ? Untuk hal ini, saya ingin menegaskan kembali pesan Bung Karno soal JASMERAH, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dahulu, VOC masuk ke Indonesia memakai embel-embel investasi. Padahal, sejatinya, merekalah yang membutuhkan SDA yang ada di Nusantara/Indonesia.

Satu-satunya kelemahan kita saat itu adalah ketidakmampuan menilai SDA dengan uang dan percaya bahwa uang, teknologi dan skill yang dibawa oleh VOC akan membawa kemajuan. Apa yang terjadi setelah VOC bercokol tidak perlu dijlentrehkan. Anda semua sudah tahu kelanjutannya. Bahkan, setelah VOC “pergi”, sebagai negara merdeka, kita harus menanggung utang yang mereka tinggalkan.

Di sisi lain, jika opsi investasi via UU Cipta Kerja tidak kita ambil, maka jebakan utang tak terbayar mengancam kedaulatan NKRI ke depannya. Ada yang bilang, utang itu baik selama kita bisa mengelolanya. Waduh, justifikasi macam apa lagi ini ? Kalaulah betul kita bisa mengelolanya, kok utang kita justru selalu naik dari tahun ke tahun ? Terkadang, optimis dan halu itu tipis bedanya namun jauh jarak wujudnya.

Lantas, apakah sudah tidak ada lagi alternatif bagi kita selain utang dan “utang”/investasi ? Sebuah tantangan besar bagi kita, segenap bangsa Indonesia, untuk mulai memikirkan solusi (jalan) alternatif selain opsi yang sudah ada.

Penulis adalah Presiden Mahasiswa Universitas Gaja Mada (UGM) tahun 2009