‘Zero Korupsi’, Harusnya Berjihad dan Hijrah Secara Totalitas

Pena Opini590 views

Oleh: Amrin Lamena

Menjelang hari anti korupsi, kalimat ‘zero korupsi’ begitu membuming dan tenar dikalangan pemerintah hingga di daerah. Disinyalir ‘zero korupsi’ sebagai upaya pencegahan dari tindak pidana korupsi yang seringkali menjerat kalangan pejabat publik.

Namun sebelum mendayung lebih jauh, saya akan terlebih dahulu menyinggung pengertian zero korupsi. Zero dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti angka nol, kosong, sifer. Zero juga berarti titik di antara positif dan negatif pada suatu alat pengukur (meter, suhu, dan sebagainya); yang terendah.

Sementara, korupsi atau rasuah berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Korupsi adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan.

Sehingga dapat disimpulkan zero korupsi adalah upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih, terbebas dari perbuatan melawan hukum.

Korupsi memang merupakan problem besar yang hingga kini terus dicoba untuk diberantas melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, semakin gencar upaya ini, semakin keras juga perlawanan baliknya, dan semakin tidak jera atau takut para koruptor melakukan aksinya. Juga semakin banyak pihak yang ingin melemahkan, bahkan menghancurkan KPK.

Di daerah, lembaga penegak hukum setingkat Kejaksaan dan Kepolisian di beberapa kesempatan membangun kerjasama dengan meneken Memorandum Of Understanding (MoU) bersama pemerintah daerah dengan membentuk tim semisal saber pungli, Tim Pengawalan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D), serta Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun).

Semua bentuk kerjasama itu untuk menuju zero korupsi atau tanpa korupsi, yang menitikberatkan pada pendampingan dan pengawalan kepala daerah bersama jajarannya yang akan melaksanakan program pembangunan dan tata kelola pemerintahan yang bersih. Sebelum melaksanakan kegiatan pembangunan, pemerintah daerah juga dibebaskan untuk berkonsultasi terlebih dahulu kepada Kejaksaan atau setingkatnya, agar tidak salah dalam bertindak.

Upaya pemerintah dalam memberantas korupsi perlu diapresiasi. Namun, tanpa menisbakan itu, keberhasilan KPK dalam menindak pelaku korupsi di negeri ini telah menunjukan realita lain pada kita betapa maraknya tindak pidana korupsi di Negeri ini.

Misalnya tampak dari banyaknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK. Teranyar, OTT KPK terhadap 41 anggota DPRD Kota Malang beberapa waktu lalu yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Yang paling dekat dengan kita adalah kasus korupsi yang menjerat mantan Gubernur Sultra, Bupati Buton Selatan, mantan Wali Kota Kendari yang terkena OTT bersama sang anak yang menjabat sebagai Wali Kota Kendari saat ini.

Lebih jauh, berdasarkan riset Transparancy International (TI) 2016, menyebutkan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 37, naik satu poin dari tahun sebelumnya 36. Indonesia berada di peringkat 90 dari 176 negara yang disurvei. Untuk wilayah Asia Tenggara (Asean), IPK Indonesia berada di peringkat ke-4.

Negara dengan IPK tertinggi di kawasan ini adalah Singapura dengan skor 84, dan berada di posisi 7 dunia. Kemudian, diikuti Brunei Darussalam diperingkat dua dengan skor IPK 58, lalu Malaysia diperingkat 3 dengan nilai 49.

Budaya Korupsi

Menurut Haller dan Shore, korupsi dapat dimulai dari pemahaman tentang konsep, cara memandang apakah tindakan tertentu termasuk korupsi atau tidak. Cara pandang masyarakat tentang apa yang boleh dan tidak boleh, benar atau salah, baik atau buruk, korupsi atau tidak, menjadi landasan dalam bersikap dan berperilaku.

Korupsi seringkali didefinisikan dengan mengacu pada standar nilai yang ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Sedangkan standar nilai dalam satu masyarakat, tentu akan berbeda dengan standar nilai di kelompok masyarakat lainnya. Artinya apa yang bagi seseorang adalah korupsi, bagi orang lain dianggap sebagai hal yang wajar, ataupun bentuk silaturahmi atau cara agar relasi/hubungan lebih intim.

Selain perkara cara pandang yang masih abu-abu, tindakan korupsi yang merajalela juga merupakan suatu proses enkulturasi, yaitu interaksi sosial saat orang-orang belajar, memahami, dan mempraktekkan serta membangun kebiasaan yang berkembang di sekitar menjadi kebudayaannya.

Kultur korupsi di masyarakat terbentuk karena adanya kondisi yang memungkinkan atau terkadang memaksa untuk melakukan hal tersebut. Pola-pola yang ada di masyarakat berupa kesenjangan ekonomi, krisis kepercayaan, buruknya pelayanan birokrasi, penegakan hukum yang lemah, minimnya edukasi dan pendidikan anti-korupsi, menjadikan perilaku korupsi adalah hal yang dianggap lumrah sebagai bentuk jawaban atas kesulitan yang sering masyarakat hadapi.

Salah satu contoh, suatu ketika ada sekelompok orang ingin membuat KTP Elektronik sebagai bentuk kepatuhan mereka pada peraturan yang telah dicanangkan pemerintah. Di tengah proses berjalan, muncul berita di media bahwa dana proyek E-KTP telah diselewengkan oleh anggota parlemen, sehingga proses pembuatannya tidak kunjung selesai, dengan kata lain dikorupsi.

Padahal, masyarakat sangat membutuhkan kartu itu untuk keperluan administrasi lainnya. Maka, mereka melakukan hal yang mungkin disebut “sogokan” atau memberi uang pelicin kepada petugas kelurahan ataupun dinas kependudukan sipil agar E-KTP mereka cepat jadi. Hal inilah yang dikatakan sebagai hal memaksa, sehingga perilaku-perilaku korup masih terus tumbuh subur di kalangan masyarakat.

Tidak mengherankan, apabila banyak pejabat dan penyelenggara negara yang notabene memiliki wewenang dan kekuasaan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Mengingat, bahkan di kehidupan masyarakat awam yang tidak mempunyai kuasa, wewenang, atau alat-alat pendukung lainnya, perilaku semacam itu sudah membudaya.

Kenyataan yang sedemikian rupa, tentulah menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi penegak hukum, penyelenggara negara, dan masyarakat awam dalam menyikapi budaya korupsi yang secara sadar ataupun tidak, telah dilestarikan sekian lama. Namun, menjadi sesuatu yang sulit, jika mengupayakan membasmi budaya korupsi hanya dengan pendekatan hukum pidana semata atau melalui program zero korupsi yang hanya melibatkan penegak hukum dan pemerintah daerah.

Cara mengatasi sesuatu yang muncul karena enkulturasi adalah dengan membangun pemaknaan baru atau cara pandang baru, dan melakukan enkulturasi yang serupa atas pemaknaan baru tersebut. Jika merujuk kepada budaya korupsi, maka harus dibangun pemaknaan baru, yaitu sikap dan semangat anti-korupsi.

Sikap anti-korupsi ini bisa ditularkan melalui enkulturasi budaya melalui lembaga-lembaga sosialisasi yang ada, semisal keluarga, media massa, tokoh masyarakat dan tokoh agama, aparat penegak hukum, dan lain sebagainya. Penanaman nilai anti-korupsi yang utuh dan seragam, sehingga universalitas dari sikap anti-korupsi akan sama besar dan pengaruhnya, seperti sikap anti otoriter, anti diskriminasi gender, dan anti perbudakan yang telah diadopsi di seluruh dunia.

Korupsi Sebagai Wujud Budaya Konsumerisme

Menurut agama Islam, korupsi sesungguhnya berakar dari hasrat manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang telah dimiliki. Dalam istilah Nabi Muhammad SWA, mereka itu seperti orang yang makan tetapi tidak pernah kenyang. Jika mereka diberi satu lembah berisi emas, mereka akan meminta lembah lain berisi emas juga. Jika telah diberi, dia akan meminta lembah berisi emas lainnya lagi. Begitu seterusnya tanpa pernah berakhir.

Kata Nabi, hanya kematian yang mampu menghentikannya. Inilah hasrat korupsi yang terus-menerus terproduksi, bagian dari budaya konsumerisme.

Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Bayang-bayang Tuhan, Agama dan Imajinasi (2011), menyebutkan hakikat dari budaya konsumerisme adalah memuat kegiatan konsumsi dengan makna-makna simbolik tersendiri (prestise, status, kelas) dan dengan pola dan tempo pengaturan yang khas.

Budaya konsumerisme adalah sebuah budaya konsumsi yang ditopang oleh proses penciptaan diferensi secara terus-menerus lewat penggunaan objek-objek komoditas, sebuah budaya belanja yang proses perubahan dan perkembangbiakannya didorong oleh logika hasrat dan keinginan ketimbang logika kebutuhan.

Budaya konsumerisme adalah sebuah sistem self-production hasrat tanpa henti, pemenuhannya selalu melalui media komoditas.

Dunia konsumerisme adalah sebuah medan tempat pelepasan hasrat manusia konsumen, yaitu hasrat akan objek-objek dan kesenangan tanpa akhir, di dalamnya para konsumen dikonstruksi kehidupan sosialnya, sehingga ia mengikuti arus hasrat yang mengalir tanpa henti.

Di dalam medan pelepasan hasrat itu, setiap orang dikonstruksi untuk dapat mengikuti arus produksi dan reproduksi hasrat yang tanpa henti dengan mengonsumsi tanda, citra, dan objek-objek yang diperbarui penampilannya secara terus-menerus.

Dengan terus-menerus mengonsumsi, setiap orang dengan tanpa jeda pula memproduksi hasrat dan ketidakpuasan abadi (J.F. Lyotard, Libidal Economy, 1993).

Budaya korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang lahir antara lain karena hasrat konsumerisme, terutama konsumsi harta (modal/kapital) dan kekuasaan (politik), dalam perspektif teologis, adalah sebuah dosa besar.

Dosa besar, baik terhadap individu bersangkutan, masyarakat maupun Tuhan. Dengan kata lain, korupsi adalah dosa sosial sekaligus spiritual. Korupsi adalah kezaliman tak terperi, karena mengambil hak orang lain untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, sehingga orang yang diambil haknya itu, baik secara tersembunyi maupun terang-terangan mengalami kerugian, tidak hanya material tetapi juga nonmaterial.

Uang negara yang seharusnya untuk kepentingan rakyat dikorupsi atau dicuri, sehingga kesejahteraan yang diharapkan tak kunjung terwujud.

Ketika Nabi selesai membebaskan Mekah (Fathu Mekah) pada 8 Hijriah, beliau mengatakan kita telah selesai dari jihad kecil menuju jihad besar, yakni memerangi hawa nafsu (hasrat negatif). Jihad terbesar saat ini adalah memerangi hasrat korupsi dalam diri yang terus-menerus bergelora dan membuncah.

Perang terhadap hasrat korupsi ini juga disertai keinginan dan komitmen kuat untuk berhijrah, mengubah hasrat negatif itu menjadi hasrat positif, hasrat untuk menjauhi kejahatan korupsi. Kata Nabi, orang yang berhijrah itu adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah. Allah melarang manusia menzalimi hak orang lain. Allah juga melarang manusia mengambil hak orang lain, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

Nabi bahkan dengan tegas mengatakan, jika Fatimah putri beliau mencuri, beliau sendiri dalam kapasitasnya sebagai pemimpin keluarga (ayah, suami), pemimpin agama, pemimpin politik, pemimpin militer, pemimpin hukum yang akan memotong tangannya.

Hari anti korupsi ini menjadi momentum, sekaligus pengingat penting untuk menegaskan kepada semua orang, terutama para pemimpin dan pejabat negara yang tengah diberi amanat kekuasaan oleh rakyatnya (eksekutif, legislatif, yudikatif), untuk berjihad, memerangi hasrat korupsi, dan berhijrah meninggalkan korupsi dalam bentuk apa pun dan sekecil apa pun.

Lebih dari itu, mendukung penuh upaya-upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga seperti KPK. KPK menjadi medium atau wasilah yang menarik gerbong negara ini untuk berhijrah atau berubah ke arah lebih baik, dari Indonesia sebagai negara korup menjadi negara yang bersih dari korupsi, zero korupsi. Karena itu, KPK perlu diperkuat, bukan diperlemah apalagi diamputasi atau dibekukan hingga mati pelan-pelan.

Selamat memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia, 9 Desember 2018.(***)

Penulis adalah Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Buton Tengah (HIMA Buteng) Baubau dan juga wartawan Penasultra.com