PENASULTRA.COM, KENDARI – Kebijakan pengendalian ekspor mineral dan batubara sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 menjadi kepanikan tersendiri bagi para pengusaha tambang, khususnya di Sulawesi Tenggara (Sultra), wilayah yang kaya akan sumber daya alam.
Terlebih, dengan diterbitkannya Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 Tahun 2019, memicu reaksi berlebihan para ‘pemburu dolar’ untuk mengejar profit sebesar-besarnya. Pasalnya, per 1 Januari 2020 nanti, pemerintah pusat melarang ekspor bijih nikel.
Mengamati fenomena ini, Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Sultra, Sucianti Saenong menegaskan bahwa pihaknya mendukung sepenuhnya kebijakan tersebut. Asalkan, seiring diterapkannya pelarangan ekspor pemerintah pusat juga sekaligus membuka peluang selebar-lebarnya investasi bagi pengusaha lokal untuk membangun smelter di Sulawesi Tenggara.
“Ditutupnya ekspor harus ditandai dengan dibukanya investasi smelter besar-besaran di Sulawesi Tenggara dan bersamaan dengan itu, pemerintah juga sudah menyiapkan tenaga kerja lokal yang berkualitas,” kata Suci saat dihubungi Sabtu 9 November 2019.
Penyediaan tenaga kerja lokal, kata Suci, bisa dilakukan pemerintah dengan membuka pendidikan spesialis pembangunan smelter. Hal ini dilakukan agar ke depan tak ada alasan lagi merekrut tenaga kerja asing untuk menjalankan smelter yang baru masuk.
Memang, menurut Suci, dengan adanya ekspor bijih nikel tidak membawa manfaat spesifik bagi daerah. Justru yang terjadi ekspor merugikan masyarakat lokal.
“Kekayaan alam, tanah kita dibeli dengan harga murah diluar negeri. Kenapa tidak membuat saja smelter dalam negeri,” imbuhnya.(a)
Penulis: Irwan