PENASULTRA.COM, BOMBANA – Beberapa petani rumput laut di Dusun II, Desa Baliara, Kecamatan Kabaena Barat, Kabupaten Bombana, Sulawesi tenggara (Sultra) mengeluhkan limbah PT. Timah berupa lumpur yang mencemari air laut tempat mereka mencari nafkah. Sehingga, karena limbah tersebut warga tak bisa lagi memperoleh penghasilan.
Seorang nelayan rumput laut, Suriadi mengatakan, kondisi rumput laut di wilayahnya saat ini memprihatinkan. Sebab para nelayan kini tak bisa lagi membudidaya rumput laut sejak lima tahun terakhir. Akibatnya, selama rentang waktu tersebut, para nelayan terpaksa berhenti bertani rumput laut.
Menurut Kepala Dusun II Desa Baliara itu, sebelum adanya eksploitasi oleh perusahaan nikel, tidak ada kendala oleh masyarakat setempat dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
“Sekarang karna pencarian kami sebagai nelayan sangat kesulitan sekali untuk memperoleh hasil laut seperti Ikan, taripang apalagi rumput laut atau agar. Sekarang silahkan dilihat air lautnya warnanya yang sudah kuning,” kata Suriadi sembari menunjuk air laut yang berwarna kuning bercampur lumpur, Minggu 25 November 2018.
Tak hanya itu, Suriadi mengaku sudah berusaha berkordinasi kepada PT. Timah, namun tak ada respon, sehingga ia hanya bisa pasrah menyaksikan warganya.
“Warga pernah mengajak untuk melakukan demo, saya bilang saya tidak tahu demo bagaimana kita bakar saja itu perusahaan tapi mereka tidak menyahuti mungkin mereka juga ragu. Yah sekarang beginilah kondisinya kami hanya menyaksikan lingkungan penuh dengan lumpur,” ujarnya.
Ia mengingatkan, pihak perusahaan untuk bertanggungjawab atas kerusakan serta hilangnya mata perncaharian sebagian penduduk di perkampungan Bajo Desa Baliara Selatan.
Senada, salah seorang ibu rumah tangga, Nurtang mengatakan, sebelum adanya tambang pendapatan suaminya selaku petani rumput laut rata-rata mencapai Rp100 ribu per harinya.
“Sekarang paling banyak Rp30 ribu per hari itupun tempat mencari ikan sudah sangat jauh sekali. Yah jaraknya sekitar 5 km dari rumah. Bagaimana lagi karena tak bisa bertani agar lagi, tali-tali yang dipake untuk rumput laut sudah disimpan dalam karung karna tak ada tempat lagi untuk dipake,” keluhnya.
Sementara itu, salah seorang warga Desa Baliara, H.Takwin mengaku, telah sekian lama tak melihat warga setempat membawa rumput laut.
“Sekarang sudah tidak ada lagi petani agar di sini, buktinya tak ada lagi yang mengantar atau menjual agarnya. Terakhir tahun 2014 masih saya terima perminggunya sebanyak 10 ton. Yah mungkin faktor adanya tambang,” tutupnya.(a)
Penulis: Zulkarnain
Editor: Yeni Marinda