Oleh: Hidayatullah
Diskursus soal tim sukses pemilihan adalah wacana yang muncul dari sinyalemen-sinyalemen. Tim sukses kandidat yang kalah boleh jadi tetap berlanjut karena calonnya tidak menduduki kekuasaan pemerintah.
Bertahanpun lumrah dan tidak dimasalahkan karena tidak menggunakan uang dan simbol-simbol kekuasaan dan atau mengatasnamakan pemimpin pemerintahan.
Namun di kubu kandidat yang memenangkan pemilihan, keberadaan tim sukses tidak boleh terpelihara. Karena pintu masuk korupsi melalui jalur ini.
Sebahagian besar tangkapan KPK RI terhadap kepala daerah adalah berdasarkan jalur tim sukses dan orang terdekat. Semua sadapan, rekaman komunikasi dari orang-orang terdekat dan tim sukses pemilihan yang dianggap berjasa.
Berdasarkan sinyalemen-sinyalemen yang sering muncul, mereka yang pernah menjadi bagian dari tim sukses terdistribusikan ke dua arah. Pertama, menempati jabatan tertentu dalam pemerintahan atau lembaga yang dikuasai pemerintah seperti BUMN atau BUMD. Kedua, menjadi lembaga politik bayangan yang bisa memengaruhi mekanisme kerja administratif pemerintahan.
Sinyalemen-sinyalemen itu tercermin dari pernyataan-pernyataan pejabat pemerintahan dan tokoh masyarakat maupun liputan media yang mengenali anggota tim sukses yang didudukkan dalam jabatan tertentu.
Dua tahun lalu, dalam penutupan Musyawarah Nasional Korpri, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, sudah tidak zaman lagi seorang gubernur, bupati, walikota terpilih saat pilkada usung tim sukses duduki jabatan di daerah.
“Tim sukses dan simbol dari hasil pemilihan itu harus dibubarkan karena berpotensi menyimpang dalam pemerintahan,” katanya.
Pernyataan Mendagri tersebut jelas menyiratkan bahwa praktik bagi-bagi jabatan dan praktek bagi- bagi kue paket proyek kepada tim sukses memang terjadi.
Bahkan, jabatan bukan saja dibagi oleh pemenang pemilihan, melainkan juga diminta oleh mereka yang merasa telah menjadi tim sukses dari pemenang pemilihan. Posko Malut.net, misalnya, pernah menulis laporan tentang tim sukses yang meminta jabatan/proyek/program tertentu.
Sinyalemen paling lugas tentang bertahannya tim sukses meski pemilihan telah berakhir terlihat dari pernyataan Gubernur Sulawesi Barat periode 2011-2016, Anwar Adnan Saleh saat menyampaikan sambutan pada pelantikan tiga pasangan bupati dan wakil bupati di provinsinya.
Seperti dilaporkan oleh karebamalaqbi.com, saat itu Anwar Adnan Saleh menyampaikan, “Saya minta kepada tim sukses mulai hari tugas saudara telah selesai, tugas mulia saudara telah berakhir. Mulai besok berikan kesempatan kepada bupati dan wakil bupati yang saudara dukung untuk bersama rakyat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya,”.
Lebih lugas lagi ia mengatakan, ada pengalaman yang kurang baik selama ini, lima tahun masa jabatan kepala daerah, lima tahun juga masa jabatan tim sukses. Saya minta ini sudah bisa kita akhiri.
Pernyataan itu juga sekaligus mempertegas sinyalemen bahwa tim sukses tetap bertahan keberadaannya dengan bermetamorfosis menjadi lembaga politik bayangan yang mengaku dan dianggap bisa memengaruhi keputusan-keputusan eksekutif dalam proses mutasi dan rotasi pejabat struktural.
Namun, tidak sedikit kasus menunjukkan bahwa posisi politik itu tak lebih dari klaim sepihak tim sukses untuk meraup keuntungan pribadi.
Pengalaman di Kabupaten Karawang, contohnya. Cellica Nurrachadiana, Bupati Karawang, sejak tahun lalu sudah mengingatkan para pejabat di daerahnya agar tidak mempercayai pihak yang mengaku tim suksesnya yang mengklaim mampu ‘mengamankan’ maupun menaikkan jabatan.
Pengalaman Kabupaten Tanjab Barat adalah contoh lainnya. Safrial, Bupati Tanjab Barat, mengingatkan bahwa penentuan penjabat SKPD adalah hak prerogatif bupati. “Jangan coba lobi tim sukses. Penentuan siapa yang akan membantu saya nanti, saya langsung yang akan pilih bersama Pak Amir Sakib,” kata Safrial menyebut nama wakilnya.
Sinyalemen-sinyalemen seperti tadi mempertegas bahwa tim sukses kandidat tetap bertahan keberadaannya meski pemilihan telah selesai. Pertanyaannya, mengapa pemenang pemilihan membiarkan atau bahkan merawat tim sukses dalam roda pemerintahannya padahal ini sungguh merusak tatanan kerja birokrasi pemerintahan?
Adalah tidak patut jika hal tersebut merupakan bentuk terima kasih sang kandidat kepada tim suksesnya.
Ungkapan terima kasih adalah urusan dan kepentingan personal sang kandidat, yang harus diungkapkan dalam lingkup pribadi pula; tanpa perlu menyeretnya menjadi bagian dari pekerjaan dan kewenangannya sebagai pejabat publik.
Barangkali warga negara masih bisa memaklumi jika pelibatan tim sukses dalam pemerintahannya itu adalah demi membantu sang pemenang pemilihan untuk mewujudkan program-program yang dijanjikannya semasa kampanye pemilihan.
Tentu saja sejauh mereka kompeten dan kapabel dalam tugas tersebut. Bukan meminta-minta jabatan untuk dirinya atau orang lain, atau paket proyek. Sumber keributan dan kekisruhan itu dari mereka-mereka tim sukses ini.
Dalam konteks itu pula kita bisa memahami mengapa publik pernah menyoroti Relawan Jokowi yang masih mengatasnamakan Jokowi-JK walau telah dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Relawan tersebut kecenderungan overacting dan overconfident. Akhirnya dibubarkan karena melahirkan kontroversi. Ribut soal jabatan dan lain sebagainya.
Dan publik juga menyorot rencana membengkaknya jumlah tim gubernur untuk percepatan pembangunan di DKI Jakarta, yang dikhawatirkan hanya untuk menampung tim sukses Anies saat Pilkada DKI Jakarta 2017.
Harusnya yang dikumpul hanyalah yang memiliki kualifikasi kepakaran. Bukan para pemburu proyek/kontraktor lagi pula tidak punya perusahaan dan hanya mengatasnamakan Anis-Sandi Center bukan bagian sebagai Ahli. Dan Anis-Sandi Center ini pun dibubarkan Anis karena selalu mengatasnamakan Cagub Anies dan telah merusak sistim tata kerja birokrasi pemerintahan DKI.
Adalah hak warga masyarakat untuk menyorotinya karena hal tersebut menyangkut kepentingan publik, kewenangan pejabat publik, aset negara, dan mekanisme organisasi pemerintahan. Dan adalah kewajiban mereka bagi tim sukses dengan moral yang baik membubarkan diri paska calonnya menang.
Serta suatu kepatutan pemerintahan calon yang menang membubarkan tim suksesnya karena akan merusak tatanan pemerintahan yang baik dan berwibawa serta bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.
Bagaimana dengan Sultra paska terpilih dan dilantiknya Ali Mazi-Lukman disingkat AMAN sebagai Gubernur dan Wakil Gubenur Sultra yang telah bekerja selama 121 hari ini. Silahkan publik mengamatinya.(***)
Penulis: Ketua Presidium JaDI Sultra