Oleh: La Ode Arpai
Pesta demokrasi yang terdikotomi sebagai wadah politik Indonesia kini menjadi puncak perhelatan dalam kontestasi politik. Pangung politik yang diselanggarakan setiap lima tahun sekali tentunya harus bisa memberikan mimik baru dalam perubahan politik Indonesia.
Di tahun 2019 merupakan puncak yang bisa disaksikan secara bersama jalannya pesta demokrasi Indonesia. Karena tahun ini merupakan sejarah baru bangsa ini melaksanakan Pemilu serentak antara Legislatif dan Eksekutif.
Baik legislatif maupun eksekutif kian ramai diperbincangkan dihadapan publik. Berbagai strategi dan media tidak sedikit pun absen untuk meraih titik nurani masyarakat yang setia menuntut adanya perubahan.
Proses pelaksanaan demokrasi dari periode yang lalu tentunya memberikan gambaran bagi masyarakat luas untuk bisa mengevaluasi diri dalam memilih kandidat politik agar tidak terjun dalam jurang yang sama, sehingga dalam menentukan pilihan pada 17 April mendatang mampu benar-benar memfilter para kandidat yang berkontestasi untuk bisa menyuarakan perubahan masyarakat dan menjadi ujung tombak perbaikan kualitas konstituenya.
Hal ini tentunya tidak mudah, karena semua yang ikut kontestan memiliki pandangan politik yang memukau dalam menyentuh titik nadir para konstituen dan juga tidak sulit untuk dipetakan mana yang benar-benar memiliki komitmen membangun dan mana yang hanya memanfaatkan momentum sebagai huru-hara politik semata.
Pemetaan politik akan memberikan paradigma baru dan memiliki konsistensi serta semangat yang kuat baik secara personal maupun secara kelompok.
Menilik dari irisan harapan bangsa ini pemuda merupakan satu satunya jalan menjadi penengah dan pembedah dalam kontestan politik.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2009 tertulis sangat jelas bahwa pemuda adalah mereka yang berada dalam rentan umur 16 hingga 30 tahun dengan presentasi sekitar 24,27 persen atau sekitar 255 juta rakyat Indonesia (Kompas,06 2018).
Banyaknya presentasi pemuda dalam hal ini bisa dapat diperhitungkan dalam kontestasi politik masa kini. Pemuda menjadi lumbung suara dan dapat menetukan perjalanan pesta demokrasi dalam pemilihan pemimpin pada bangsa ini.
Dalam pandangan lain, pemuda tidak hanya dimaknai sebagai lumbung suara tapi pemuda juga memiliki makna lebih dalam. Pemuda bisa dimaknai sebagai tongkat estafet perubahan untuk menjadi pemimpin dalam negeri.
Kendati demikan, pemuda juga sering kali salah arah, tak mampu memberikan warna perubahan dalam kontestasi politik sehingga mereka cenderung apatis dalam dunia pergerakan politik masa kini.
Apatisme yang muncul sering kali mereka menyerah dengan kondisi yang ada atau kah memang ini bukan hal utama untuk diprioritaskan bagi genereasi muda?
Namun apapun bentuknya, ketidakmampuan generasi muda mengambil langkah sehingga mereka cenderung menjadi pengikut bagi generasi tua. Disatu sisi fulktuasi gerekan pemuda hanya terombang ambing pada kritik sosial media sehingga banyak juga dari mereka menjadi korban politik Hoaks. Hal ini tentunya tidak memberikan dampak bagi pembangunan dalam bangsa kita karena lemahnya kontrol generasi muda kita.
Dalam konteks politik 2019, generasi muda tentunya harus bisa mengambil peran dalam satu bagian dan tidak fulktuatif dalam satu gerakan semata, sehingga tidak tersesat dalam kedunguan berfikir. Generasi mudah harus mampu menjadi penentu kesuksesan demokrasi dalam hal ini tidak hanya menjadi partisipan dalam pemilu, tetapi kaum muda harus menjadi aktor utama dalam politik.
Keikutsertaan pemuda dalam dunia politik akan bisa merubah harapan dan bisa mewarnai pesta demokrasi Indonesia. Dengan jiwa idealismenya yang tinggi generasi muda tentunya mampu mewujudkan pembangunan dalam konteks perubahan sosial dalam masyarakat yang lebih baik.
Melalui momentum ini, jadikanlah perubahan hari esok ada ditangan pemuda. Pemuda harus mulai berpikir kritik dan berjuang menjadi gerbong utama dalam penentu arah pembangunan bangsa, sehingga negeri ini bisa terselamatkan dari aktor-aktor politik kotor yang hanya memperkaya perut sendiri dan kelompoknya.
Tergerusnya politik kotor jika tidak ditangani secara serius akan merusak mental atau cara pandang berpikir masyarakat Indonesia sehingga yang muncul cenderung fitnah dan adu domba. Politik semacam ini tidak memberikan efek positif bagi pembangunan justru akan merusak tatanan sosial masyarakat kita.(***)
Penulis adalah Lulusan Sosiologi Universitas Indonesia dan Wakil Sekjen PB HMI Periode 2018-2020