Apa Arti Perempuan Ikut Caleg? (Bagian I)

Pena Opini841 views

Oleh: La Ode Ismail D

Sebanyak 3.194 daftar Calon Anggota Legislatif (caleg) DPR-RI, dari data yang direkam KPU. Dalam sistem kepemiluan di Indonesia memberikan kuota 30% untuk mendorong keterlibatan aktif perempuan dalam panggung politik struktural.

Kuota panggung politik untuk perempuan bukan hal yang baru dalam mendorong budaya kesetaraan politik berbasis gender. Di negara-negara Scandinavia (Norwegia, Swedia dan Denmark), adalah negara dengan tingkat partisipasi politik perempuan tertinggi di dunia dengan mencapai 40-56% dari dinamika perpolitikan 1980-2000-an awal.

Bukan terjadi secara tiba-tiba, tingginya partisipasi perempuan dalam ruang politik struktural di sana sudah dibangun sejak gerakan politik perempuan diakhir tahun 1980-an dan 1990-an (baca : Women’s Political Representation In Scandinavia). Kita tidak akan membicarakan bagaimana budaya politik kesataran di Scandinavia di sini. Perihal pembicaraan kita, apakah “Nyaleg” adalah bukti dari partisipasi eksistensi perempuan dalam politik telah benar-benar memiliki arti politis?

Untuk membicarakan pertanyaan ini, data Statistik Indonesia (SI) merekam partisipasi perempuan di parlemen tidak pernah terpenuhi sampai 30% sejak 1999-2014 (8,80% ditahun 1999; 11,82% ditahun 2004; 17,86% ditahun 2009; dan menurun 17,32 % ditahun 2014).

Padahal negara kita telah mengatur dalam UU No. 2 Tahun 2008 memuat kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat. Angka 30% juga sebenarnya mengacu pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai angka minimal untuk memungkinkan terjadinya perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan atau kebijakan yang diambil dalam institusi publik.

UU No. 10 Tahun 2008 ditegaskan bahwa partai politik baru dapat mengikuti setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.

Tantangan dan faktor lain penghambat perempuan dalam politik, adalah persepsi tentang perempuan dalam publik dan politik di tengah Budaya kita masih patriarki. Jujur, saya sendiri belum mendapatkan data tentang persepsi publik terhadap caleg perempuan. Sekiranya antum-antum dan abangda sekalian memilikinya, sudikanlah mengafirmasi atau bisa juga mengkritiknya. Silahkan!

Mengapa itu penting? karena persepsi publik terhadap “pentingnya perempuan dalam politik formal bisa menjadi cerminan awal”. Cerminan tentang apa? Bahwa apakah tuntutan setaranya kehadiran perempuan di ruang politik formal bisa mempengaruhi budaya politik kita dan juga berimplikasi pada kebijakan institusi negara yang ramah terhadap perempuan.

Mengapa nilai budaya politik dan implikasi kebijakan harus ramah pada perempuan? karena dimanapun wilayah anda hidup dibelahan dunia ini, perempuan menjadi telah bagian menjadi lokus sosial politik yang memiliki arti penting dalam menagih kontrak sosial – keamanan, kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan (Jackson R & G. Sorensen ; 2014) – yang kita bentuk (tacit consent : Jhon Locke) bernama Institusi Negara.

Itulah alasan dasar kita mengapa kita hidup memiliki Negara. Apa arti ungkapan ini? Bahwa perempuan dalam politik “Harus” memiliki konsentrasi isu-isu perempuan yang didorong menjadi “ platform ” dan narasi politik perempuan sebelum ukhti, mbak, umi, bunda, ibu-ibu sekalian nyaleg. Jika tidak, kuota 30% itu kehilangan sisi politiknya dan sekedar slogan “girls power”, “perempuan juga bisa”, “wujudkan kesetaraan gender”, “perempuan bukan sekedar sumur, kasur, dapur”, dimana gender yang situ maksud adalah “jenis biologis”.

Belum pula saudari-saudari memiliki kendala sosial “diremehkan” secara persepsi publik (juga kapabilitas dan integritas) sebagai icon politik – dan apapun jenis kelaminnya kapabilitas dan integritas berpolitik sama-sama dituntut.

Arti Perempuan Berpolitik dan Bagaimana Seharusnya Dimulai?

Perempuan menjadi narasi politik khusus, bukan berarti untuk melawan laki-laki, ingat itu!. Diskursus gender menempatkan perhatian perempuan sebagai lokus sosial karena tututan kontrak sosial – yang diserahkan pada kekuasaan institusi negara – tidak terpenuhi dan berdampak pada kesenjangan sosial dimana perempuan menjadi social victims yang paling rentan. Gerakan politik perempuan muncul dengan latar belakang ini (baca: gelombang feminisme). Menuntut untuk memenuhi nilai sosial tersebut dalam politik adalah arti penting perempuan berpolitik.

Misalnya saja, kita bisa mengambil ukuran-ukuran sederhana untuk membicarakan kesejahteraan sosial, melalui proyeksi pembangunan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan dibagi dalam berdasarkan jenis kelamin.

Adapaun dimensi dasar IPM ada 3: Umur Panjang dan Hidup Sehat, Pengetahuan, dan Standar Hidup Layak. Beberapa indikator yang digunakan antara lain Angka Harapan Lama Sekolah (HLS), Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita, Rata-Rata Lama Sekolah (RLS), dan Angka Harapan Hidup (AHH).

Kita mengambil satu dimensi. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Indikator Angka Harapan Hidup (AHH), Indonesia dari tahun 2010-2017 untuk perempuan hanya menunjukan angka petumbuhan dari 71,83% – 73,06 % atau tidak lebih dari 1,23% dalam jangka waktu tujuh tahun.

Dalam jangka tahun yang sama, dari 2010-2017, pertumbuhan Index Sumbangan Pendapatan Perempuan dari 33,50% – 36,62% atau hanya tumbuh 3,12%. Dan juga, serapan Perempuan sebagai Tenaga Kerja Profesional tahun 2010-2017, adalah 44,02% – 46,31% atau hanya tumbuh 2,29%.

Pada tingkat Regional negara-negara ASEAN, Vietnam dengan IPG (Index Pembangunan Gender) tertinggi sebesar 101,0 pada tahun 2015. Indonesia duduk di posisi ke-6 dengan IPG sebesar 92,6 masih di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, dan Thailand (CNBC Indonesia: Posisi Wanita dalam Ekonomi Indonesia).

Data-data kecil tersebut, bukan sekedar pemaparan angka-angka. Hal itu menunjukan bahwa ukuran-ukuran pembangunan, perempuan mendapat perhatian dalam langgam “Pembangunan Manusia”. Jika, buk-ibuk, mba-mbak, ukhti sekalian, tidak menkonsentrasikan isu-isu sektoral dengan menempatkan perempuan dalam lokus sosial menjadi arti politis, kuota 30% hanya angka persenan hambar dan formalitas perserta partai pemilu.

Apa yang dibutuhkan pertama kali? (1) identifikasi isu-isu sektoral dan tempatkan dalam perspektif kesetaraan gender (2) Dorong menjadi “ Platform ” dalam gerakan perempuan (3). Menginternalisasi platform pada jaringan sosial perempuan ditingkat akar rumput yang teroganisir dengan pengertian-pengertian politik, bukan sekedar mengisi kepengurusan partai. (4) Dorong secara masif pengambilan keputusan kebijakan bersama mulai jaringan sosial perempuan, hingga tingkat partai politik anda-anda sekalian.

Tanpa kehadiran perempuan secara masif dan peningkatan aspek kognitif diruang sosial politik, tidak ada yang namanya kesetaraan gender. Tulisan sambungan selanjutnya akan membahas 4 hal ini dan percontohan di Scandinavia .(***)

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UGM, Fakultas Ilmu Sosial Politik, Jurusan Hubungan Internasional