Oleh: Mohammad Jamil, SH
Masa kampanye Pasangan Calon (Paslon) Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia tengah berjalan. Tim sukses dan simpatisan masing-masing paslon lagi gencar-gencarnya mengkampanyekan calon yang diusung. Tak luput program calon disuguhkan kepada public. Tujuannya, menggerus sebanyak-banyaknya dukungan pemilih.
Kontestasi pilpres dengan hanya 2 (dua) paslon, membelah publik ke dalam dua kubu, tak ada pilihan lain. Demi meyakinkan pemilih, banyak materi kampanye yang disajikan menyiratkan cenderung menyerang dan ungkap sisi buruk masing-masing calon.
Ada banyak materi kampanye calon presiden coba “dipidanakan”. Misalnya penggunaan narasi “sontoloyo” atau “tampang boyolali” saat kampanye coba dipidanakan. Istilah tersebut diposisikan sebagai wujud “penghinaan” atas orang atau suku/ras tertentu.
Dalam batas yang wajar, materi yang menyerang sisi buruk calon aquo dapat ditoleransi, namun jika telah menyerang kehormatan dan menghina calon presiden, hal tersebut dapat dipidana. Pengaturan demikian termaktub dalam ketentuan norma Pasal 521 Jo Pasal 280 ayat (1) huruf c UU 7/2017 (UU Pemilu). Tindak pidana penghinaan yang dimaksud Pasal 521 UU Pemilu adalah perbuatan yang terkualifikasi Pasal 280 ayat (1) huruf UU 7/2017 (UU Pemilu).
Tak tanggung-tanggung, tindak pidana pemilu ini masuk menjadi ranah public (delik umum). Namun, penerapan Pasal 280 ayat (1) huruf c UU Pemilu menjadi kabur, sulit untuk diterapkan. Sebabnya karena definisi “menghina” tidak diuraikan secara jelas dalam UU Pemilu. Hal ini tentu akan menimbulkan “problem” pada aspek penerapannya.
Salah satu guru besar hukum tata Negara Prof Mahfud MD berpendapat, hanya materi kampanye yang bersifat “black campaign” yang dapat dipidana, sedangkan materi kampanye yang bersifat “negative campaign” tak dapat dipidana. Alasannya, karena “black campaingn” tidak faktual-berisi kebohongan, sedangkan “negative campaign” bersandar pada hal yang faktual, meskipun kontennya “menyerang kehormatan”.
Pandangan Prof Mahfud MD aquo disampaikan via tweeter dengan akun @mohmahfudmd tanggal 14 Oktober 2018, yakni “black campaign adl kampanye yg penuh fitnah dan kebohongan ttg lawan politik.
Negative campaign adl kampanye yg mengemukakan sisi negative/kelemahan faktual ttg lawan politik. Negative campaign tdk dilarang dan tdk dihukum krn memang berdasar fakta. Yg bs dihukum krn memang berdasar fakta. Yg bs dihukum adalah black campaign”.
Posisi Prof Mahfud MD dalam kapasitasnya selaku guru besar hukum tata Negara dan mantan Ketua Mahkamah RI, patutlah kiranya pandangan beliau disebut sebagai jus prodentibus contitum (hukum yang diciptakan orang cerdik pandai). Bahkan, menurut Mr. Mahadi dalam bukunya Sumber-sumber hukum (1958), pendapat umum para guru, kedudukannya adalah sumber hukum (communis opinio doctorum).
Dalam kontes kampanye yang sedang berjalan, pandangan Prof Mahfud MD yang mengeneralisir “negative campaign” sebagai bukan perbuatan terlarang yang dimaksud UU Pemilu, dapat menjadi alasan pembenar, melegitimasi materi negative campaign aquo.
Pandangan demikian menurut penulis dapat diterima jika menggunakan tafsir umum-kebenaran faktual, namun tafsir demikian perlu dicermati dalam konteks berpikir hukum (juris denken). Dengan menggunakan tafsir sistematis, penerapan Pasal 280 ayat (1) huruf c UU Pemilu, maka “black campaign” atau “negative campaign” sama-sama dapat dipidana. Namun ketentuan Pasal 280 ayat (1) huruf c UU Pemilu tidak berlaku bagi Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Istilah “black campaign” atau “negative campaign” tidak ditemukan dalam UU Pemilu. Istilah aquo lebih merupakan terminologi politik. Sedangkan, dalam terminologi hukum, istilah demikian dikenal dengan “penghinaan”, termuat dalam ketentuan Pasal 280 ayat (1) huruf c UU Pemilu.
Ketentuan norma Pasal 280 ayat (1) huruf c UU Pemilu menegaskan “Pelaksana, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang: c. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta Pemilu yang lain. Inilah kiranya yang diasumsikan sebagai “black campaign/negative campaign”. Sayangnya, dalam penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf c UU Pemilu, tidak dijabarkan perdefinisi unsur “menghina” dimaksud.
Pada bagian penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf c UU Pemilu hanya disebutkan “jelas”. Dalam kondisi demikian, ketiadaan penjelasan “menghina” atas Pasal 280 ayat (1) huruf c UU Pemilu, apakah dapat ditafsir menjadi tidak dapat dipidana sepanjang materi kampanye yang menyerang calon/peserta pemilu bersifat faktual, ataupun sebaliknya? Dalam perspektif penalaran hukum sistematis, keduanya dapat dipidana.
Dengan model penalaran sistematis, maka penerapan suatu norma dapat ditafsir secara sistematis dengan menautkan ketentuan perundang-undangan lainnya. Delik penghinaan yang dituju Pasal 280 ayat (1) huruf c UU Pemilu tentu tidak dapat dipisahkan dari norma pokoknya yakni Pasal 310 KUHP sebagai “genus delict”.
Delik penghinaan sebagaimana Pasal 310 KUHP, substansinya sepanjang dilakukan dengan maksud menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal agar diketahui oleh umum, maka dapat dikualifikasi sebagai delik penghinaan.
Kata kunci dalam Pasal 310 KUHP yakni sepanjang hal yang disampaikan agar diketahui umum “dengan tujuan menyerang kehormatan”, meskipun hal tersebut faktual/benar adanya, hal tersebut dapat dipidana.
Adalah Hoge Raad (HR) 11 Desember 1899 yang menyatakan dalam pertimbangannya bahwa menuduh sesuatu hal yang benar adalah pencemaran, apabila pelaku buat demikian tidak demi kepentingan umum melainkan hasrat untuk menghina orang.
Namun, tidak melulu sesuatu yang bersifat “faktual” sepanjang menyerang kehormatan maka dapat dipidana. Terdapat pengecualian atas hal tersebut, yakni: pertama, sesuatu yang bersifat faktual-benar adanya menjadi tidak dapat dipidana sepanjang menyampaikan hal tersebut demi kepentingan umum, atau kedua, dengan tujuan untuk membela diri. Namun hal ini harus dibuktikan di ruang pengadilan.
Pengecualian keberlakukannya pasal 310 KUHP secara kontekstual. Jika dilakukan sebagai akibat dari kewajiban hukumnya untuk menyampaikan hal tersebut, dan subjek yang menyampaikan hal tersebut adalah subjek yang dikecualikan karena kewenangannya tersebut.
Jika menilik keberlakuan norma Pasal 280 ayat (1) huruf c UU Pemilu, setidaknya terdapat 2 (dua) problem hukum pada aspek keberlakuannya, yang notabene sekaligus menjadi pembeda antara delik penghinaan yang dimaksud sebagai tindak pidana pemilu dalam UU Pemilu dengan Pasal 310 KUHP.
Pertama, dalam pasal 280 ayat (1) huruf c UU Pemilu, subjek hukum yang dituju/dilarang melakukan delik penghinaan secara limitative berlaku terbatas kepada pelaksana kampanye, tim kampanye dan peserta kampanye (anggota masyarakat), sedangkan dalam Pasal 310 KUHP, subjek hukum yang dituju yakni setiap orang.
Yang dimaksud pelaksana kampanye adalah partai politik/gabungan partai politik atau orang-perorang dan organisasi penyelenggara yang ditunjuk oleh peserta pemilu Calon Presiden dan Wakil Presiden (vide: Pasal 269 ayat (1), UU Pemilu Jo Pasal 7 PKPU 23/2018), sedangkan peserta kampanye adalah anggota masyarakat atau warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pemilih (vide: Pasal 273 UU Pemilu Jo Pasal 6 ayat (3) PKPU 23/2018).
Bagaimana jika materi kampanye yang berisikan “penghinaan” dilakukan oleh Peserta Pemilu Calon Presiden dan/atau Wakil Presiden?
Secara hukum, ketentuan norma Pasal 280 ayat (1) huruf c UU Pemilu tidak dapat terterapkan kepadanya, karena ia bukanlah pelaksana kampanye dan bukan pula peserta sebagaimana dimaksud dalam norma Pasal 269 ayat (1) UU Pemilu.
Hal ini benderang sebagaimana teridentifikasi pada ketentuan Pasal 280 ayat (1) huruf c UU Pemilu yang tidak menyebutkan Calon Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai subjek hukum yang dituju (adressatnorm).
Kedua, penerapan pasal 280 ayat (1) huruf c UU Pemilu tanpa harus menunggu adanya laporan/keberatan dari pihak yang dihinakan/diserang kehormatannya, berbeda dengan delik penghinaan Pasal 310 KUHP hanya dapat terproses jika terdapat laporan/aduan dari pihak yang dihinakan/diserang kehormatannya (delik aduan).
Pemberlakuan Pasal 521 Jo Pasal 280 ayat (1) huruf c UU Pemilu secara kontekstual terterapkan selama masa kampanye dan muatan materi kampanye dilaksanakan pada saat melaksanakan kampanye. Larangan materi kampanye yang berisi “penghinaan” yang tidak menyebutkan keberlakuannya atau dapat terproses setelah adanya keberatan dari subjek yang terhina. Artinya delik penghinaan yang dituju dalam Pasal 521 Jo Pasal 280 ayat (1) huruf c UU Pemilu terkualifikasi menjadi delik umum (tindak pidana pemilu).
Ini berarti, Bawaslu/Gakkumdu tidak harus menunggu adanya aduan/laporan atas pelanggaran aquo. Bawaslu dituntut pro aktif melaporkan tim kampanye/peserta Pemilu/pasangan calon jika materi kampanyenya menghina-serang kehormatan calon. Tuntutan keaktifan Bawaslu untuk memproses “delik penghinaan” aquo adalah konsekuensi dimasukannya “delik penghinaan” menjadi salah satu model tindak pidana pemilu.
Pada konteks inilah menjadi problem hukum, berkait siapakah yang akan memberikan penilaian suatu materi kampanye dianggap menghina-menyerang kehormatan calon, jika calon presiden tidak mengadukannya sendiri kepada Bawaslu? Adakah kompotensi Bawaslu untuk menilai hal tersebut, mengingat kehormatan merupakan “ranah privat”.
Resiko memasukkan delik penghinaan menjadi salah satu varian dari tindak pidana pemilu, yakni Negara melalui perangkat Gakkumdu-nya harus siap dan sigap untuk menangani banyaknya dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu, baik black campaign ataupun negative campaign, meskipun jika merujuk pada ketentuan norma pasal 310 dan pasal 311 KUHP, maka penerapannya dapat diimplementasikan sepanjang pihak yang terserang kehormatannya melaporkan tindakan “penghinaan” tersebut, sebagaimana ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP masuk kedalam rumpun “delik aduan” (klah delick).(***)
Penulis: Alumni FH UHO/ASN Pada Pemda Kabupaten Muna