Oleh: La Ode Arpai
Debat kedua capres tanggal 17 Februari 2019 kemarin, sempat disinggung oleh presiden petahana Jokowi terkait keberhasilan dana desa (DD) dalam membangun desa, khususnya dibidang infrastruktur jalan desa, bendungan, irigasi dan sebagainya.
Hal ini kemudian sepadan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan bahwa hadirnya DD dapat menurunkan ketimpangan di pedesaan jika dilihat dari rasio ketimpangan yang ada di desa yang awalnya 0,34 persen pada tahun 2014 menjadi 0,32 persen di tahun 2017 dan dapat menurunkan penduduk miskin di perdesaan dari 17,7 juta tahun 2014 menjadi 17,1 juta tahun 2017, serta adanya penurunan persentase penduduk miskin perdesaan dari 14,09% pada tahun 2015 menjadi 13,93% di tahun 2017.
Data ini memang benar adanya, namun ada hal lain yang menjadi belenggu terkait pengelolaan DD di masyarakat. Dana desa belum menyentuh ke titik akar untuk menjawab permasalahan sosial dalam masyarakat.
Banyak studi-studi menjelaskan hadirnya dana desa tidak mampu memberdayakan masyarakat petani di pedesaan sebagaimana yang diungkapkan oleh Presiden Jokowi tetapi dana desa hanya dapat memperdayakan elit pemerintah desa (Habibi dalam media Tirto, 2018). Sehingga bagi masyarakat petani yang tidak memiliki lahan pertanian secara otomatis akan tetap menggarap lahan orang lain di pedesaan, dan orang yang memiliki lahan pertanian di pedesaan rata-rata bekerja sebagai aparat pemerintahan desa.
BPS menyebutkan setiap tahun profesi masyarakat menjadi petani sangat menurun hal ini disebabkan pekerjaan petani di pedesaan tidak memberikan harapan bagi masa depan anak-anak petani dan masyarakat yang tinggal di pedesaan cenderung lari dan bekerja disektor industri perkotaan.
Disamping itu, elit desa sangat menguasai akumulasi ekonomi, sosial, politik untuk mendominasi ekonomi pedesaan (baik itu tanah maupun bisnis diluar pertanian) dan menguasai jabatan politik dipedesaan, (Habibi, 2018), atau penggunaan aset desa semua dikuasai oleh aparat desa.
Jadi, tak heran aparat desa akan semakin kaya dengan hadirnya dana desa.
Dari tahun ke tahun jumlah dana desa semakin meningkat, tercatat tahun 2015 alokasi dana desa sebesar Rp20 triliun dan meningkat menjadi Rp60 triliun di tahun 2019.
Alokasi anggaran yang begitu besar tentunya tidak mudah untuk dikelola bagi aparat pemerintahan desa yang secara kapasitas kepala desa hanya memiliki pendidikan ditingkat menengah keatas. Sehingga ini berpotensi buruk untuk melakukan penyelewengan penguasaan pengelolaan dana desa. Dan terbukti sejak hadirnya DD ada beberapa elit desa yang harus terkurap dan berurusan dengan kasus hukum.
Sebanyak 141 kepala desa tersangka kasus korupsi DD yang merugikan negara sekitar Rp.40,6 miliyar. Kerugian ini belum signifikan dibandingkan anggaran yang diberikan oleh pemerintah. Tetapi secara kelembagaan korupsi dana desa akan sangat merugikan bagi masyarakat desa.
Penguatan Kelembagaan Desa
Desa sebagai entitas baru harus memiliki peran kelembagaan yang kuat dalam merespon penyelewengan peranan elit desa. Karena kelembagaan ini akan sangat memperkuat hubungan antara pemerintah dan kelompok warga negara yang terlibat dengan mengambil berbagai peranan untuk melihat ekonomi masyarakat yang ada (Evans, 1997).
Di samping itu, kuatnya kelembagaan desa akan memberikan dampak bagi tumbuhnya ekonomi masyarakat di pedasaan sehingga ini akan meretas DD tidak hanya akan dinikmati oleh elit desa tetapi akan mampu memberdayakan masyarakat desa secara keseluruhan baik itu petani, nelayan maupun pedagang kecil lainnya. Tetapi kelemahan utamanya desa adalah mengabaikan peranan kelembagaan desa sehingga masyarakat sipil (civil society) tidak memiliki peran utama untuk mengontrol.
Disisi lain, ketidakmampuan masyarakat melakukan pengawasan sehingga apa pun yang diberikan kepala desa masyarakat tetap akan menerima walaupun itu akan berdampak buruk bagi mereka. Kondisi ini tentunya, membutuhkan agen of change sebagai gerakan pembaharu yang benar-benar memiliki kepedulian untuk membangun desa dengan mengaktifkan sektor-sektor kelembagaan di desa, baik LSM, lembaga sosial maupun kelembagaan yang lain agar pengelolaan DD benar-benar efektif dan dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat.
Selain itu, perlunya regulasi untuk peningkatan kompotensi aparat desa. Karena hampir 80 persen aparat desa hanya diduduki oleh tamatan pendidikan menengah keatas, sehingga organisasi desa tidak memiliki kekuatan secara kelembagaan.
Kekuatan kelembagaan desa harus mulai dari aparat desa agar pengelolaan potensi desa dapat terwujudkan dengan hadirnya anggaran DD. Peningkatan potensi aparat desa sangat penting dilakukan karena akan menjadi penguatan pelayanan publik di desa dan akan mempengaruhi praktek pembangunan serta memperkaya portofolio organisasi kesejahteraan sosial masyarakat.
Hal ini akan memungkinkan pengelolaan DD akan memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat tanpa menghilangkan identitas masyarakat sebagai satu kesatuan yang kuat yang didasari dengan nilai-nilai kegotong royongan.
Kekahwatiran saya, jika ini tidak dilakukan DD hanya akan menjadi sebuah rentetan permasalahan sosial atau sebagai konflik identitas yang laten dan masyarakat akan kehilangan jati diri sebagai satu kesatuan budaya yang dibangun dengan nilai-nilai solidaritas yang kuat.(***)
Penulis: Aktivis Pemerhati Sosial (Wakil Sekjen PB HMI 2018-2020)