Oleh: Muhammad Subhan Karantu
Dinamisnya pengaturan hukum tentang pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah (kada) belakangan ini menunjukkan pesatnya pembangunan hukum dan politik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Pada masa pemerintahan orde baru, keinginan pemerintah untuk mewujudkan otonomi daerah tampak sangat serius terutama dengan dilakukannya berbagai tindakan hukum. Diantaranya diamandemennya UUD 1945, ditetapkannya TAP MPRNo.IV/MPR/1999 dan TAPNo.XV/MPR/1998, Diundangkannya UU No.22/1999 dan UU No.25/1999. Hal ini sekaligus mencabut berlakunya UU No.5/1974 dan UU No.32/1956.
Dengan otonomi daerah diharapkan akan kondusif bagi tercapainya integrasi nasional sebagai tanggapan terhadap gerakan otonomi dalam bentuk pergolakan di daerah. UU No.22/1999 diharapkan memberikan otonomi yang besar kepada masyarakat dengan penyerahan kewenangan bidang-bidang pemerintahan dengan cara open arrangement atau menempatkan residual power pada daerah otonom.
Namun dalam kenyataannya, keberadaan UU No.5/1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, dalam pemerintahan dimasa lalu tidak mencerminkan adanya otonomi riil, karena wadah DPRD tidak merupakan lembaga legislatif daerah yang dapat menampung aspirasi masyarakat, akan tetapi hanya sekedar perangkat pemda.
Demikian juga dengan UU No.32 Tahun 1956 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, tidak pernah diganti, dengan alasan dapat menjadi sumber pemicu dis-integrasi bangsa sehingga hal ini dapat meredam gejolak politik.
Pada tahun 2011, terbit UU baru mengenai penyelenggara pemilihan umum (Pemilu) yaitu UU Nomor 15 Tahun 2011. Didalam UU ini istilah yang digunakan adalah pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Pada tahun 2014, DPR-RI kembali mengangkat isu krusial terkait pemilihan kepala daerah secara langsung. Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan bahwa pemilihan kepala daerah dikembalikan secara tidak langsung atau kembali dipilih oleh DPRD.
Putusan pemilihan kepala daerah tidak langsung didukung oleh 226 anggota DPR-RI yang terdiri Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berjumlah 55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) berjumlah 44 orang dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang.
Keputusan ini telah menyebabkan beberapa pihak kecewa. Keputusan ini dinilai sebagai langkah mundur di bidang “pembangunan” demokrasi, sehingga masih dicarikan cara untuk menggagalkan keputusan itu melalui uji materi ke MK. Bagi sebagian pihak yang lain, pemilukada tidak langsung atau langsung dinilai sama saja. Tetapi satu hal prinsip yang harus digarisbawahi walaupun dalam pelaksanaan pemilukada tidak langsung nanti ternyata menyenangkan rakyat.
Pertama, pemilukada tidak langsung menyebabkan hak pilih rakyat hilang. Kedua, pemilukada tidak langsung menyebabkan anggota DPRD mendapat dua hak sekaligus, yakni hak pilih dan hak legislasi. Padahal jika pemilukada secara langsung tidak menyebabkan hak pilih anggota DPRD (sebagai warga negara) hak pilihnya tetap ada.
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu memuat terobosan penguatan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam menegakkan hukum pemilu. Selain soal tindak pidana pemilu, kewenangan kuat yang paling mencolok adalah menindak dan memutus pelanggaran administrasi. Bawaslu hinggatingkat kabupaten/kota berwenang mengeluarkan putusan terhadap pelanggaran administrasi. Di UU sebelumnya, kesimpulan bahwa sebuah tindakan dianggap sebagai pelanggaran dikeluarkan dalam produk rekomendasi.
Kini, kesimpulan tersebut dikeluarkan dalam bentuk putusan. Bawaslu kabupaten kota bisa mengeluarkan putusan yang bersifat pertama dan terakhir. Bawaslu punya wewenang mendiskualifikasi peserta pemilu yang melakukan pelanggaran politik uang. Pasal 286 ayat (1) UU Pemilu melarang peserta pemilu, pelaksana kampanye, dan/atau tim kampanye menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilu dan/atau pemilih.
Pasangan calon presiden dan calon legislator yang terbukti melakukan pelanggaran tersebut dapat dikenai sanksi administratif pembatalan sebagai calon. Bawaslu berwenang mengumpulkan barang bukti, membuktikan kesalahan pelaku politik uang dan berwenang memutuskan kesalahan itu terbukti atau tidak.
Banyak kada terpilih yang berperan sekadar pelaksana APBD seraya mengintip peluang untuk melakukan korupsi. Tidak mengherankan jika mereka yang terlibat korupsi dan masuk penjara. Selama periode 2003-2016 tercatat, 18 gubernur dan 343 bupati/wali kota (61% dari 514 kepala daerah) terjaring kasus korupsi. Mereka yang terpilih dengan biaya besar APBN dan APBD seharusnya hadir sebagai pemberi solusi atas berbagai permasalahan daerah.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya, sebagian besar di antara mereka malah menjadi malapetaka buat daerah dan warganya. Pelaksanaan otonomi daerah tentunya memerlukan dukungan dana yang sangat besar melalui perimbangan keuangan yang lebih adil antara daerah yang satu dengan lainnya.
Dengan UU Nomor 25/1999 diharapkan desentralisasi yang pengejawantahannya otonomi daerah tidak akan menimbulkan keresahan daerah. Disparitas yang terjadi antar daerah berkaitan dengan disparitas pendapatan asli daerah dan bagi hasil akan ditiadakan atau setidak-tidaknya diperkecil dengan dana alokasi, baik yang berbentuk umum maupun khusus.
Secara normatif, UU Nomor 25/1999 relatif menjanjikan tercapainya pengembangan otonomi dengan tetap berpegang pada sendi-sendi utama dalam desentralisasi keuangan dalam negara kesatuan. Dengan diundangkan UU Nomor 22/1999 tentang otonomi daerah, yang lebih menitik beratkan pada pemberian otonomi yang lebih luas kepada derah, maka lembaga DPRD harus independen dari pemerintah Daerah, sehingga dapat melaksanakan fungsinya dengan sebaik baiknya.
Keberadaan UU Nomor 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, dalam pemerintahan dimasa lalu, tidak mencerminkan adanya otonomi riil, karena wadah DPRD tidak merupakan lembaga legislatif daerah yang dapat menampung aspirasi masyarakat, akan tetapi hanya sekedar perangkat pemda. Demikian juga dengan UU Nomor 32 Tahun 1956 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, tidak pernah diganti, dengan lasan dapat menjadi sumber pemicu dis-integrasi bangsa sehingga hal ini dapat meredam gejolak politik.
Pemerintah daerah selama ini, selalu tergantung pada pemerintah pusat, kebijakan sentralistis, karena kekhawatiran akan mengurangi wibawa pemerintah pusat. Bantuan pemerintah pusat kepada daerah selama ini dalam bentuk Inpres, pada kenyataannya telah membawa dampak kurang menguntungkan, baik dari dalam menentukan kebijakan daerah sesuai dengan aspirasi rakyat, maupun dalam membentuk kemandirian daerah untuk menggali potensi daerah.
Pemerintahan yang sentralistik tersebut, dirasakan sangat mempengaruhi secara kontra produktif kinerja daerah, dan bahkan dapat mematikan prakarsa dan tanggungjawab daerah, disamping daerah tentunya lebih mengetahui aspirasi dan inspirasi daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (PEMDA) maupun UU Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, menjadi sangat penting dicermati. Negara Indonesia sebagai salah satu negara dunia ketiga yang masih bergelut dengan suasana reformasi dan krisis moneter yang mengakibatkan keterpurukan dalam kehidupan ekonomi, politik dan sosial, berkeinginan membangun kembali sistem politik yang demokratis, restrukturisasi perekonomian nasional dengan bantuan donor maupun lembaga keuangan internasional.
Desentralisasi merupakan bentuk hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang pada umumnya memiliki dua bentuk yaitu debvolusi dan dekonsentrasi. Dalam ideografis Indonesia kita pernah mengenal asas tugas pembantuan atau medebewind sebagai bagian dari desentralisasi. Berdasarkan ranah politik pemerimtahan maka desentralisasi yang berkaitan dengan otonomi penyelengaraan pemerintahan di daerah adalah devolusi.
Sementara dekonsentrasi masih merupakan kepanjangan tangan kebijakan pusat di daerah. Berdasarkan asas desentralisasi hubungan rakyat dan pemerintahan daerah berada dalam koridor demokrasi daerah. Pelibatan pemerintahan daerah dalam mengurus kewenangannya merupakan keleluasaan yang bertujuan untuk pengembangkan demokrasi daerah dan pembangunan daerah yang pada gilirannya mengarah pada kesejahteraan rakyat di wilayah kerja daerahnya.
Elemen-elemen negara (eksekutif, legislatif, yudikatif, dan militer), sektor swasta (industri, pengusaha, perbankan dan koperasi) serta masyarakat sipil atau Civil Society (masyarakat propessional, media massa, LSM, Perguruan Tinggi) berfungsi optimal, efektif dan proporsional serta mampu saling mengendalikan, mengimbangi dan melakukan pengawasan satu sama lainnya (Checks and Balances).
Berfungsinya lembaga pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah (supra struktur dan infra struktur) sesuai dengan aturan hukum, berarti kekuasaan pemerintah terbatas, pemerintah harus menyelenggarakan pemerintahan secara transparan, bertanggungjawab (accountability) terhadap kebijaksanaan yang dilakukan dan penggunaan anggaran yang dikeluarkan, serta tunduk pada pengawasan yang dilakukan oleh DPR.
Dengan diundangkan UU Nomor 22/1999 yang lebih menitik beratkan pada pemberian otonomi yang lebih luas kepada derah, maka lembaga DPRD harus independen dari pemerintah Daerah, sehingga dapat melaksanakan fungsinya dengan sebaik baiknya.
Pembentukan UU Nomor 22/1999 tentang Pemda adalah dalam rangka menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri serta tantangan persaingan global, sehingga dipandang perlu menyelenggarakan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab pada daerah secara proposional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, potensi dan keragaman daerah.
Sejak bulan Januari 2001, kepada daerah diberikan suatu kewenangan yang luas (desentralisasi) untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat daerahnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Konsekuensi dari pemberian wewenang yang luas tersebut tidak akan berarti apabila tidak dibarengai dengan pemberian wewenang pengelolaan keuangan yang memadai untuk dapat berjalannya pemerintahan daerah sesuai dengan potensi dan sumber daya daerah. UU. Nomor 25/1999 secara eksplisit mengatur kenaikan bagian daerah dalam penerimaan daerah, utamanya dari penerimaan Pajak Bumi Bangunan (UU No. 12/1985). Bea peroleh Hak Atas Tanah dan Bangunan (UU No. 21/1997). Penerimaan daerah dari Sumber daya alam (tambang), minyak, eksploitasi hutan, perikanan (laut) dll.
Di lain pihak dengan di undangkannya UU ini, maka pemerintah telah merespon aspirasi dari masyarakat di daerah. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan dan pengawasan keuangan negara, DPR dan DPRD di tingkat Pusat dan daerah dapat lebih berperan melakukan evaluasi atas APBD. Penyelenggaraan otonomi daerah memerlukan dukungan perimbangan keuangan yang lebih adil.
UU. Nomor 25/1999 menjanjikan tercapainya penyelenggaraan dan pengembangan otonomi dengan tetap berpegang pada sendi-sendi utama desentralisasi keuangan dalam negara kesatuan, yang dengan demikian diharapkan pemerintah daerah akan dapat berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik demi tercapainya masyarakat sejahtera, adil dan makmur melalui sistem yang terpadu (integrated system).(***)
Penulis: Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Muhamadiyah Malang