Implikasi Ijazah Palsu Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah

Pena Opini3,352 views

Oleh: La Ode Muhaimin

Desas-desus ijazah palsu pernah mendera Ridwan Bae pada awal masa pencalonannya hingga mengakhir masa jabatanya yang kedua sebagai Bupati Muna.

Bahkan menurutnya, ia adalah satu-satunya Bupati di Indonesia yang diakui ijazahnya asli oleh Mahkamah Agung. Kini, muncul kembali masalah serupa. Kali ini menerpa Bupati Buton Tengah (selanjutnya disingkat Buteng) Samahuddin dan ijazah Plt Bupati Buton Selatan (selanjutnya disingkat Busel) La Ode Arusani.

Bagaimana sebenarnya ijazah yang dibilang palsu itu? Apakah ijazah yang disebut palsu bisa berujung pada pemakzulan? Lantas bagaimana implikasi admnistratif, hukum dan politik dari ijazah palsu kepala daerah/wakil kepala daerah (selanjutnya disingkat kada/wakada)?

Implikasi Administratif

Ijazah seseorang yang diduga palsu seringkali terendus menjelang hajatan Pilkada atau Pileg. Entah ijazah tersebut setingkat sekolah SD/SMP/SMU atau yang sederajat atau ijazah sarjana (S1/S2/S3). Ijazah merupakan salah satu syarat yang diminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat/provinsi/kabupaten bilamana seseorang mendaftar sebagai calon kada/wakada atau calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, termmasuk calon Presiden/Wakil Presiden.

Syarat absolut kualifikasi pendidikan bagi calon kada/wakada sesuai Pasal 7 ayat (2) huruf c UU 10/2016 berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat.

Sedangkan tingkat pendidikan S1/S2/S3 merupakan syarat fakultatif yang bersifat tambahan belaka. Calon yang bergelar sarjana tentu menyertakan ijazah sarjananya.

Karena bagaimanapun, menyandang gelar sarjana, entah itu Strata Satu ataupun Strata Dua atau Strata Tiga punya nilai prestise dan kebanggaan tersendiri.

Masalah bisa muncul dari syarat absolut (ijazah SD/SMP/SMU atau sederajat). Salah satu saja yang dinyatakan palsu oleh KPU (berdasar pemeriksaan dan klarifikasi pada sekolah yang mengeluarkan ijazah) maka implikasinya KPU menggugurkan calon. Tidak mesti ketiga-tiganya (kumulasi) palsu, tetapi cukup salah satu di antara tiga ijazah tersebut, KPU mendiskualifikasi calon kada/wakada.

Jika yang ditemukan palsu adalah ijazah sarjana, KPU tidak wajib menggugurkan calon. Sebab batas atas kualifikasi Pendidikan yang dipsersyaratkan adalah SMU atau sederajat. Calon yang ijazah sarjananya diduga palsu boleh menarik kembali kopian ijazahnya dalam dokumen persyaratan bakal calon. Dengan catatan masih tersedia waktu untuk dilakukan perbaikan. Konsekuensinya, gelar sarjana tidak ditulis dalam alat peraga kamapnye apapun termasuk kelengkapan admninsitartif Pilkada lainnya.

Apabila ijazah sarjana tidak ditarik dari dokumen pencalonan, dan KPU menyatakan palsu maka konsekuensinya, sang calon tidak memenuhi syarat. Sekalipun UU 10/2016 hanya menentukan batas sampai pada ijazah SMU/sederajat namun karena ijazah sarjana disertakan dalam berkas pencalonan, berkategori satu dokumen persyaratan. KPU wajib menjatuhkan sanksi administratif kepada calon yang menggunakan ijazah sarjana sebagai salah satu syarat pencalonan kada/wakada.

Implikasi Hukum

Ijazah kada/wakada yang diduga palsu dapat terjadi pada: (i) ijazah SD; (ii) ijazah (SMP; (iii) ijazah (SMU/sederajat); dan (iv) ijazah sarjana. Apabila salah satu dari ijazah (SD/SMP/SMU atau yang sederjat) atau salah dua atau salah tiganya diduga palsu, maka tahap pertama yang harus dilakukan adalah melaporkan kepada pihak kepolisian. Kepolisian merupakan satu-satunya lembaga penegak hukum yang berwenang menangani tindak pidana umum.

Kada/wakada yang ditetapkan sebagai Tersangka pemalsuan ijazah (Pasal 263 KUHP) dapat dilakukan tindakan penahanan sesuai Pasal 90 ayat (1) dan (2) UU 23/2014. Meski berstatus Tersangka dan dilakukan penahanan oleh kepolisian, kada/wakada belum diberhentikan sementara dari jabatannya.

Pemberhentian sementara dilakukan apabila sudah berstatus Terdakwah. Sesuai Pasal 83 UU No. 23/2014 dilakukan pemberhentian sementara. Mekanisme pencopotan kada/wakada yang terbukti menggunakan ijazah palsu dimulai dari pemberhentian sementara. Setelah vonis atas kasusnya memiliki kekuatan hukum mengikat dan final, diberhentikan secara tetap. Presiden untuk Gubernur/Wakil Gubernur atau Mendagri untuk Bupati/Wakil Bupati/Walikota/Wakil Walikota tanpa melalui usulan DPRD. Inilah yang disebut dengan desain pemakzulan dalam kanal kewenangan Presiden/Mendagri (Pemerintah Pusat).

Dalam hal pelaksanaan tugas dan kewajiban bagi kada/wakada yang ditetapkan sebagai terdakwah, ditunjuk pelaksana tugas (Plt). Jika terdakwahnya kada, maka wakada melaksanakan tugas kada sehari-hari sampai adanya putusan pengadilan yang inkracht van gewijsde (berkekuatan hukum tetap).

Sebaliknya, wakadanya berstatus Terdakwah, tugas wakada dijalankan oleh kada juga sampai keluarnya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Kabar panas yang berseliweran di media sosial facebook mengabarkan status yang disandang Plt Bupati Busel, La Ode Arusani sebagai tersangka. Jika (benar) statusnya tersangka, mestinya diikuti dengan tindakan penahanan oleh kepolisian.

Selanjutnya BAP (Berita Acara Pemeriksaan) diserahkan ke Kejaksaan lalu dinyatakan P21. Kemudian perkara diregister di pengadilan. Atas dasar register perkara di pengadilan, La Ode Arusani diusulkan pemberhentian sementara dari jabatannya sebagai Plt Bupati Busel oleh gubernur Ali Mazi.

Bila pengadilan memutuskan La Ode Arusani terbukti bersalah menggunakan ijazah palsu pada saat pencalonannya, dan putusannya sudah berkekuaatan hukum tetap, maka ia diberhentikan secara tetap dari jabatannya.

Tetapi tidak adanya tindakan penahanan terhadap La Ode Arusani, dapat dipastikan statusnya belum ditetapkan sebagai tersangka. Sebab, Penyidik kepolisian dapat menahan wakil bupati Busel tersebut berdasar Pasal 90 ayat (1) UU 23/2014 jika statusnya sudah ditingkatkan pada tahap penyidikan alias statusnya sudah tersangka. Andaipun Ali Mazi tidak mengusulkan izin penahanan kepada Mendagri, berdasar Pasal 90 ayat (2) UU 23/2014, dalam jangka waktu 30 hari tidak dikeluarkan surat izin penahanan, maka penyidik bisa melakukan penahanan terhadap La Ode Arusani.

Demikian halnya dengan ijazah sarjana Bupati Buton Tengah Samahuddin diduga palsu. Hanya saja Samahuddin masih sebatas kabar burung. Belum ada pihak yang melaporkan ke kepolisian. Namun, bukan berarti tertutup peluang memecat Samahuddin dari jabatannya. Laporan dari masyakat bisa disampaikan kepada kepolisian untuk dietatapkan status hukumnya.

Implikasi Politik

Pemakzulan kada/wakada yang diduga menggunakan ijazah palsu dalam Pasal 82 UU 23/2014 didesain tanpa pembuktian terlebih dahulu di pengadilan. DPRD cukup membentuk Panitia Khusus (Pansus) angket untuk menyelidiki keaslian ijzah kada/wakada. Inilah varian pemakzulan dalam kanal kewenangan DPRD.

Pansus angket DPRD selanjutnya melakukan klarifikasi ke sekolah/perguruan tinggi (PT) tempat ijazah kada/wakada diterbitkan. Apabila diperoleh data bahwa ijazah kada/wakada dikeluarkan oleh sekolah/PT ternyata prosedural dan sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, maka Pansus Angket menghentikan proses penyelidikan dan menyatakan ijazah kada/wakada sah dan asli.

Sebaliknya, jika Pansus angket DPRD menemukan data bahwa sekolah tidak ,mengeluarkan ijzah kada/wakada, atau prosedurnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka jalan legal pemakzulan terbuka lebar. Proses pembuktian ijazah kada/wakada dilakukan oleh sekolah yang bersangkutan. Mekanisme Pembuktiannya tidak perlu melalui pengadilan. Sebab prosedur pemakzulan dilakukan dalam cakupan kewenangan DPRD.

Sekolah yang akan membuktikan di hadapan Pansus angket tentang keaslian atau kepalsuan ijazah dimaksud.

Pansus selanjutnya meminta sidang paripurna untuk memutuskan pemakzulan kada/wakada. Manakala sidang paripurna menyetujui pemakzuklan kada/wakada, DPRD mengusulkan pemberhentian kada/wakada melalui gubernur untuk kada/wakada kabupaten/kota dan kepada mendagri untuk kada/wakada provinsi.

Bila DPRD Busel berkeinginan mengakhiri simpang siur keaslian ijazah Plt Busel yang diduga palsu harus dibentuk Pansus Angket sesuai Pasal 82 UU 23/2014.

Sekalipun status Polda Sultra telah mengeluarkan SP3 tidak berarti DPRD Busel kehilangan kesempatan. Prosedur di DPRD merupakan prosedur politik yang bertujuan membuktikan pelanggarannya, bukan membuktikan kesalahannya.

Apakah Plt Bupati Busel melanggar Pasal 82 UU 23/2014 atau tidak.
Proses yang berjalan di DPRD berbeda dengan proses yang dilakukan oleh kepolisian.

Kepolisian berdasar Pasal 263 KUHP dan prosedurnya berpedoman pada KUHAP. Sedangkan DPRD membuktikan pelanggaran berlandas pada Pasal 82 UU 23/2014. Tata cara penyedikannya berpedoaman pada tata tertib DPRD.

Selain berbeda prosedur penanganannya, juga berbeda jenis sanksinya. Sanksi yang akan dijatuhkan oleh DPRD adalah sanksi politik yakni pemberhentian dari jabatannya. Sedangkan sanksi yang akan dijatuhkan oleh pengadilan ialah sanksi hukum, yakni penjara.

Sama halnya dengan DPRD Buteng. Inisiasi membentuk Pansus angket harus dimulai agar isu yang sudah berhembus cukup lama bisa diakhiri. Namun, yang disoal dari ijazah Samahuddin adalah ijazah sarjananya. Sementara syarat yang diperlukan oleh UU 10/2016 paling tinggi SMU/sederajat.

Apakah ijazah sarjana yang diduga palsu dapat dijadikan alasan bagi DPRD Buteng memakzulkan Samahuddin?

Apabila DPRD Buteng mendalilkan pemakzulan terhadap Bupati Samahuddin karena memiliki ijazah sarjana palsu, maka alasan pemakzulan harus didasari dengan putusan pengadilan. Tanpa ada putusan pengadilan, DPRD Buteng tidak bisa memulai proses pemakzulan. Andai DPRD Buteng bersikeras menelorkan keputusan pemakzulan, keputusan DPRD tersebut cacat hukum Karena ijazah sarjana tidak digunakan pada saat pencalonan sebagai kada.

DPRD Buteng tidak serta merta memutuskan pemakzulan terhadap Samahuddin dengan alasan melanggar ketentuan Pasal 82 UU 23/2014. Keputusan DPRD akan bertentangan dengan Pasal 7 UU 10/2016.

Ketentuan pasal ini telah menyatakan bahwa ijazah diserahkan sebagai syarat pencalonan paling minim adalah ijazah SMU/sederajat. Karena itu, jika salah satu dari ijazah (SD/SMP/SMU atau sederajat) dinyatakan palsu, maka kada/wakada tidak lagi memenuhi syarat. Konsekuensinya, kada/wakada akan diberhentikan dari jabatannya.

Lain konteksnya kalau ijazah sarjana dipakai Samahuddin pada saat mendaftar sebagai calon di KPU Buteng. Klarifikasi DPRD ke PT tempat Samahuddin menempuh kuliahnya ternyata benar, maka DPRD dapat memakzulkan Samahuddin dengan dasar Pasal 82 UU 23/2014.

Ada perbedaan prosedur pemakzulan antara La Ode Arusani dan Samahuddin. Ijazah Plt. Bupati Busel yang diduga palsu bukan ijazah sarjana. Dengan begitu, mekanisme memakzulkannya dapat ditempuh dengan du acara, yakni: (i) pembuktian melalui pengadilan. Artinya, prosedur yang dilalui adalah prosedur yuridis. Dasar pemakzulannya adalah putusan pengadilan; dan (ii) proses pemakzulan melalui jalur politik di DPRD. DPRD Busel berpijak pada Pasal 82 UU 23/2014.

Sedangkan proses pemakzulan terhadap Samahuddin hanya bisa dilakukan melalui proses hukum. Kalau ijazah yang diduga palsu adalah ijazah sarjana dan tidak dipakai mendaftar sebagai calon kada. Karena itu, DPRD Buteng tidak dapat menggunakan kewenangannya berdasar Pasal 82 UU 23/2014.

Berbeda halnya jika Samahuddin ternyata menggunakan ijazah sarjananya sebagai syarat calon dalam PIlkada serentak 2017, maka Samahuddin bisa di impeach oleh DPRD Buteng.

Jalur paling cepat memakzulkan kada/wakada yang diduga menggunakan ijazah palsu pada saat pencalonannya adalah jalur politik. Mekanisme politik ini tidak memakan waktu lama dan cenderung mudah namun punya kendala yang tak gampang pula.***

Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan Baubau)