ISTEK: Langkah Berkemajuan Perempuan Sultra

Oleh: Muhammad Alifuddin

ISTEK merupakan akronim dari Istitut Sains Teknologi dan Ilmu Kesehatan, sebuah perguruan tinggi baru di ranah Kota Kendari. Sekilas tidak ada yang istimewa bagi kelahiran sebuah perguruan tinggi, karena dalam faktanya di wilayah ini terdapat puluhan perguruan tinggi. Lalu apa yang istimewa dari kehadiran ISTEK? Yang unik dari ISTEK karena PT ini digawangi oleh Aisyiyah sebuah perkumpulan ibu-ibu yang merupakan bagian integral dari Muhammadiyah. Dengan kata lain, PT ini didesain oleh komunitas perempuan atau kelompok emak-emak bersahaja, sederhana dan kesehariannya tetap menjalankan fungisnya sebagai ibu rumah tangga.

Kehadiran ISTEK Kendari dapat dikatakan langkah maju perempuan Sultra. Betapa tidak, di Tenggara pulau Sulawesi ini, mewujud kelompok ibu yang mewakafkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk beradu dengan roda zaman guna memajukan peradaban dengan membangun sebuah institusi pendidikan tinggi.

ISTEK secara prinsip merupakan sejarah baru bagi gerakan perempuan di Sultra, dan kehadirannya membuktikan bahwa di wilayah ini, komunitas perempuan bukanlah kelompok yang beku dan hampa kreatifitas. Perempuan di wilayah ini sebagaimana di belahan dunia lainnya, juga merupakan entitas yang aktif, kreatif,  produktif dan tanpa henti mengembangkan pikiran untuk  memajukan peradaban manusia melalui pendidikan.

Mendirikan perguruan tinggi sangat mungkin bukan hal yang terlalu istimewa, buktinya di negeri ini tercatat ribuan perguruan tinggi. Meski bukan sesuatu yang sulit, namun  mendirikan PT tidaklah semudah mengatakannya. Mereka yang berniat membangun PT setidaknya harus memiliki infrastruktur berupa ruang kelas, kantor, ruang perpustakaan, laboratorium, dan niscaya memiliki lahan bersertipikat minimal 8.000 meter persegi untuk sekelas institut. Belum lagi harus memiliki minimal 5 (lima) orang dosen untuk satu prodi dengan syarat memiliki ijazah paling rendah S.2 dengan kualifikasi keilmuan linear serta belum tercatat sebagai dosen ber NIDN.

Selain dua syarat tersebut sebuah lembaga yang ingin mendirikan PT niscaya memiliki bank garansi untuk setiap prodi minimal sebesar 3,5 miliar. Bayangkan jika sebuah institut minimal memiliki 3 (tiga) prodi, itu berarti mereka setidaknya memiliki modal sebeasar 11,5 miliar. Banyaknya syarat dan rukun yang harus ditunaikan oleh mereka yang berniat membangun PT, menjadikan sejumlah lembaga yang berniat membangun PT kandas di tengah jalan.

Berkaca pada sejumlah syarat dan rukun sebagaimana disebutkan, tentu saja kehadiran ISTEK adalah sesuatu yang istimewa. Penulis menyatakannya demikian, karena emak-emak yang menjadi main actor pendirian ISTEK tidak datang dari kelompok borjuis atau pemilik modal. Mereka umumnya ibu rumah tangga dari kelompok ekonomi menengah ke bawah dengan beragam profesi. Di antara mereka ada yang berprofesi sebagai guru, dosen, ASN, pedagang bakso, kulak makanan dan sederet profesi lainnya. Sepanjang pengetahuan penulis emak-emak penggagas ISTEK bukankanlah perempuan yang tecatat sebagai aktivis yang menguasai sederet teori tentang kesetaraan, juga di antara mereka tidak satupun  pernah tercatat sebagai perempuan pelopor di wilayah ini. Jika dalam faktanya kelompok emak-emak ini dapat menjadi penyebab lahirnya sebuah perguruan tinggi, dipastikan karena mereka memang memiliki etos sosial yang tingga serta niat tulus untuk membangun negeri.

ISTEK merupakan fakta dari langkah berkemajuan perempuan Sultra atau bahkan untuk semua organ perempuan di wilayah Indonesia Timur. Penulis mencoba googling, untuk mencari tahu, adakah organ perempuan di Timur Indonesia yang “senekat” Aisyiyah Sultra mendirikan perguruan tinggi? Jawabnya nihil.

Karena itulah, sangat boleh jadi Aisyiyah Sultra merupakan pelopor keadaban baru di ranah pendidikan tinggi untuk konteks Indonesia Timur. Saya katakan demikian, karena untuk konteks Indonesia sesungguhnya telah ada tiga universitas yang digawangi kehadirannya oleh kelompok emak-emak, yaitu Universitas Aisyiyah Yogyakarta, Universitas Aisyiyah Surakarta dan Universitas Aisyiyah Bandung. Konon,  Universitas Aisyiyah Yogyakarta adalah universitas pertama di dunia yang dibangun oleh komunitas perempuan.

Kahadiran ISTEK Aisyiyah mengingatkan saya atas pandangan James L. Peacock seorang antropolog berkebangsaan Amerika. Sekitar lebih dari 50 (leima puluh) tahun lalu Peacock berhipotesis, bahwa Aisyiyah merupakan organ perempuan yang paling dinamis di Asia Tenggara, bahkan untuk seluruh organ perempuan di kolong jagad ini.

Aisyiyah memang memiliki sejarah panjang di negeri ini. Aisyiyah merupakan salah satu pelopor organ perempuan di Nusantara. Aisyiyah bersama; Wanita Taman Siswa, Wanita Utomo, Jong Islemiten Bond, Jong Java, Wanita Katholik dan Putri Indonesia adalah pencetus kongres perempuan pertama di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928.

Sebagai organ gerakan perempuan, Aisyiyah memang berbeda dengan kebanyakan organ perempuan. Aisyiyah lebih mengutamakan kerja nyata ketimbang sekedar membangun image berorientasi popularitas. Bagi Aisyiyah, kata. popularitas mungkin sesuatu yang tak terpikirkan hingga detik ini. Aisyiyah dengan puluhan ribu amal usahanya lebih memilih bergerak dalam ruang sunyi dan tidak mengedapkan suara.

Sungguhpun  Aisyiyah hanyalah merupakan kumpulan emak-emak bersahaja, tetapi ia merupakan organisasi para ibu yang kini mengelola 22.000 PAUD. Suatu jumlah yang mungkin sulit diperoleh tandingannya di seantero dunia. Dan pada tanggal 27 Januari 2022 Aisyiyah Sultra melalui SK Kemendikbudristek No; 42/E/0/2022 resmi memiliki perguruan tinggi sekaligus mencatatkan dirinya sebagai organ perempuan pertama di Sultra atau bahkan di Timur Indonesia yang memiliki layanan pendidikan tinggi. Selamat untuk emak-emak yang bergabung di Asyiyah.

Kendari, 31 Januari 2022
Penulis adalah Direktur LPSK Quantum Kendari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *