JHT, Eksploitasi Pekerja Kian Nyata di Negeri Khatulistiwa

Pena Opini442 views

Oleh: Khaziyah Naflah

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) merilis aturan baru terkait pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) pada Jumat (11/2/2022). Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT yang menyebutkan bahwa manfaat JHT akan dibayarkan kepada peserta jika mencapai usia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Dalam beleid tersebut, disebutkan bahwa dana JHT baru bisa dicairkan ketika peserta berusia 56 tahun (kompas.com, 12/02/2022).

Sontak kebijakan ini menuai kritik keras di berbagai kalangan. Sebab, dianggap sebagai  kebijakan yang mendzalimi rakyat dan menambah beban hidup mereka yang kian berat. Apalagi di musim pandemi seperti saat ini.

Sebagaimana dikatakan Anggota Komisi IX DPR RI, Alifudin, mengkritisi kebijakan baru Pemerintah yaitu Permenaker No 2 tahun 2022 yang mengatur Jaminan Hari Tua (JHT) baru dapat dicairkan setelah pekerja berusia 56 tahun. Ia menilai kebijakan tersebut menyakiti hati rakyat khususnya para buruh, dan menolak keras keputusan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah ini.

“Peraturan ini menambah penderitaan rakyat dan menyakiti hati rakyat, karena peraturan tersebut mempersulit buruh. Sebab, jika seorang buruh yang mengundurkan diri atau di PHK membutuhkan uang JHT. Tapi ia harus menunggu sampai berusia 56 tahun,” kata Alifudin dalam pernyataannya dikutip kumparan, Minggu (13/2).

Tidak bisa dipungkiri, bahwa JHT merupakan salah satu harapan bagi para pekerja setelah mereka di PHK dari pekerjaannya karena faktor-faktor diluar ketentuan.  Dengan JHT tersebut, banyak dari kalangan buruh berharap bisa dijadikan penopang hidup untuk sementara waktu sampai mereka mendapatkan pekerjaan baru. Namun, jika JHT baru bisa diambil pada umur 56 tahun, lantas bagaimana nasib buruh yang terkena PKH, apalagi di musim pandemi  koncangan perekonomian yang kacau membuat para pekerja rawan di PHK, bahkan ancaman tidak mendapat pesangon dari perusahaan dengan alasan produksi menurun kian meningkat.

Nasib buruh  dalam sistem kapitalisme seakan tidak layak sejahtera. Kebijakan demi kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa selalunya menjadi pil pahit bagi kaum buruh, sebut saja kebijakan sebelumnya, yakni Omnibus Law UU Cipta Kerja dan aturan turunannya yang sangat terlihat membela korporasi dan mengorbankan kaum buruh. Lihat saja, bagaimana banyaknya penolakan terhadap aturan tersebut, namun pemerintah tetap menggolkan aturan demi aturan yang mendzalimi para buruh.

Dalam sistem kapitalisme kaum buruh dan rakyat akan terus menderita, dan menjadi korban sebab dalam sistem ini negara hanya berfungsi sebagai regulator semata. Artinya, peran negara dalam mengurusi dan memenuhi kebutuhan rakyatnya sangat terbatas, bahkan jauh panggang  dari api.  Bahkan, sistem ini melahirkan para penguasa yang hanya berorientasi pada untung rugi, kekuasaan dijadikan sebagai ladang bisnis untuk mengeruk harta rakyat dan hak-hak lain mereka.

Selain itu, dalam sistem ekonomi Islam, upah para buruh telah ditetapkan oleh negara. Upah tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih dari Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), upah juga tidak boleh diturunkan dan dinaikkan.  Disisi lain kebutuhan pokok kian meningkat tajam, pendidikan dan kesehatan kian mahal, dan lainnya. Sehingga, jangankan disisihkan untuk hari tua, kebutuhan harian pun harus berjuang keras untuk memenuhinya, bahkan tak jarang ada yang harus mencari pekerjaan sambilan.

Sungguh miris hidup di negeri kapitalis. Eksploitasi buruh kian nyata. Mendambakan kesejahteraan hanya sebuah ilusi belaka, yang ada hanya penderitaan terpampang nyata di depan mata.  Sehingga, jika mengharapkan kesejahteraan maka membutuhkan sebuah sistem yang benar-benar membuat penguasa melaksanakan tugasnya sebagai pelindung dan pelayan rakyat,  hal itu hanya bisa didapat dalam sistem Islam.

Selama Islam berjaya  terbukti bahwa mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang amanah terhadap kepemimpinannya. Penguasa berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya, mulai dari sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan, baik muslim ataupun non muslim tak luput dari perhatiannya.

Sedangkan dalam masalah upah para pekerja pemerintah tidak boleh ikut campur menentukan besaran upah, kecuali memilihkan pakar untuk menentukan besaran upah, itu pun jika ada pertikaian di antara kedua belah pihak.

Besaran upah dihitung bukan berdasarkan KFM ataupun perhitungan biaya produksi karena besaran upah dalam Islam ditentukan oleh jasa tenaga yang diberikan oleh pekerja pada majikan, atau sering disebut upah sepadan. Inilah yang menghilangkan potensi eksploitasi pada buruh.

Upah pun harus dibayarkan sesegera mungkin, tidak dibolehkan melakukan penundaan pembayaran upah bagi para buruh. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan memberikan upah sebelum keringat si pekerja kering. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih).

Kemudian, pemenuhan jaminan bukan dibebankan oleh majikan atau sebuah perusahaan tempat buruh bekerja, namun jaminan pemenuhan kebutuhan buruh merupakan tangung jawab negara. Negara wajib memberikan pemenuhan kebutuhan pokok bagi buruh dan rakyatnya. Tidak dibiarkan satu rakyatnya yang kelaparan, semua perekonomian diatur dan diawasi oleh negara, sehingga rakyat bisa hidup sejahtera. Wallahu A’alam Bisshawab

Penulis adalah aktivis muslimah Konawe Selatan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *