Kasus Asusila di Wisma Atlet Antara KUHP, UU Pornografi, dan UU ITE

Pena Opini1,931 views

Oleh: Muhammad Takdir Al Mubaraq, SH

Sepanjang minggu kemarin, kasus hubugan seks sesama jenis antara perawat dan pasien Covid-19 di RSD Wisma Atlet menjadi berita paling populer untuk dibaca.Sebagaimana dikutip pada laman megapolitankompas.com yang menempatkan berita tersebut pada posisi pertama diantara 4 berita paling populer lainnya.Kasus yang awalnya terungkap dari pengakuan pasien Covid-19 di RSD Wisma Atlet melalui media sosial twitter yang menceritakan bahwa dirinya telah melakukan hubungan seks sesama jenis dengan seorang perawat yang bertugas disana dimana cuitan tersebut kemudian terbesar dan menjadi trending topik pada laman twitter hingga burujung padapemeriksaan oleh pihak kepolisian.Hingga saat ini kasus tersebut sudah pada tahap penyidikan.

Berkaitan dengan pengaturan tentang kesusilaan di Indonesia sendiri kiranya ada 3 (tiga) peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Perbuatan Asusila dalam KUHP

Dalam usaha negara menjamin terjaganya nilai-nilai kesusilaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat maka dibentuklah tindak pidana berkaitan dengan kesopanan didalam KUHP yang tercancum didalam Bab XIV buku II KUHP mengenai kejahatan terhadap kesopanan dan Bab VI buku III KUHP mengenai pelanggaran terhadap kesopanan.Berkaitan dengan kejahatan terhadap kesopanan dimuat didalam Pasal 281 sampai dengan Pasal 303 bis KUHP.Sedangkan berkaitan dengan pelanggaran kesopanan dimuat didalam Pasal 532 sampai dengan Pasal 547 KUHP.

Khusus untuk perbuatan hubungan seksual sesama jenis didalam KUHP sendiri telah diatur didalam Pasal 292 KUHP dengan penggunaan frasa “perbuatan cabul”. Adapun bunyi Pasal 292 adalah “orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun”.

Berkaitan dengan Pasal 292 KUHP ini, Penulis dapat memberikan penjelasan sebagai berikut: Pertama,berkaitan dengan orang dewasa. Kriteria yang dimaksud dewasa dalam rumusan pasala quoadalah dewasa menurut Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yakni telah berumur 21 tahun atau belum berusia 21 tahun tetapi sudah pernah menikah. Kedua,berkaitan dengan perbuatan cabul.Bahwa yang dimaksud dengan perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji yang semua itu termasuk dalam nafsu birahi kelamin misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan dan sebagainya (R.Soesilo, 1995: 212).Tegasnya bahwa segala perbuatan dianggap melanggar kesopanan atau kesusilaan dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul.Ketiga,sama halnya dengan perzinahan, kejahatan ini diperlukan dua orang yang terlibat. Jika pada perzinahan terjadi antara dua orang yang berlawanan jenis kelamin, tetapi pada perbuatan cabul menurut pasal ini terjadi antara dua orang sesama jenis lelaki dengan lelaki (homoseksual) atau perempuan dengan perempuan (lebian).Keempat,jika dilihat dari aspek pertanggungjawaban pidananya, menurut pasal ini siapa diantara dua orang itu yang telah dewasa, sedangkan yang lain haruslah belum dewasa. Secara a contrario dapat dikatakan bahwa tidak mungkin terjadi kejahatan menurut Pasal 292 ini bila dilakukan oleh sesama jenis kelamin antara dua orang yang keduanya sudah dewasa, atau keduanya sama-sama belum dewasa. Kelima,dilihat dari unsur kesalahannya terdapat dua bentuk kesalahan yaitu dolus dan culpa.Kesengajaan (dolus)yaitu diketahuinya teman sesama jenis berbuat cabul itu belum dewasa dan kealpaan (culpa) yakni sepatutnya harus diduganya bahwa teman sesama jenisnya belum dewasa.

Berdasarkan penjelasan tersebut bila ditarik hubungan dengan kasus hubungan seks sesama jenisyang terjadi di RSD Wisma Atlet pekan lalu kiranya Pasal 292 KUHP ini tidak dapat digunakan jika dua orang yang melakukan perbuatan tersebut adalah kedua-duanya telah dewasa atau keduanya belum dewasa. Oleh karena syarat untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana menurut Pasal 292 KUHP adalah salah satu diantara orang yang melakukan perbuatan tersebut haruslah belum dewasa artinya belum berusia 21 tahun atau belum menikah. Hal ini disebabkan paradigma Pasal 292 KUHP ini hanya mengutamakan perlindungan terhadap seseorang yang masih berada dibawah umur agar tidak menjadi korban pencabulan oleh orang dewasa yang berjenis kelamin yang sama.

Dalam perkembangan hukum pidana Pasal 292 KUHP ini pernah diajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi oleh Guru Besar IPB Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti., MS dkkdimana dalam petitumnya meminta agar frasa “belum dewasa” dalam rumusan Pasal 292 KUHP tersebut dihapuskan sehingga semua perbuatan sesama jenis dapat dipidana tanpa membedakan batas usia.MK melalui putusannyadengan nomor : 46/PUU-XIV/2016 menolak pemohon tersebut untuk seluruhnya dengan dalih bahwa MK tidak memiliki kewenangan untuk membentuk norma baru yang dimana kesemuanya itu adalah wewenang pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR. Meski demikian, 4 hakim MK memiliki pendapat yang berbeda (dissenting opinion) terkait putusan tersebut.

Perbuatan Asusila dalam UU Pornografi

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang demikian pesatnya memberikan pengaruh terhadap hukum yang juga dituntut untuk terus mengimbangi perkembangan zaman sebagaimana postulat usang yang dikenal berbunyi het recht hink achter de feiten aanyang artinya bahwa hukum selalu tertinggal dari peristiwanya.Olehnya itu ditahun 2008 sebagai perluasan dari tindak pidana kesusilaan dibentuklah undang-undang yang khusus mengatur tentang pornografi dan macam-macam bentuk tindak pidananya yaitu Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Didalam UUPornografi memberikan batasan perihal pornografi dan tidak memberikan batasan mengenai tindak pidana pornografi. Batasan yang dimaksud adalah sebagaimana dijelaskan didalam Pasal 1 angka 1 UUPornografibahwa “pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum,yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”.

Adami Chazami (2016:117) mengklasifikasi UU Pornografi berdasarkan 3 pilar yakni :Pertama, pengertian secara yuridis sebagaimana disebutkan didalam Pasal 1 angka 1 di atas. Kedua, objek pornografi yang tersebar dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 12 jo Pasal 29 sampai dengan Pasal 39 UU Pornografi. Ketiga, adalah perbuatan pornografi yang dilarang, ada 33 perbuatan yang dilarang yang termasuk kedalam 10 pasal yang merumuskan tindak pidana pornografi dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 38 UU Pornografi.

Berkaitan dengan 33 tindak pidana pornografi yang dimuat didalam 10 pasal yang dimaksud di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama,tindak pidana pornografi memproduksi, membuat dan lainnya pornografi (Pasal 29 jo Pasal 4 ayat 1). Dalam tindak pidana ini terdapat 12 bentuk perbuatan yang dilarang terhadap objek pornografi.Kedua,tindak pidana menyediakan jasa pornografi (Pasal 30 jo Pasal 4 ayat (2)).Ketiga, tindak pidana meminjam atau mengunduh dan lainnya produk pornografi (Pasal 31 jo Pasal 5). Keempat, tindak pidana memperdengarkan, mempertontonkan dan lainnya produk pornografi (Pasal 32 jo Pasal 6). Kiranya ada 6 perbuatan yang dilarang dalam pasal ini. Kelima, tindak pidana mendanai atau memfasilitasi perbuatan memproduksi, membuat dan lainnya pronografi (Pasal 33 jo Pasal 7). Keenam, tindak pidana sengaja menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi (Pasal 34 joPasal 8). Ketujuh, tindak pidana menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi (Pasal 35 jo Pasal 9). Kedelapan, tindak pidana mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau dimuka umum (Pasal 36 jo Pasal 10). Kesembilan, tindak pidana melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek dalam tindak pidana pornografi (Pasal 37 jo Pasal 11).Kesepuluh, tindak pidana mengajak, membujuk dan lainnya anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi (Pasal 38 jo Pasal 12).Dalam tindak pidana ini terdapat 7 perbuatan yang dilarang.

Dalam kasus hubungan seksual sesama jenis yang terjadi di RSD Wisma Atlet dalam pantauan Penulis penyidik berusaha menggunakan Pasal 36 UU Pornografi untuk menjerat pelaku dimana Pasal 36 UU Pornografi berbunyi “setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau dimuka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling lama 5 Miliyar”.

Berkaitan dengan penggunaan Pasal 36 UU Pornografi oleh PenyidikPenulis berpendapat agak sulit kiranya menjerat pelaku berdasarakan Pasal 36 UU Pornografi ini alasannya adalah terletak pada objek tindak pidananya yakni “diri atau orang lain yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan atau yang bermuatan pornografi lainnya”. Penulis berpandangan bahwa unsur “diri” dalam rumusan pasal ini diartikan sebagai tubuh orang yang melakukan tindak pidana.Tubuh yang dimaksud adalah organ tubuh manusia dari ujung kaki hingga ujung rabut.Sedangkan maksud orang lain berarti tubuh orang lain yang dipertontonkan. Memang rumusan pasal ini memiliki konsekuensi, konsekuensinya adalah orang sebagai pembuat yang dipidana adalah orang yang mempertontonkan baik itu mempertontonkan diri sendiri ataupun orang lain. Bila yang menjadi objek yang dipertontonkan adalah orang lain, maka orang lain ini tidak dapat dipidana karena berkedudukan sebagai korban. Sedangkan dirinya sendiri dipidana karena sebagai pembuat.Pelaku yang melakukan tindak pidana terhadap dirinya sendiri dianggap tindak pidana tanpa korban atau dalam konteks victimology hal ini diperistilahkan dengan istilah crime without victim.

Namun bukan itu letak masalahnya, permasalahannya adalah jika makna pada unsur “diri atau orang lain” adalah tubuh, maka tulisan pengakuan pelaku melalui media sosial yang telah melakukan hubungan seksual sesama jenis tidak dapat dimaknai sebagai tubuh.Karna unsur “diri” yang dimaknai sebagai tubuh itu harus berbentuk wujud yang utuh.Dalam hal ini konten pornografi harus berupa gambar ataupun video yang dipertontonkan bukan berupa tulisan. Hal ini pun memiliki korelasi dengan unsur keadaan menyertai perbuatan dalam tindak pidana dalam rumusan pasal a quo yakni “dalam pertunjukan atau dimuka umum”. Pertunjukan yang dimaksud adalah kegiatan mempertontonkan atau memperlihatkan sesuatu kepada orang banyak yang diselenggarakan di tempat tertentu.Artinya perbuatan itu seketika dapat dilihat langsung disuatu tempat.Bila dihubungkan dengan unsur objektifnya dapat dikatakan tubuh orang yang melakukan tindak pidana itu dapat dilihat disuatu tempat mutatis-mutandis tulisan tidak memenuhi unsur dalam rumusan delik.

Penulis berpendapat bahwa bukan Pasal 36 UU Pornografi yang dapat dikenakan, melainkan Pasal 29 UU Pornografi.Adapun Pasal 29 UU Pornografi berbunyi “setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau denda paling sedikit 250 jt dan paling banyak 6 miliyar”. Sedangkan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi berbunyi “setiap orang dilarangmemproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: pesenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang, kekerasan seksual, mastrubasi atau onani, ketelanjangan atau tampilan mengesankan ketelanjangan, alat kelamin atau pornografi”. Adapun alasan Penulis adalah sebagai berikut :

Pertama.Jika mencermati rumusan Pasal 29 a quo kiranya terdapat 12 perbuatan yang dilarang menurut hukum yaitu perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi. Ke 12 perbuatan tersebut sebagian yang satu bisa menjadi tumpang tindih dengan sebagian lainnya dan bila dihubungkan dengan kasus hubungan seksual sesama jenis di RSD Wisma Atlet kiranya lekat hubungannya dengan unsur menyiarkan.Bila ditinjau dari segi difenisi menurut KBBI menyiarkan diartikan sebagai tindakan memberitahukan kepada umum. Tegasnya dapat dikatakan bahwa menyiarkan adalah perbuatan dengan cara apapun terhadap pornografi yang mengakibatkan diketahui oleh orang banyak. In casu a quo perbuatan menuliskan pernyataan melalui media sosial tersebut adalah termasuk dalam unsur menyiarkan.Kedua,berkaitan dengan syarat agar perbuatan menyiarkan selesai. Kiranya ada 3 syarat suatu perbuatan menyiarkan dianggap selesai yaitu: pertama, telah ada wujud konkretnya, kedua, pornografi yang disiarkan diketahui dilihat atau didengar orang banyak, dan ketiga, orang yang mengetahui atau mendengar pornografi disebabkan langsung oleh perbuatan menyiarkan yang dilakukan si pembuat. In casu a quo, ketiga-tiganya terpenuhi sehingga dianggap perbuatan menyiarkan dianggap telah selesai.Ketiga,berkaitan dengan objek pornografi.Didalam Pasal 1 angka 1 UU Pornografi sebagaimana telah disebutkan di atas, salah satu yang menjadi objek pornografi adalah tulisan.Maka secara mutatis-mutandis bahwa pernyataan mengakui bahwa telah melakukan perbuatan hubungan seks sesama jenis kelamin dapat dikategorikan sebagai tulisan.Keempat,merujuk pada Pasal 4 ayat (1) bila dihubungkan dengan kasus homoseksual ini adalah termasuk dalam unsur persenggaman, termasuk persenggamaan yang menyimpang.Persenggamaan yang dimaksud menurut pasal ini adalah persetubuhan atau hubungan biologis.Sedangkan persenggamaan yang menyimpang menurut pasal ini adalah termasuk persenggemaan dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lebian dan homoseksual (vide penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a UU Pornografi.In casu a quo, perbuatan yang dilakukan oleh pasien Covid-19 dan perawat di RSD Wisma Atlet termasuk dalam unsur persenggamaan yang menyimpang.Kelima, dilihat dari bentuk kesalahannya, delik didalam Pasal 29 ini adalah delik yang dilakukan dengan sengaja.Tegasnya bahwa perbuatan menyiarkan tulisan pornografi tidak dapat dilakukan berdasarkan kekhilafan (culpa) melainkan dengan kesengajaan (dolus).Oleh karena delik dolus maka sebelum perbuatan menyiarkan dilakukan, pelaku memiliki pengetahuan bahwa dengan perbuatan yang hendak dilakukannya akan diketahui oleh orang lain dan menghendaki akibatnya. Keenam,dilihat dari cara perumusannya, tindak pidana ini adalah delik formil yang menitikberatkan pada tindakan sedangkan bila dilihat dari syarat penyelesaian tindak pidana diperlukan akibat tersiarnya objek pornografi maka tindak pidana ini termasuk kedalam delik materiil yang menitikberatkan pada akibat yang ditimbulkan. 

Asusila dalam UU ITE

Sama halnya dengan undang-undang lainnya, dalam hal merespon modus operandi suatu tindak pidana yang dilakukan melalui media elektronik, maka sejak tahun 2008 telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang bertujuan agar pemanfaatan teknologi lebih dipergunakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Roscoe Pound bahwa “law as a tool of social engineering” yang berarti bahwa hukum sebagai alat pembaharuan atau merekayasa dalam masyarakat.

UU ITE sendiri memiliki bentuk kekhususan tersendiri dan dapat digunakan jika seseorang dalam melakukan tindak pidana tersebut sarana yang digunakan berupa media elektronik serta objeknya harus berupa dokumen atau informasi elektronik.Terkait dengan tindak pidana yang berhubungan dengan asusila, UU ITE sendiri mengaturnya didalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang berbunyi “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.Sedangkan ancaman pidananya dimuat didalam Pasal 45 yang berbunyi “setiap orang yang melanggat Pasal 27 ayat (1) dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 miliyar”.

Mencermati rumusan delik dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE Penulis dapat memberikan penjelasan sebagai berikut: Pertama, unsur setiap orang yang dimaksud adalah orang perorangan baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing maupun badan hukum (vide Pasal 1 angka 1). Kedua, unsur kesalahannya adalah dengan sengaja. Sengaja yang dimaksud disini mengacu kepada teori dalam kesengajaan yakni willens en wetens theory yaitu suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja jika dilakukan karena mengetahui dan menghendaki perbuatan itu dan kedua syarat tersebut bersifat mutlak.Ketiga, unsur melawan hukumnya yaitu tanpa hak.UU ITE tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan “tanpa hak” dalam rumusan pasal a quo.Secara teoritik tanpa hak disini merupakan salah satu arti dari melawan hukum (wedderechtelijk) yang diartikan sebagai in strijd met het recht atau bertentangan dengan hukum, met krenking van een anders recht atau melanggar orang lain, niet stuened ophet recht atau tidak berdasarkan hukum, zonder bevoegdheid atau tanpa kewenangan dan zonder eigen recht atau tanpa hak yang ada pada dirinya sendiri (P.A.F Lamintang, 1997:347).Lihat juga (Jan Remmelink. 2003:187).Konsekuensi unsur melawan hukum yang dirumuskan secara tertulis (bestandeel) maka perlu dibuktikan oleh Penuntut Umum.

Keempat,kiranya pada rumusan Pasal 27 ayat (1) UU ITEterdapat 3 jenis perbuatan yang dilarang yaitu perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya. Berkaitan dengan apa yang dimaksudkan ketiganya tersebut dijelaskan didalam penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU ITE bahwa yang dimaksud dengan mendistribusikan adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada banyak orang atau berbagai pihak melalui sistem elektronik. Mentransmisikan adalah mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui sistem elektronik dan membuat dapat diakses adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui sistem elektronik yang menyebabkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik.

Kelima, jika dilihat dari segi objeknya, UU ITE membatasinya hanya berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik. Penjelasan terkait informasi elektronik dijelaskan secara expressive verbis didalam Pasal 1 angka 1 UU ITE bahwa yang dimaksud dengan informasi elektronik adalah satu kumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatan pada tulisan, suara gambar, peta, rancangan foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electonic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami orang yang mampu memahaminya. Sedangkan yang dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar memalui komputer atau sistem elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (vide Pasal 1 angka 4 UU ITE).Keenam, berkaitan dengan memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.Terkait hal ini UU ITE tidak memberikan penjelasan.Jika menggunakan interpretasi sistematis, maka perlu kembali merujuk kepada lex generalnya yaitu KUHP itu sendiri yakni merujuk pada Bab XIV buku II KUHP mengenai kejahatan terhadap kesopanan yakni didalam Pasal 281 sampai dengan Pasal 303 bis KUHP.

Bila dihubungkan dengan kasus hubungan seks sesama jenis yang terjadi di RSD Wisma Atlet kiranya memenuhi keseluruhan unsur sebagai dimaksudkan didalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE alasannya adalah :Pertama, pengakuan melalui media sosial twitter bahwa telah melakukan hubungan seksual sesama jenis dengan salah satu perawat di RSD Wisma Atlet termasuk adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja karena mengetahui dan menghendaki perbuatan tersebut (willens en wetens theory). Kedua, pengakuan hubungan seksual sesama jenis melalui media sosial tersebut mengakibatkan diketahuinya orang lainsehingga unsur membuat dapat diaksesnya dianggap terpenuhi. Ketiga,tulisan melalui media sosial twitter itu termasuk didalam objek didalam UU ITE berupa informasi elektronik dan dokumen elektronik.Keempat, tanpa hak dalam arti melawan hukum yang bertentangan dengan hukum (in strijd met het recht) karna melanggar kesusilaan (vide Pasal 292 jo Pasal 289 KUHP).

KUHP, UU Pornografi dan UU ITE

Dari ketiga peraturan perundang-undangan yang dijelas di atas, menimbulkan pertanyaan lantas jenis peraturan mana yang dapat dikenakan terkait dengan kasus hubungan seks sesama jenis yang terjadi di RSD Wisma Atlet? Berkaitan dengan hal tersebut Penulis berpendapat sebagai berikut: Pertama,bahwa didalam ilmu hukum dikenal namanya asas preferensi dalam dogmatik hukum salah satunya asas itu berbunyi lex specialis derograt legi generali yang berarti bahwa aturan yang bersifat khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum. Dilihat dari kedudukannya UU Pornografi dan UU ITE termasuk dalam lex specialis atau hukum yang bersifat khusus.Disebut khusus sebab ketentuan materiilnya menyimpang dari KUHP sehingga KUHP sebagai lex general atau hukum yang bersifat umum itu dikesampingkan menurut asas ini.Kedua,oleh karena UU Pornografi dan UU ITE memiliki kekhususan yang sama sebagai lex specialis maka berkonsekuensi membuat penafsiran akan semakin sulit. Semakin sulit dalam penafsiran hukumnya, maka semakin sulit juga menentukan hukum mana yang akan dipakai. Mengenai masalah ini, didalam ilmu hukum juga dikenal asas yang berbunyi “lex consumen derogat legi consumte” yang secara harfiah dapat diartikan aturan yang satu mengabsorsi aturan yang lain.Maksud “mengabsorsi” disini dalam asas ini adalah menyerap.Disini suatu perbuatan memenuhi unsur delik yang terdapat dalam beberapa ketentuan hukum pidana khusus, yang faktanya lebih dominan dalam kasus tersebut.Tegasnya melihat fakta hukum mana yang lebih dominan.Oleh karena perbuatan dilakukan menggunakan sarana media sosial maka berdasarkan asas ini maka Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang digunakan.

Ketiga, merujuk pada Pasal 44 UU Pornografi yang berbunyi “pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini” dan Pasal 53 UU ITE yang berbunyi “pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan dan kelembagaan yang berhubungan dengan pemanfaatan teknologi informasi yang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku”. Mencermati kedua pasal tersebut nampaknya baik Pasal 44 UU Pornografi maupun Pasal 53 UU ITE dapat dipergunakan untuk menjerat pelaku kejahatan asusila termasuk kasus hubungan seks sesama jenis di RSD Wisma Atlet oleh karena rumusan kedua pasal tersebut menyatakan semua peraturan perundang-undangan selama tidak bertentangan dengan UU tersebut dinyatakan tetap berlaku. Apalagi diantara kedua UU a quo tidak ditemukan pertentangan satu sama lain, melainkan saling melengkapi.Keempat, terhadap pendapat pada point dua dan tiga adalah pilihan penegak hukum untuk memilih satu diantara UU tersebut ataukah menggunakan kedua UU tersebut yang tentunya merujuk pada bukti yang ditemukan.*** Wallahu a’lam bishawab.

Penulis adalah Mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Periode 2015/2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *