Kasus Kejahatan Seksual di Konsel Meningkat, Benarkah Negara Abai?

Pena Opini736 views

Oleh: Wa Ode Arfianti, S.Pd.

Situasi ramah dan aman bagi anak nampaknya hanya angan dan itulah yang mungkin tepat untuk menggambarkan kondisi saat ini. Seperti yang dilansir pada Telisik.id (26/12) dimana untuk sepanjang tahun 2020, kasus kejahatan seksual pada anak berulang kali terjadi di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel).

Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) Kementrian Sosial Republik Indonesia di Konsel, Helpin menyampaikan, selama tahun 2020, kejahatan seksual pada anak di konsel berjumlah 32 kasus. Korban merupakan anak berusia antara 5 sampai 18 tahun.

Hal ini membuktikan bahwa kejahatan seksual khususnya pada anak-anak masih banyak terjadi. Dari beberapa faktor yang di sebutkan salah satunya adalah faktor digital dimana pemerintah memiliki peran untuk dapat mengizinkan hal-hal apa saja yang boleh di akses ke media sosial terutama larangan penayangan video asusila. Adapun hukuman yang diberikan kepada pelaku kejahatan seksual tidak memberikan efek jera,  sehingga kejadian serupa berulang terjadi bahkan setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan.

Peningkatan kasus kejahatan atau kriminalitas membuktikan bahwa keamanan dalam sistem kapitalis sekuler tidak terjamin. Negara tidak mampu memberikan keamanan kepada rakyatnya. Apalagi kejahatan seksual pada anak, yang seharusnya tidak terjadi. Lalu sampai  kapan kita akan bertahan dengan sistem kufur kapitalis sekuler buatan manusia yang sudah nyata memberikan kehancuran dan kerusakan dalam negri ini.

Berbeda dengan Islam, keamanan jelas menjadi kebutuhan warga negara  yang di jamin oleh negara. Dan hukum yang diberikan bagi pelaku sangat tegas, sebagaimana yang dikemukan oleh ust. Shiddiq Al Jawi yaitu: (1)Jika yang dilakukan pedofilia adalah perbuatan zina, hukumannya yaitu dirajam jika sudah muhsan (menikah). (HR. Bukhari no 6733,6812; Abu Dawud no 4438) atau dicambuk seratus kali jika bukan muhshan (menikah) (QS. An-Nur :2). (2) Jiika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain. (3) Jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, hukumannya ta’zir.(Imam Syaukani, nailul Authar, hlm. 1480; Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 93).

Sistem sanksi dan hukuman dalam Islam sangat tegas, karena fungsi sanksi dalam islam adalah sebagai penebus dan penjera (zawajir dan jawabir). Dan ini hanya bisa  terjadi ketika negara menerapkan sistem islam dibawah naungan khilafah.

Wallahu’alam.

Penulis adalah Relawan Media dan Opini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *