Oleh: Moksa
Berdasarkan catatan sejarah pasca mekarnya Buton Tengah sebagai Daerah Otonomi Baru peristiwa meletakkan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai legistlator mulai memasuki babak baru. Pada perkembangan ini ungkapan Terminologi legislative-heavy menjadi ekspektasi pokok yang ditandaskan dalam diskursus sosial politik sesuai dengan cita-cita desentralisasi.
Namun sebelum menyelami lebih jauh arah tulisan ini saya ingin menyinggung pengertian tentang Legistlatif-heavy yaitu pembagian kewenangan dari eksekutif ke legislatif untuk perbaikan pembangunan sosial politik. Terminologi ini dianggap sebagai suatu jalan untuk menentukan arah pemerintahan lebih baik dari ukuran orde baru yang otoritarian.
Pasalnya kekuasaan orde baru selama 32 tahun dianggap diktator oleh berbagai kalangan, respond dari itu menyulut pecahnya gelombang reformasi di pertengahan tahun 1998, dan peristiwa inilah yang mengawali konsep legistlative-heavy harus ditandaskan dalam tubuh pemerintahan pada saat itu.
Di Buteng, dikanca perpolitikan daerah Legistlative-heavy tidak begitu saja diterima oleh semua orang, selama berjalannya roda pemerintahan di atas kewenangan DPR pelaksanaan Legistlative-heavy cukup mengundang konteversi dimata publik lacur citra ini makin terasa membusur tajam dimata pegiat politik di luar dari garis pemerintahan setelah dewan perwakilan rakyatnya memasuki ending satu periode masa jabatan.
Polemik legistlative-heavy di tapuk legislatif menyulut diskusi diberbagai kalangan karena selama ini tampilan eksen anggota parlemen kita dianggap berbanding terbalik dengan performa dewan perwakilan sebagai lokomotif pengawalan pemerintah disemua level.
Untuk mengukur itu kita tak perlu memeras otak tetapi cukup dengan penjelasan posisi keterwakilan anggota DPRD sebagai tonggak estafet politik rakyat dalam menyusun UU, mengawasi pemerintahan, dan mengurai anggaran APBD yang selama ini dianggap gagal karena keputusan politiknya cenderung sepihak.
Kedua produktivitas DPRD dari tahun ketahun juga rendah, ketidakmaksimalan kerja dalam merampungkan aspirasi rakyat menengah ke bawah disetiap tahun meskipun sudah beberapa kali kita melakukan reses.
Ketiga realitas tujuan berlegislatif anggota DPR selalu memprioritaskan akumulasi kekayaan pribadi dari pada tanggung jawab konstitusional yang sejatinya melayani rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945. Hal ini bisa ditinjau dengan melihat bagaimana semarak anggota legislatif kita makin hari makin terlihat mewah: berlomba-lomba membeli mobil pribadi dan mendesign rumah seperti istana kerajaan.
Ke empat bahwa mereka begitu baik dengan kita keculi memasuki tahun politik saja yang motivasi dasarnya kepentingan kekuasaan dan keinginan sesuai dengan kerendahan nalar memahami tapuk legislatif.
Tentu takaran ini tidak bersifat relatif apalagi dengan sengaja menegasikan apapun kinerja positif lembaga perwakilan kita, tapi selama ini memang DPRD gagal memperlihatkan kinerja yang fungsional untuk kepentingan publik. Akhirnya, cap buruk anggota perwakilan dari hari kehari semakin terlihat dimata publik.
Analisis yang yang lebih jauh menandakan realitas distorsi pelaksanaan kewenangan DPRD ini telah menggagalkan daerah bergerak menuju kemajuan yang dahsyat dalam oposan berotonomi dan ini menjadi temuan penting yang berpengaruh pada titik ketidakpercayaan publik untuk membangun visi-misi kedaerahan.
Disamping itu legislatif tidak lagi dimaknai sebagai legistlative-heavy tetapi tengah menggugurkan postulat penting butir-butir amandemen UUD 1945 yang tidak lain adanya konsensus mengatur hajat publik secara komprehensif melalui regulasi, pengawasan, atau anggaran.
Melainkan sebagai ancaman akan terselubungnya tabiat anakronis dalam panorama daerah yang masih amat belia, sehingga jika ini dibiarkan terus menerus akan menimbulkan fragilitas atau kerapuhan dalam daerah itu sendiri.
Kritik terhadap anggota legislatif ini bukan karena membenci anggota legislatif secara kemanusiaan, melainkan pengharapan perbaikan kondisi di tubuh DPRD lebih baik dari kondisi sebelumnya agar kedepannya mampu menimbulkan kesan yang baik bagi masyarakat terutama dalam hal kinerja dan kepercayaan publik, menekankan pada prosedur tupoksi, dan pranata berlegislatif yang mengedapankan kepentingan publik agar etos demokratik atau pengabdian sesungguhnya tidak lagi menjadi anak tiri yang tersisihkan.(***)
Penulis: Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Asal Buton Tengah