Oleh: La Ode Abdul Wahid
Tugu Jagung nan kokoh berdiri di tengah desa. Menyekat Dusun Dandila dan Dusun Matandasa. Mempertegas bahwa desa ini erat kaitannya dengan tanaman jagung. Pun akhirnya, Tugu Jagung jadi ikon.
Jika ke Muna Barat, melalui jalan poros Lagadi-Tondasi dan bertemu Tugu Jagung, di situlah Marobea. Desa yang pada November 2020 lalu, telah menetapkan jagung kuning hibrida sebagai produk unggulannya.
Lebih kurang 90% masyarakat Marobea berprofesi sebagai petani jagung. Mau yang tua. Cukup tua. Janda. Duda. Suami-istri. Yang muda tak mau kalah. Mereka-mereka bertani jagung. Tak pelak, gairah ekonomi desa pun terangkat berkat jagung. Marobea kini dikenal sebagai desa penghasil jagung.
Tanaman jagung jadi primadona. Membuat para petani sulit untuk berpaling ke komoditas lain. Setiap tahun lahan-lahan tani baru untuk jagung dirintis. Pola pertanian pun bergeser. Dari sistem bertani dengan lahan berpindah-pindah, kini mulai menetap. Sebab stok lahan pribadi petani menipis. Untungnya, petani yang tidak memiliki lahan, masih bisa meminjam lahan orang lain yang tidak terfungsikan. Dan ini bebas biaya, alias gratis. Di Marobea belum mengenal namanya sistem sewa lahan pertanian.
Bahkan, tak jarang ada petani yang memiliki lahan, namun di dalamnya bermukim hamparan jati atau jambu mete. Mereka rela menumbalkan tanaman mete atau jati tersebut, untuk dialihfungsikan dengan ditanami jagung. Alasannya, tanaman mete hampir setiap tahun berlangganan gagal. Dan jati merupakan komoditas yang menuntut penantian panjang untuk dituai hasilnya. Berbeda dengan jagung, komoditas ini tidak rewel. Selagi bukan musim kemarau dan penghujan ekstrim, pasti ada hasil, dan penantiannya hanya menghitung bulan.
Tidaklah keliru, jika sebutan “Desa Jagung” kita sematkan pada Desa Marobea. Toh, Marobea telah terkenal akan jagungnya. Akan tetapi, kita perlu menilik lebih jauh, apa benar pertanian jagung di Marobea sudah digalakkan secara maksimal ? Jawabannya sudah pasti belum. Baik secara kuantitas maupun kualitas, hasil produktivitas jagung Desa Marobea belumlah maksimal.
Dari segi kuantitas, banyak ditemukan produktivitas hasil panen petani tidak sebanding dengan luas lahan yang digarap. Rata-rata petani dengan lahan 1 hektar, hanya mampu menghasilkan 1-2 ton. Terdapat sebagian kecil saja, petani yang mampu menghasilkan panen di kisaran 3-4 ton per hektarnya. Padahal berdasarkan informasi dari berbagai sumber, petani jagung di daerah lain, dengan lahan 1 hektar mampu menghasilkan panen di kisaran 7-10 ton.
Kemudian dari segi kualitas, jagung yang dihasilkan Desa Marobea, masih kalah kualitasnya dari jagung yang dihasilkan oleh desa-desa tetangga. Terutama dari aspek tingkat kadar air. Alasan utamanya, para petani kebanyakan sukar mau menjemur jagung hasil panennya. Sehingga jagung yang dihasilkan cukup tinggi kadar airnya. Akibatnya, acap kali dibeli dengan harga di bawah normal.
Dan demi mengakali agar kadar air jagung sesuai permintaan pasar, biasanya petani mendiamkan lebih dulu jagung hasil panennya di tempat penyimpanan pasca panen. Diangin-anginkan atau dikeringkan selama 1-2 bulan. Hal ini sangat menyita waktu, sebab normalnya petani jagung dapat menikmati penjualan hasil panennya dalam waktu 4 bulanan. Namun, karena kebiasaan tidak mau menjemur hasil panennya, akibatnya petani perlu waktu tambahan 1-2 bulan. Sehingga waktu yang dibutuhkan untuk menuai hasil menjadi 5-6 bulanan.
Kedua soal tadi, rasa-rasanya memang harus mendapat perhatian lebih untuk ditemukan solusinya. Dari segi kuantitas: entah pengelolahan lahan, entah pemilihan bibit, entah perlakuan pasca tanam–yang perlu dibenahi. Begitupun dari segi kualitas: entah perlu pendekatan persuasif agar masyarakat mau menjemur jagung hasil panennya, atau pun pendekatan teknologi–mumpung ada Dana Desa, mengapa tidak mesin pengering jagung segera diadakan oleh desa?
Sebab, jagung bukan lagi sekadar tugu yang berdiri kokoh di persimpangan desa. Ia hidup dan menghidupi. Lebih-lebih, sedari tahun lalu sudah ditetapkan sebagai produk unggulan Desa Marobea. Dan semoga penetapan ini bukanlah salah satu upaya untuk membangun citra sesaat belaka di khalayak. Akan ada upaya lanjutan. Akan ada upaya jangka panjang yang menunjang penetapan tersebut. Sehingga tidaklah salah, jikalau Marobea disebut sebagai “Desa Jagung”.
Penulis merupakan Ketua Serikat Pemuda Tani Dandila, Desa Marobea, Kecamatan Sawerigadi, Kabupaten Muna Barat