Oleh
Waode Rachmawati, S.Pd, M. Pd
Gelombang badai pandemi covid19 belum berakhir. Serangan virus mematikan ini telah memasuki tahun kedua di Indonesia. Lonjakan korban positif covid19 terus meningkat. Per 6 Juli 2021, kasus positif Covid mencatatkan rekor dengan penambahan 31.189 kasus. Jumlah pasien meninggal juga bertambah sebanyak 728 orang (cnnindonesia.com, 6/7/21)
Menyikapi pandemi yang tak kunjung usai ini, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar melayangkan surat resmi kepada seluruh kepala desa, pendamping desa dan warga desa untuk menggelar doa bersamabersama sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing (news.detik.com,3/7/2021).
Tak cukup hanya doa yang dilangitkan untuk mengakhiri musibah global ini. Namun lebih dari itu, muhasabah dan introspeksi diri sejatinya dilakukan oleh negeri. Mari kita menoleh ke belakang, saat pertama virus ini menyerang negeri tirai bambu China. Seharusnya pemerintah dapat mengambil kebijakan lockdown sebagai antisipasi masuknya virus. Alih alih lockdown, pemerintah justru membuka pintu selebar lebarnya untuk kedatangan para WNA asal China dan negara lain. Dengan dalil demi kepentingan ekonomi. Penyebaran virus pun tak bisa dihindari.
Ditambah lagi berbagai kebijakan penanganan yang dinilai karut marut, membingungkan, tumpang tindih, pun menambah kegaduhan masyarakat. Hal itu, berdampak pada beragamnya sikap masyarakat menyikapi pandemi ini. Ada yang betul betul mematuhi kebijakan dan himbauan pemerintah dengan protokol covid19. Ada pula masyarakat yang harus mengabaikan kebijakan dan prokes tersebut, untuk keluar mencari nafkah keluarga. Pun tidak sedikit masyarakat yang menganggap covid19 ini hanyalah sebuah konspirasi. Maka wajar jika pandemi covid19 belum ingin pergi dari bumi pertiwi ini.
Disinilah dibutuhkan muhasabah dan introspeksi diri baik dari rakyat apalagi penguasa. Mengapa musibah pandemi belum juga berakhir? Mengingat kembali firman Allah SWT dalam QS. Asy Syura: 30
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu (dosa) sendiri.”
Musibah datang boleh jadi disebabkan dosa-dosa yang pernah kita perbuat baik itu kekufuran, kesyirikan, ditambah lagi dosa besar dengan tidak menjadikan hukum Allah sebagai pengatur kehidupan kita. Oleh karena itu kita perlu untuk introspeksi diri dan segera bertaubat. Sudah terlalu lama kita jauh dari aturan Allah rabbul ‘alamin. Sehingga keberkahan negeri pun tak kunjung diraih. Banyak kewajiban yang ditinggalkan dan banyak keharaman yang dikerjakan.
Maka berharap dengan penanganan pandemi ala kapitalis sekuler, sama artinya jauh panggang dari api. Tidak akan mampu meberikan solusi yang solutif. Sebab berbagai kebijakannya pun banyak yang justru menjauhkan kita dari kewajiban dan mendekatkan kita pada keharaman. Sebut saja kebijakan lockdown yang seharusnya diambil, justru ditinggalkan. Kebijakan pembatasan mobilitas, seperti Kebijakan new normal, PSBB dan terbaru PPKM, pun tak mampu memberi solusi. Justru kian menambah keterpurukan masyarakat terutama masyarakat menengah ke bawah. Sebab masyarakat semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup. Ditambah lagi kegaduhan semakin parah, saat Penegakkan hukum terhadap pelanggaran prokes yang tebang pilih, dan dana bansos covid19 pun dikorupsi.
Jika sudah begitu, cukupkah kita hanya berdoa meminta agar pandemi ini diangkat dari negeri ini. Sedang usaha kita tidak sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Allah SWT. Justru berbagai pelanggaran terhadap aturanNya terus dilakukan.
Sudah saatnya kita kembali pada syariat islam. Yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk mengatur cara penanggulangan wabah atau pandemi. Langkah strategis yang seharusnya diambil adalah lockdown. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw., “Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat, maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu, maka janganlah keluar darinya.” (HR Muslim)
Sayangnya, negeri kita masih didominasi kebijakan kapitalis sekuler yang masih bertarik ulur antara lockdown atau kepentingan ekonomi. WNA dan TKA pun masih leluasa bermigrasi ke sini. Sedangkan dalam sistem islam konsep lockdown yang dilakukan oleh negara tidaklah berorientasi ekonomi, melainkan fokus pada aspek kesehatan dan penyelamatan jiwa rakyatnya.
Bersamaan dengan itu, negara wajib memenuhi segala hal yang dibutuhkan agar wabah segera teratasi. Mulai dari dukungan logistik, fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, obat-obatan, alat test, vaksin, dan lain-lain. Bahkan negara wajib memastikan kebutuhan masyarakat selama wabah tetap tercukupi. Negara atau penguasa tak boleh membiarkan masyarakat menantang bahaya hanya karena alasan ekonomi.
Segala kebutuhan tersebut tentu akan dosuport dengan pendanaan yang memadai. Maka disinilah peran negara yang akan mengelola sumber-sumber keuangan yang ada, termasuk harta milik umum di kas negara untuk memenuhi hajat hidup masyarakat, khususnya mereka yang terdampak agar kesehatan mereka terjaga dan imunitasnya tinggi. Tentu tanpa iming-iming syarat atau prosedural yang memberatkan.
Wallahu ‘alam bishowab
Penulis adalah aktivis dakwah muslimah Kota Kendari