Oleh: Maolana Mohammad Sah, S.Psi., M.Si.
Ketika memasukin akhir bulan di tahun 2020, dunia virtual diriuhkan dengan sebuah video yang memperdengarkan laungan seorang anak berusia 7 tahun. Bersumber pada Kanit Reskrim Polsek Pondok Gede Iptu Santri Dirga yang dipetik dari Kompas.com menandaskan bahwa video tersebut adalah nyata. Laungan yang terdengar merupakan permohonan belaian kasih anak kepada bapak tirinya yang sedang memukulnya karena dia tidak mengerjakan tugas sekolah.
Video kekerasan tersebut merupakan penutup kasus kekerasan pada anak diakhir tahun 2020 yang terekspos versi penulis, namun bukan berarti video kekerasan tersebut merupakan satu-satunya tindakan kekerasan yang terjadi pada anak di masa pademi ini.
Mungkin kita pernah mendengar cerita di Desa Cipalabuh, Kabupaten Lebak, Banten pada bulan Agustus 2020. Ada seorang ibu yang secara “sadar” menzalimi anaknya yang susah digurui ketika belajar daring. Mungkin pula, ada kekerasan pada anak yang tidak terekspos karena sifat antipasti kita sesama tetangga atau sesama manusia. Alasanya mungkin, itu anak dia atau kekerasan sudah menjadi tradisi di lingkungan kita untuk mendidik anak-anak, asalkan anak itu tidak meninggal.
Beralaskan Fenomena tersebut, masa pademi ini tidak hanya memberikan bencana pada sisi kesehatan fisik, ekonomi dan sosial. Namun penulis menganggap pademi ini merupakan ajang suami-istri membuktikan diri mereka, apakah siap menjadi “orang tua” pada anak-anak mereka.
Kenapa menjadi ajang pembuktian? Menurut penulis, masa sebelum pendemi menyerang Indonesia, suami-istri hanya asyik dengan kehidupan mereka dan mempersiapkan masa depan mereka dari pagi sampai malam. Namun apa yang dilakukan pada anak-anak mereka? Anak-anak mereka diserahkan kepada sekolah, tempat kursus atau pembantunya. Sedangkan di rumah, mereka hanya mempersiapkan baju, makanan dan kebutuhan-kebutuhan sekolahnya.
Sekarang, pandemi telah menguasahi Indonesia. Kita semua diharuskan menjalani protokol kesehatan dan membatasi gerak di ruang publik. Itu artinya anggota keluarga yang dulunya kurang bertatap muka, kini lebih dominan melakukan interaksi di rumah. Apakah itu baik? Seharunya baik, tapi beberapa suami-istri tidak memiliki kesiapan menjadi “orang tua” yang dapat mendidik, mendengar keluh kesah anak, dan menjadi teman bermain anak. Peran itu harusnya mereka lakoni di rumah karena pertemuan mereka yang jauh lebih lama dibandingkan kemarin (sebelum pandemi). Kesiapan ini pun harus membutuhkan kesabaran seperti guru-guru yang manusiawi menghadapi anaknya orang lain di sekolah.
Perlu disadari, beban kerja yang dialami suami-istri sebagai penanggungjawab kehidupan anak secara fisik sangatlah besar sehingga kadang kala mejadi stressor bagi dirinya. Stressor ini biasanya dibawah sampai di rumah dan dapat menjadi pemicu kekerasan pada anak yang lagi membutuhkan perhatian dari orang tuanya. Bukan hanya itu saja, faktor kurangan pengetahuan tentang pola asuh dan perkembangan anak juga menjadi biang kekerasan pada anak. Mungkin kita harus jujur, seberapa lama dan berkesannya interaksi kita pada anak dibandingkan pekerjaan, HP, TV dan shopping. diluar dari itu semua, kita juga harus sadari dan tidak menutup mata, akan seorang anak yang lahir dari suami-istri sangat memutuhkan asupan psikologis, baik perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya.
Apakah anak menjadi penganggu mereka, sehingga mereka rela menyakiti anak-anak mereka?. Pertanyaan ini mengingatkan penulis akan suatu berita yang dikabarkan oleh TribunJogja.com yang menjelaskan kenapa orang Jepang tidak menginginkan seorang anak. Salah satu jawaban yang menarik adalah menjadi orang tua itu merepotkan. Menurut penulis, seharusnya orang Indonesia harus jujur sebagai negeri beragama, agar tidak ada lagi korban yang berjatuhan.
Penulis adalah Dosen Jurusan Psikologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo, Kendari