Oleh: Sahrum Duta, SE
Konsep demokrasi secara sederhana dimaknai sebagai pemerintahan yang kedaulatannya terletak pada rakyat dan sering dilawankan dengan konsep totalitarianisme.
Hampir seluruh negara di dunia, kini mendaulat dirinya sebagai negara demokrasi. Demokrasi pada dasarnya memberikan harapan kebahagiaan dan kepuasan bagi rakyat, karena rakyat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan penentuan kebijakan publik. Idealnya dalam sebuah negara demokrasi, rakyatlah yang memerintah, membuat undang-undang, dan melakukan aktivitas-aktivitas penyelenggaraan negara lainnya.
Namun, konsep demokrasi langsung semacam itu sulit dilakukan untuk saat ini.
Demokrasi yang berkembang dewasa ini adalah demokrasi perwakilan (representative democracy), sehingga pelaksana aktivitas- aktivitas tersebut adalah orang-orang yang dipilih oleh rakyat melalui Pemilihan Umum (Pemilu) Di kebanyakan negara demokrasi, tak terkecuali Pemilu di Indonesia, sebagian menganggap lambang sekaligus tolok ukur dari demokrasi itu.
Hasil pemilu yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat. Kendati demikian, perlu dipahami bahwa
Pemilu tidak merupakan satu-satunya tolok ukur dan tentunya perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya. Indonesia pasca perubahan UUD 1945 menganut sistem demokrasi.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan negaranya, di mana mekanisme pengisian jabatan-jabatan politik penting dalam pemerintahannya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dalam hal ini, seluruh anggota DPR, DPD, dan DPRD dipilih oleh rakyat melalui Pemilu Legislatif (Pileg). Demikian juga presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat melalui Pemilu Presiden (Pilpres). Adapun kepala daerah dipilih secara demokratis yang dalam undang-undang ditegaskan dipilih oleh rakyat secara langsung melalui Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada).
Untuk mewujudkan maksud dan tujuan ideal penyelenggaraan Pemilu umum, tentunya harus mempersiapkan terbangunnya lembaga penyelanggara pemilu yang memiliki karakteristik profesionalisme.
Profesionalisme dalam kebutuhan ini, seyogianya badan atau lembaganya terisi dengan sumber daya manusia (SDM) yang andal atau ahli.
Secara spesifik, seorang penyelenggara Pemilu dianggap profesional, harus memiliki kemampuan berbeda dari bidang pekerjaan lainnya. Adapun indikasi sederhana profesionalisme penyelenggara pemilu adalah:
(1) memiliki kemampuan atau keterampilan dalam menggunakan peralatan yang berhubungan dengan bidang pekerjaan pemilu; (2) memiliki ilmu dan pengalaman dalam menganalisis; (3) bekerja di bawah disiplin kerja; (4) mampu melakukan pendekatan disipliner; (5) mampu bekerja sama dengan para stakeholder; dan (6) cepat tanggap terhadap masalah pemilu yang kedatangannya sulit terprediksi.
Bertolak dari deskripsi ini, maka profesionalisme penyelenggara pemilu dilihat dari tiga aspek. Pertama, aspek kepemimpinan.
Sejujurnya peran kepemimpinan seseorang/individu merupakan faktor yang dapat menggerakkan daya dan usaha penyelenggara di bawahnya serta dapat mendukung organisasi dalam mengembangkan tujuan dan pelayanannya.
Gaya kepemimpinan yang menarik untuk dipahami berkaitan dengan pekerjaan sebagai penyelenggara pemilu adalah kepemimpinan transformasional atau kolektif kolegial.
Kepemimpinan kolektif kolegial mempunyai potensi paling besar dalam menanamkan dan memperkuat aspek-aspek budaya dalam organisasi Penyelenggara Pemilu. Korelasi kepemimpinan berhubungan dengan budaya organisasi, bagaimana penyelenggara mempersepsikan karakteristik dari aturan-aturan yang ada serta nilai nilai yang berlaku dan dihayati bersama.
Budaya memberikan nilai
identitas diri pada anggota organisasi, dengan adanya budaya organisasi, maka komitmen bersama menjadi dasar dari gerak usaha organisasi.
Kedua, aspek integritas. Integritas badan penyelenggara merupakan suatu kondisi dalam diri petugas pemilu mengikatkan dirinya dalam pelaksanaan Pemilu di mana ia bertugas. Ikatan itu berupa kepercayaan dan penerimaan yang teguh terhadap visi, misi, dan tujuan, serta nilai-nilai yang dibangun di Penyelenggara Pemilu.
Penyelenggara yang memiliki integritas terhadap kedudukannya sebagai tenaga profesional, ia akan berupaya melaksanakan tugasnya dengan baik. Integritas sebagai seorang penyelenggara pemilu menjadikan para petugas di dibawahnya bekerja sepenuh waktu supaya bisa diterima dengan baik oleh masyarakat di tempat mereka bertugas. Ketiga, aspek independensi.
Dalam menyelanggarakan Pemilu Penyelenggara harus bebas dari pengaruh pihak manapun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya.
Gambaran nilai independensi anggota Penyelenggara Pemilu sesungguhnya telah ditasbihkan pada pengucapan sumpah/janji Jabatan pada saat pelantikan.***
Penulis adalah penggiat Jaringan Advokasi Kebijakan Publik