Transformasi Kesadaran Politik Menyambut Pemilu 2024

Pena Opini172 views

Oleh: Sofyan

Tidak lama lagi masyarakat Indonesia akan menghadapi momen politik 2024. Aroma pertarungannya sudah mulai tercium. Sejumlah Partai Politik (Parpol) sudah mulai membangun interaksi dan manuver membangun koalisi untuk merebut kekuasaan. Kontestasi politik kali ini menyulut sejumlah figur berebut simpati maupun menggalang dukungan rakyat.

Mereka mulai menebar gimik dan aura merakyat, yang sebagaimana biasanya ketika menjelang momen pemilu.

Ini memang pola lama dan umumnya masyarakat sudah terbiasa dengan tontonan dan atraksi semacam ini. Ketika menyebut istilah politik, yang terlintas kadang konotasi-konotasi negatif.

Hal ini tampak pada rendahnya kepercayaan public terhadap partai politik dan lembaga legislatif, seperti hasil survey Indikator Politik Indonesia belum lama ini menguak bahwa tingkat kepercayaan rakyat atas partai politik hanya sebesar 56,6 persen dan diikuti oleh DPR yang hanya 62,6 persen.

Potret ini menguak Konstelasi politik bangsa ini dari pusat hingga daerah yang masih saja dipenuhi berbagai macam persoalan. Dan masalah tersebut kian hari seolah bertambah pelik serta senantiasa terus saja mengalami pengulangan. Sebut saja masalah money politik yang lagi-lagi sudah jadi rahasia bersama. Bahkan sebagian politisi terang-terangan mengakui hal itu seraya mengeluhkan mahalnya ongkos politik di negeri ini. Hal ini sungguh ironis memang, kampanye dan sosialisasi tolak politik uang tiada hentinya didengungkan, namun alih-alih menindak, transaksi jual beli suara malah terus eksis dari pemilu ke pemilu. Bahkan hingga tingkatan pemilihan kepala desa pun, masalah ini selalu muncul dan malah membudaya.

Dampaknya, kontestasi politik di setiap pemilu bukan lagi bicara tawaran politik gagasan serta uji kelayakan dalam melahirkan kepemimpinan yang layak, melainkan pertarungan antara modal politik (kekuatan uang).

Meski sudah banyak dilaporkan oleh para peneliti hingga dari pihak KPK sendiri mengungkapkan bahwa biaya pemilu di tingkat kabupaten dan kota bisa mencapai 20 hingga 30 miliyar, sedangkan untuk memenangkan pemilihan ditingkat Gubernur dibutuhkan modal ratusan miliar.

Praktek politik uang ini berkonsekuensi memunculkan elitisme politik. Karena mahalnya ongkos politik, maka pemenang pemilu hanya bagi mereka yang punya modal atau setidaknya punya sokongan dukungan finansial dari para pemilik modal. Untuk yang terakhir ini, merupakan pola dominasi oligarki yang juga adalah masalah besar dalam mewujudkan kualitas demokrasi pada semua level.

Elitisme politik dan oligarki ini patut disebut ranjau demokrasi yang menimbulkan banyak masalah, baik kesenjangan sosial, kemiskinan, eksploitasi dan monopoli serta praktek eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam.

Jadi alur tiap kontestasi politik, siapapun pemenang pemilu, pemenang sesungguhnya ialah para pemilik modal yang mengongkosi pemilu. Sehingga kedaulatan milik rakyat pun dibajak oleh oligarki.

Sementara pada level kultural, praktek transaksional dan elitisme politik tersebut turut mempengaruhi kesadaran dan kebiasaan masyarakat. Hal yang disayangkan ialah ketika konsepsi politik menjadi disempitkan maknanya hanya pada urusan electoral partai, perebutan kekuasaan dan pragmatisme semata.

Masalah-masalah politik di level struktural yang terus terulang dan bertambah lebar, kemudian mempengaruhi persepsi masyarakat tentang politik. Bisa dibayangkan, apabila masyarakat secara umum sudah tidak lagi mengenal hakikat politik sesungguhnya, maka segala persoalan pragmatisme, elitisme dan rongrongan oligarki didalam politik malah akan dianggap sebagai hal yang biasa dan normal oleh masyarakat.

Bisa dibayangkan bila kelas masyarakat yang dirugikan dari praktek politik struktural yang sudah sedemikian rusak seperti di atas, tidak lagi mempersoalkan keadaan tersebut, maka struktur penindasan politik ini akan senantiasa terus terawat sepanjang sejarah kebangsaan kita. Padahal sejatinya ditangan Rakyatlah harapan satu-satunya agar tatanan struktural yang pragmatis itu bisa diubah atau diperbaiki.

Bila situasi tersebut terus berlangsung lama dan dibiarkan, maka berpotensi mengancam keberlangsungan dan eksistensi Indonesia berdasarkan tujuan dan cita-cita pendiriannya.

Transformasi Kesadaran Politik 

Menyadari itu semua, tentu kita akan bertanya. Apa penyebab situasi ini bisa terus terjadi?, Mesti ditemukan akar masalahnya dan menjawabnya dengan upaya reformasi untuk memperbaikinya, terutama dalam menyambut momen Pemilu 2024 nanti. Hemat saya, yang relevan untuk didorong adalah kesadaran masyarakat. Selain itu, karena masyarakat juga sebetulnya merupakan subjek penggerak politik didalam sejarah dan penentu jalannya sejarah.

Bila melihat dari segi subtansi, maka segala aktifitas sosial yang berkaitan dengan berbagai dimensi pendidikan, ekonomi, budaya, spiritualitas dan lain-lain maka itu juga bisa disebut sebagai aktifitas politik. Jadi politik bukan hanya ada pada pemilu, di partai ada pada di kekuasaan structural negara, melainkan ada pada berbagai ruang sosial, entah dimanapun itu, di sekolah, di rumah, di ruang public, di kebun-kebun dan tempat-tempat lainnya.

Selagi sebuah aktifitas itu adalah untuk diluar keperluan individu, maka itu merupakan aktifitas politik karena punya implikasi sejarah bagi kehidupan masyarakat (Shadr, 2010).

Bila ada seorang petani, melakukan aktifitas pengajaran metode pertanian agar masyarakat punya modalitas pengetahuan pengembangan kemandirian pangan dan ekonomi, maka seorang petani tersebut sedang melakukan aktifitas politik. Begitupun elemen-elemen lain di masyarakat. Jadi peran politik bukan hanya bagi para elit atau bagi mereka yang punya modal uang banyak. Hal ini menandakan bahwa subjek politik yang sesungguhnya itu ialah masyarakat itu sendiri. Sehingga bila ditarik pada konteks electoral atau politik structural negara, maka mestinya mereka yang menduduki posisi-posisi pemimpin ialah mereka yang punya basis dan peran sosial yang mengakar di masyarakat secara kultural. Bukan seperti yang umumnya terjadi sekarang, hanya karena punya uang banyak tetapi sama sekali tidak ada peran sosialnya di masyarakat.

Kesadaran politik semacam ini akan menjadikan sarana demokrasi kita akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas pada setiap pemilu. Bila masyarakat menyadari perannya sebagai subjek politik, maka pemilu akan menjadi media yang progresif karena masyarakat akan menentukan pilihan politiknya pada sosok-sosok yang mencerminkan kepemimpinan politik yang sesungguhnya. Tentu kesadaran yang dimaksudkan ini ialah kesadaran yang mendalam dan subtansial, bukan sekedar kesadaran yang artifisial. Dan kesadaran mendalam itu hanya bisa diperoleh lewat media pendidikan yang serius.

Inilah masalah utama kita. Mestinya sosialisasi atau pendidikan politik dilakukan dengan serius dan massif, bukan sekedar formalitas dan momentum, sebagaimana umumnya yang terjadi sekarang. Peran pendidikan politik ini mesti dipikirkan bersama oleh berbagai elemen struktural maupun kultural didalam rumah kebangsaan kita. Sudah tentu hal ini membutuhkan upaya kerjasama dan tahapan waktu yang tidak sebentar dan yang terpenting harus segera dimulai sejak sekarang agar demokrasi negeri ini tidak terus-terusan tersandera oleh politik oligarki.

Momen pemilu yang akan kita hadapi di 2024 mendatang, bisa kita manfaatkan sebagai momentum dan merefleksikan kembali realitas politik kebangsaan kita. Dengan mereformasi paradigma pendidikan politik kita secara lebih progresif. Hal ini bisa dimulai dari institusi-institusi demokrasi yang memiliki peran sentral seperti Komisi Pemilihan Umum. Dengan momentum pemilu 2024, KPU bisa bersinergi dengan berbagai pihak secara lebih serius dengan merumuskan dan mengaktualisasikan pendidikan politik yang dimaksud.

Misalnya dengan lebih banyak berdialog dengan kelompok-kelompok civil society baik yang kiri maupun yang kanan, kelompok agama, komunitas sosial, kelompok aktivis lingkungan, lembaga-lembaga mahasiswa, lembaga pendidikan, serikat-serikat buruh atau tani serta nelayan, dan lain-lainnya. Sinergi yang mesti dilakukan tidak hanya sebatas seremonial dan formalitas belaka melainkan mesti berorientasi kultural dan berkelanjutan dengan sasaran agar tercipta tradisi-tradisi intelektual yang mengakar di masyarakat yang berkaitan dengan transformasi pendidikan politik progresif di masyarakat.

Sekali lagi, memang model ini membutuhkan waktu yang lama, kesabaran dan keseriusan. Dan ini memang mesti segera kita kerjakan bersama, demi menyelamatkan negeri ini.

Sepertinya kita pun harus meminjam semangat Imam Ali Bin Abi Thalib dalam komitmen politik agar kita dikenang dalam mempertahankan keadilan meski dibayar dengan kekalahan dari pada menang karena kezaliman.***

Penulis adalah Petani Rumput Laut yang aktif sebagai Wakil Ketua GP Ansor Cabang Buton Tengah Sulawesi Tenggara