PENASULTRA.COM, KENDARI – Pemberlakuan kewajiban melengkapi surat keterangan verifikasi (SKV) bagi para penambang yang beroperasi di Sulawesi Tenggara (Sultra) bukan tiba-tiba pasca Ali Mazi-Lukman Abunawas dilantik sebagai pasangan Gubernur dan Wagub Sultra.
Persyaratan tersebut menurut, Kabid Minerba Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sultra, Yusmin itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 pasal 140 ayat 3. Yang mana, menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang izin usaha pertambangan (IUP), izin pemanfataan ruang (IPR) atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 antara lain berupa pengawasan teknis pertambangan, pemasaran, keuangan, pengolahan data mineral dan batubara, konservasi sumber daya mineral dan batubara, keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan, keselamatan operasi pertambangan, pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang, serta pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri.
Kemudian pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat, penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan, serta kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang menyangkut kepentingan umum, pengelolaan IUP atau IUPK, serta jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan.
Dengan kewenangan pemerintah daerah yang melekat melalui UU Nomor 23 Tahun 2014, gubernur, kata Yusmin, menerbitkan Pergub Nomor 89 Tahun 2016 tentang perubahan atas Pergub Nomor 39 Tahun 2013 tentang peningkatan nilai tambah dan pengendalian ekspor mineral dan batubara di wilayah Sultra.
“Pergub ini berisi tentang kewajiban pemilik IUP. Sebelum melakukan penjualan dan pemasaran maka harus terlebih dahulu mendapatkan surat keterangan verifikasi dari Dinas ESDM,” papar Yusmin saat dihubungi, Kamis 18 April 2019.
Selain pemberlakuan SKV, Yusmin juga menekankan pentingnya rencana kerja anggaran dan biaya (RKAB) sebagai kewajiban pemilik IUP dan IUPK sebelum melakukan penambangan, produksi dan pemasaran sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009.
“Dan bila perusahaan tidak memiliki RKAB, maka tidak bisa melakukan apa-apa dan akan diberikan sanksi administratif berupa penghentian sementara atau bisa jadi pencabutan izin,” tegas Yusmin.
Mengenai sorotan terkait PT Paramita Persada Tama (PPT) dan PT Manunggal Sarana Surya Pratama (MSSP) yang disinyalir telah melakukan aktivitas penambangan dan penjualan ore nikel secara ilegal, kata Yusmin, hal itu benar adanya.
Sebab, kedua perusahaan pertambangan yang beroperasi di Desa Boenaga, Kecamatan Lasolo, Kabupaten Konawe Utara (Konut) itu tidak mengantongi SKV dan dokumen RKAB sekaligus tak patuh atas pemberlakuan Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2018.
Dari data sepanjang 2018, PT PPT mencatat angka penjualan hingga 1.204.500 WMT dan PT Manunggal 560 ribu WMT. Sementara tetangganya, PT Daka Group hanya berkisar 150 WMT.
Dengan adanya jumlah penjualan seperti itu, kata Yusmin, patut ditengarai keduanya banyak merugikan daerah. Salah satunya dari sektor pajak pendapatan bahan bakar minyak kendaraan bermotor yang diduga dibeli dari pasar gelap lantaran kedua perusahaan itu tak bisa menunjukkan bukti faktur pembelian BBM yang sudah diisyaratkan dalam SKV.
“PT Paramita tahun 2019 tidak ada penempatan jaminan reklamasinya, Manunggal dari tahun 2018 sampai sekarang. Tapi, mereka tetap melakukan pengiriman,” tutur Yusmin blak-blakkan.
Sementara itu, pihak PT Paramita yang dikonfirmasi masih enggan berkomentar. Sedang pihak PT Manunggal hingga berita ini naik tayang, belum juga berhasil diklarifikasi.(a)
Penulis: Sal
Editor: Ridho Achmed