Dalam pidatonya saat kunjungan ke Batang, Bapak Jokowi menekankan pentingnya upaya untuk membujuk investor yang migrasi dari China untuk beroperasi di Indonesia. Baik yang berasal dari Jepang, Korea, Amerika maupun dari negara lain. Intinya, ajakan untuk investasi dan membangun industri di Indonesia. Harapannya, dari situ, tercipta lapangan kerja sebanyak-banyaknya.
Saking seriusnya niat pemerintah untuk menarik investor, Bapak Jokowi sampai terkesan mengobral secara bar-bar. Ia mencontohkan, jika negara lain menawarkan harga tanah satu juta rupiah, kita tawarkan lima ratus ribu rupiah. Pokoknya, siapkan kondisi agar investor yang berencana membangun industri di Indonesia merasa dilayani dengan baik.
Sungguh, saya sedih kala memirsa pidato Bapak Jokowi. Bukannya apa-apa, negara dengan SDM dan SDA yang melimpah menjadi laiknya ayam yang kelaparan di lumbung padi. Stok gabah yang melimpah tergembok oleh pembatas yang bernama sumber daya finansial (SDF)/uang.
Nalar saya tergelitik. Bukankah SDM dan SDA sudah ada terlebih dahulu sebelum SDF? Bukankah, SDF ada karena ada manusia yang menciptakannya? Mengapa manusia lantas terbatasi (tersandera) gegara uang? Bukankah seharusnya “money follow the people”, uang mengikuti (produktivitas) manusia dan bukan sebaliknya?
Sering saya mendengar cuitan seperti ini, “Mengapa tidak dicetak saja uang yang banyak, terus dibagikan ke rakyat ?” Ditimpali begini, “Jika itu dilakukan, maka akan terjadi inflasi seperti jaman Pak Karno. Bahaya”. Teranyar, muncul tawaran nyeleneh, “Mengapa kita tidak ikut China, punya dua mata uang. Ada mata uang lokal yang dicetak berbasis proyek, tanpa bunga. Seluruh faktor-faktor produksinya berasal dari dalam negeri. Proyek selesai, uang ditarik (dibakar)”.
Cara Indonesia memandang, mendefinisikan dan mengatur uang, idealnya, tidak ketiganya, (i) berbasis bunga dan hutang seperti yang berlaku sekarang (ii) dicetak bebas (iii) atau dicetak terbatas berbasis proyek.
Paradigma atau haluan Pancasila dalam memandang uang bisa terlacak pada Pasal 1 ayat (2), Pasal 29 ayat (1), penjelasan UUD 1945 BAB VIII Hal Keuangan Bagian Penjelasan, “…uang adalah pengukur nilai/ harga …” dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Dari aspek Ketuhanan, agama sebagai nilai-nilai luhur yang telah hidup di Indonesia, tidak ada satu pun yang membenarkan pengelolaan uang yang berbasis hutang dan bunga (riba). Silakan dicek ke setiap agama: Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu serta aliran kepercayaan.
Dari aspek materialisme (atheism, nontheisme) pun, pengelolaan uang berbasis hutang dan bunga tidak logis. Ada hukum siklus yang dilanggar khususnya bunga/interest/riba. Ada tagihan (catatan)nya, sementara uangnya tidak pernah dicetak. Pada titik atau periode tertentu, bunga atas uang akan menyebabkan bubble economic, stok uang tidak mampu mengimbangi akumulasi produktivitas yang menuntut disediakannya uang.
Oleh sebab itu, pantaslah kita bertanya, “Lha, pengelolaan uang (Keuangan Negara dan Uang Rupiah) yang berlaku sekarang mandatnya siapa? Bukankah rakyat saat memilih itu kosongan, nir-mandat? Hanya memilih orang atau partai”. Bukankah uang itu menguasai hajat hidup orang banyak sehingga wajib dikuasai negara? Kok Presiden RI tidak bisa campur tangan dalam pengelolaannya (moneter)? Kok Bank Indonesia (BI) selaku penanggungjawab moneter sifatnya independen?
Bukankah pengelola BI orangnya diseleksi DPR RI dan dilantik oleh Presiden RI yang notabene dipilih oleh rakyat? Saat rakyat butuh uang untuk menggerakkan perekonomian, atas nama stabilitas, kok BI enggan menambah uang. BI beralasan, uang sudah cukup, ada di bank-bank. Mengapa bank tidak mengeluarkan uang ke masyarakat? Faktor risiko, apalagi di masa pandemik seperti ini. Lha, bukannya tujuan utamanya adalah rakyat meskipun berakhir bank merugi? Tidak bisa begitu, Bos. Semua ada aturannya”. Ujungnya, kita (semua pihak) di(ter)paksa/terpenjara oleh aturan tanpa adanya solusi.
Singkat cerita, situasi ini sudah berlangsung lama, sejak kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) ditandatangani.
Indonesia merdeka dengan syarat menanggung hutang VOC. Harapannya, bisa dilunasi sambil jalan. Sayangnya, saat me-running negara, kita belum sempat memikirkan bagaimana mengelola uang (rupiah). Alhasil, kita gunakan uang franchise internasional yang pengelolaannya ikut aturan internasional (the debt based money system). Biar kelihatan milik kita (nasionalis), diberi nama Bank Indonesia. Uang beredar dimaknai sebagai hutang. Ini pula alasan mengapa hutang Indonesia tidak pernah lunas dan nilainya terus naik hingga sekarang. Uang yang kita pakai untuk melunasi hutang diterbitkan berdasarkan akad hutang plus bunga. Gali dua lubang untuk menutup satu lubang.
Oleh sebab itu, saudara sekalian, sebangsa setanah air. TANPA KEUANGAN NEGARA (UANG RUPIAH) yang BERDAULAT, hingga darah berwarna hijau, sampai kapan pun kita akan terus terpenjara, terjajah. Suka tidak suka, uang adalah core of the core, key of the key. Tanpa mengembalikan pengelolaan uang yang sebatas pengukur nilai (cermin produktivitas) atau dalam terma keren ekonominya uang hanyalah faktor dependen dan produktivitas sebagai faktor independen (money follow the people), kita akan terus terjebak pada situasi yang saya sebut lost in the maze, BERPUTAR-PUTAR dalam situasi KEBUNTUAN ABSOLUT. Politik uang yang melahirkan kekuasaaan (termasuk Presiden RI), SDA yang tergadai oleh secuil investasi (emas di Papua, semen di Kendeng, sawit di Sumatera dan Kalimantan, nikel di Morosi dan tempat-tempat lainnya), kemiskinan, pengangguran, ketimpangan sosial ekonomi dan kerusakan lingkungan hanyalah sederet efek kerusakan berantai dari THE DEBT BASED MONEY SYSTEM, pengelolaan uang berbasis hutang dan riba/ bunga.
Pertanyaan pentingnya adalah “Bagaimana jika ternyata Indonesia telah memiliki pengelolaan uang yang berdaulat, yaitu PENGELOLAAN UANG (FISKAL/ MONETER) BERBASIS SIKLUS PRODUKTIVITAS (EKONOMI PANCASILA), bukan hutang dan tanpa bunga/ riba? Bagaimana sikap Anda?”
Penulis adalah mantan presiden mahasiswa Universitas Gaja Mada (UGM) Periode 2009