Warga Ungkap Deretan Dugaan Pelanggaran PT FBS di Kolaka Utara

PENASULTRA.COM, KOLUT – PT FBS kembali menuai polemik oleh masyarakat lingkar tambang di Kabupaten Kolaka Utara (Kolut), Sulawesi Tenggara (Sultra).

Rustam warga Dusun Labundalah, Desa Pitulua, Kecamatan Lasusua membeberkan bahwa sebelumnya pihak perusahaan telah mengakui lahan yang ia garap dalam bentuk berita acara pada tanggal 22 Januari 2022.

“PT. FBS sudah akui lahan saya, bahkan saya kurang bijak bagaimana lagi terhadap pihak perusahaan,” katanya, Selasa, 13 Juni 2023.

“Pada tahun 2022 memang pernah diadakan survey dan pengukuran oleh pihak perusahaan dan bersama oknum Kehutanan Patampanua Kolaka Utara. Mereka mengakui bahwa benar-benar di lahan rumpung kami terdapat banyak tanaman cengkeh, meski mereka sendiri mengakui lahan tani kami terdapat banyak tanaman cengkeh namun mereka tetap melakukan tindak penyerobotan dengan alasan mereka merasa lebih berhak karena perusahaan mengantongi izin kata oknum pihak kehutanan dan pihak perusahaan,” jelasnya.

Rustam juga mengungkapkan bahwa lahan garapan tersebut telah diakui oleh Pemerintah Desa Pitulua, Kecamatan Lasusua Kabupaten Kolaka Utara.

“Dalam surat yang diberikan oleh Pemerintah Desa Pitulua yang ditandatangani oleh Kepala Desa Akbar Hamzah pada tanggal 18 Oktober 2017 menerangkan bahwa lahan garapan kebun cengkeh rumpun kami seluas 20 Hektar,” ungkapnya.

Ia juga menuturkan bahwa pihaknya kerap mendapatkan intimidasi dari beberapa oknum tersebut.

“Kami dan keluarga sering diintimidasi atau di takut-takuti oleh pihak perusahaan bersama oknum kehutanan, bahwa bila kami tidak siap menerima kompensasi oleh pihak mereka maka mereka akan mengambil paksa berdasarkan peraturan perundang-undangan karenaa tempat kami berkebun masuk kawasan hutan HPT, mereka sering berasumsi bahwa kami tidak akan lagi dibayar oleh perusahaan karena menurut mereka lokasi yang kami tempati berkebun wilayah IUP perusahaan mereka, terkadng oknum dari kehutanan yang turun ke lokasi tidak mengantongi surat perintah dari atasan meski mereka berasusmsi bahwa kami di perintahakn oleh atasan, namun saya tetap bertahan dan tidak meberikan lahan saya untuk digarap oleh pihak perusahaan, meski kami di lokasi sering beradu argumentasi,” bebernya.

Ia juga mengungkapkan bahwa janji pemberdayaan masyarakat hanya tinggal janji saja. Nyatanya hanya kurang lebih 10 orang dari masyarakat sekitar yang dipekerjakan.

“Dan adapun masyakarat yang dijadikan tenaga kerja di desa puncak monapa tidak banyak,” tambahnya.

Selain itu pihaknya juga membeberkan bahwa hingga saat ini pihak perusahaan tidak memberikan dana dampak akibat aktivitas tambang.

“Adapun masalah dana dampak dua desa yang belum pernah tersalurkan yaitu Desa Puncak Monapa dan Desa Totalang, meski sudah kita musyawarahkan dari pertengahan tahun 2022, sampai hari ini dana dampak tersebut belum pernah sama sekali disalurkan ke dua desa tersebut, meski mereka sudah kurang lebih satuhun beraktivitas,” bebernya.

Pihaknya juga mempertanyakan terkait penggunaan jalan masyarakat oleh pihak perusahaan.

“Termasuk jalan hauling perusahaan itu jalan umum masyarkat yang di lalu lalangi masyarakat nelayan dan petani setiap waktu, Perlu dipertanyakan apakah jalan hauling tersebut sudah ada izin dari intansi terkait,” pungkasnya.

Senada dengan hal tersebut Ketua Jaringan Lingkungan Hidup Indonesia, Muhammad Anugrah Panji S menyangkan sikap dan pernyataan oknum KPH.

“Seharusnya ia paham aturan dan menjadi penengah ditengah konflik yang terjadi antara pihak perusahaan dan masyarakat, ini malah dengan pernyataannya seperti berpihak pada pihak perusahaan,” katanya.

Ia juga mengungkapkan bahwa sebaiknya oknum tersebut belajar lagi, karena berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (PPTKH) untuk mempercepat reforma agraria melalui legalisasi obyek agraria di kawasan hutan.

“Dengan Perpres tersebut Pemerintah akan segera menyelesaikan dan memberikan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat yang menguasai/memanfaatkan bidang tanah dalam kawasan hutan. Masyarakat yang menguasai tanah di kawasan hutan akan diberikan hak milik, apabila memenuhi kriteria, yaitu 1. Tanah telah dimanfaatkan dengan baik, 2. Bidang tanah bukan merupakan obyek gugatan/sengketa, 3. Adanya pengakuan oleh adat ataupun kepala desa/kelurahan dengan saksi yang dapat dipercaya,” ungkapnya.

“Dengan hadirnya Perpres tersebut seharusnya menjadi pedoman oknum KPH tersebut, kenapa pihak perusahaan cepat sekali diuruskan IPPKHnya sedangkan masyarakat tidak, karena masyarakat duluan beraktivitas melakukan aktivitas pertanian ketimbang pihak perusahaan melakukan aktivitas tambangnya,” ungkapnya.

Ia juga menuturkan bahwa PPTKH ini adalah salah satu upaya mewujudkan pilar pertama yaitu kepemilikan lahan dalam kaitan kebijakan pemerataan.

Terkait hal tersebut Jurnalis media ini telah berusaha mengkonfirmasi pihak perusahaan melalui Misran selaku Kepala Divisi Humas PT Fatwa Bumi Sejahtera, mengakui bahwa ada warga lokal yang mengklaim kepemilikan lahan karena adanya aktivitas berkebun.

Meskipun secara hukum klaim mereka tidak sah karena berada di dalam kawasan hutan, perusahaan telah memutuskan untuk mencari solusi yang adil bagi masyarakat yang terkena dampak.

Sebagai bagian dari kebijakan tersebut, PT Fatwa Bumi Sejahtera telah memberikan kompensasi kepada warga yang memiliki fasilitas produktif atau tanaman perkebunan di dalam kawasan hutan.

“Masyarakat telah menerima uang kompensasi sebesar Rp 80 juta per hektar sebagai kompensasi atas tanaman yang ada di kawasan hutan. Selain itu, keluarga penerima kompensasi juga akan diprioritaskan untuk bekerja di dalam perusahaan,” ujar Misran.

Ia mengungkapkan bahwa melalui tindakan tersebut, PT Fatwa Bumi Sejahtera bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara rencana kegiatan operasional mereka dan keberlanjutan sosial di dalam kawasan hutan produksi terbatas. Perusahaan berkomitmen untuk melindungi masyarakat lokal dan menciptakan lapangan kerja bagi mereka.

“Keputusan ini mencerminkan pendekatan proaktif PT Fatwa Bumi Sejahtera dalam meminimalkan dampak negatif terhadap masyarakat di sekitar kawasan hutan. Perusahaan berharap melalui pemberian kompensasi dan kesempatan kerja yang adil, dapat tercipta keselarasan antara kegiatan bisnis dengan kelestarian lingkungan dan sosial di dalamnya wilayah kerja PT FBS,” pungkasnya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *