PENASULTRA.COM, KENDARI – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tenggara (Sultra) melalui tim evaluasinya beberapa waktu lalu meminta kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wakatobi untuk memperbaiki dokumen administrasi Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD)-nya.
Langkah ini dilakukan lantaran dokumen RAPBD Wakatobi ditandatangani oleh Pimpinan DPRD yang telah mengundurkan diri yakni Muhammad Ali.
Tak pelak, polemik keabsahan rancangan APBD 2019 Wakatobi ini mendapat banyak komentar dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari seorang akademisi, La Ode Muhram Naadu.
Tenaga Pengajar Ilmu Hukum disalah satu Perguruan Tinggi di Sultra ini menilai ada kejanggalan dipihak Pemprov Sultra dalam menyoal keabsahan RAPBD Wakatobi.
Menurutnya, anggota DPRD provinsi, kabupaten dan kota diberhentikan antar waktu jika menjadi anggota partai politik lain.
Hal ini sesuai ketentuan Pasal 139 ayat (2) huruf i dan Pasal 193 ayat (2) huruf i UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, serta Pasal 99 ayat (3) huruf i PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang pedoman penyusunan tatib DPRD provinsi/kabupaten/kota.
“Bahwa proses pemberhentian anggota DPRD harus dilakukan sesuai prosedur sebagaimana yang dimaksud. Pemberhentian ini adalah mengundurkan diri sebagaimana dimaksud Pasal 193 ayat 1 huruf b. Prosesnya dimulai dari pengajuan partai politik, kemudian melewatlibatkan stakeholder yakni pimpinan DPRD, bupati hingga gubernur yang mewakili pemerintah pusat,” beber Muhram dalam keterangan pers, Rabu 2 Januari 2019.
Kemudian, katanya, berdasarkan Surat Edaran Kemendagri Nomor 160/6324/OTDA, mengarahkan bahwa sejak penetapan daftar calon tetap (DCT), anggota DPRD yang mencalon dengan pindah partai tersebut tidak lagi memiliki status, hak dan kewenangan.
“Faktualnya, pengunduran diri Muhammad Ali notabene sedang diproses. Pun ia sudah berstatus DCT namun belum ada peresmian pengunduran diri Muhammad Ali dari Gubernur Sultra. Artinya secara prosedural pengunduran diri tersebut belum sah. Ia masih berkewenangan dalam mengesahkan dokumen RAPBD. Yang jadi dasar hukum itu ketentuan UU bukan surat edaran. Itu petunjuk, penjelas dari norma serta secara materil mengikat internal,” papar dia.
Sehingga dengan demikian, Muhram menegaskan, Muhammad Ali tidak cacat wewenang untuk pengesahan dokumen RAPBD. Sebab, pemberhentian dirinya masih diproses.
“Terkecuali sudah ada keresmian pemberhentian dari Gubernur yang mewakili pemerintah pusat. Ini menyiratkan ada miskordinasi di sana dan juga seolah mereka memahami dan menjadikan surat edaran sebagai dasar hukum. Manakala sudah ada peresmian pemberhentian dari gubernur, maka sudah tepat jika dipersoalkan perihal kewenangan pengesahan dokumen RAPBD tersebut,” pungkasnya (b)
Penulis: Yeni Marinda
Editor: Ridho Achmed