Oleh: Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H., M.H.
Siapa yang tak mengenal nama Lesti Kejora di belantara musik Indonesia. Sang jawara kompetisi dangdut yang berhasil direngkuhnya saat usianya masih sangat belia. Suara sang pendendang dangdut muda itu tak perlu diragukan lagi.
Belum lama ini pemberitaan tentangnya begitu masif diperbincangan. Kali ini bukan soal suara-cengkokkan yang mendayu-dayu saat menyanyikan lagu dangdut. Melainkan atas tindakan kekerasan yang dialaminya dari sang suami Rizky Billar yang juga seorang aktor muda.
Dicekik, dibanting, hingga dilempari bola billiar adalah bentuk tindak tanduk sang suami kepadanya. Bahkan kabar soal perselingkuhan sang aktor itu begitu kuat menyeruak.
Tak terima dengan tabiat sang suami, ia kemudian menggalang keberanian untuk melaporan suaminya itu ke Polisi.
Dan… “Buuum”…
Laporan Lesti itu sontak meledak dan memenuhi laman pemberitaan. Bahkan, pemberitaan KDRT yang dialami Lesti itu telah berhasil “menutup” pemberitaan pergantian Hakim Konstitusi Prof. Aswanto oleh DPR yang “inprosedural dan sewenang-wenang” yang telah jauh mengintervensi independensi Mahkamah Konstitusi.
Lesti yang memiliki fanbase yang cukup besar di Indonesia, mendapat banyak dukungan dan apresiasi atas keberaniannya “speak up” dan mengambil langkah hukum guna melaporkan sang suami dengan segala bentuk kekerasan yang telah dialaminya.
Musababnya, jika kita mencoba tracking kebelakang, perempuan-perempuan yang pernah mengalami kekerasan sangat jarang ditemui memiliki keberanian untuk “speak up” dan melaporkan apa yang dialaminya kepada pihak yang berwajib. Rasa takut, kebingungan, malu, aib, dan rasa cinta, adalah hal-hal yang biasa menjadi batu sandung hingga mengurungkan niat untuk meneruskannya ke proses hukum. Namun tidak dengan Lesti. Dengan penuh kepercayaan diri ia mencoba keluar dari bayang-banyang itu.
Kepolisian pun bekerja cepat. Laporan Lesti atas KDRT pun masuk ke tahap lidik. Disaat pihak berwajib sedang sibuk-sibuknya mengumpulkan bukti-bukti atas laporan itu, disisi yang berbeda penghukuman sosial terhadap Rizky Billar begitu gencar dan berjalan begitu masif. Nama Rizky Billar di ”hardik” seantero Indonesia. Bahkan media televisi dengan langkah sigapnya “mendepak” sang suami Lesti itu sebagai pembawa acara di salah satu stasiun televisi.
“TAK ADA RUANG BAGI PELAKU KEKERASAN!”. Tegas. Sikap Komisi Penyiaran Indonesia kepada semua lembaga penyiaran.
Tindakan kekerasan Rizky Billar terhadap isterinya tidak saja memberikan dampak yang cukup serius terhadap diri dan karirnya. Tetapi juga memberikan dampak secara psikologi terhadap kondisi suami-suami di Indonesia.
“Kamu mau jadi juga seperti Rizky Billar? Hah?” Dengan nada ancaman para isteri kepada para suami.
Bukti pun lengkap. Buah laporan polisi Lesti kepada sang suami dihadiahi dengan peletakkan “mahkota tersangka” di kepala Rizky Billar. Rompi “orange” pun dikenakan.
Gayung bersambut. Pasca ditetapkan sang suami sebagai tersangka KDRT, Lesti Kejora mengubah alur pikirnya. Ia lalu menyambangi Polda Metro Jaya untuk mencabut laporan yang telah bergulir pada tahap penyidikan. Publik pun riuh dengan sikap Lesti itu. Pencabutan laporan sebagai langkah mengakhir “drama” sang pedangdut.
Sisi Hukum
Dalam perkara pidana, suatu proses perkara dilakukan berdasarkan pada tindak pidananya (deliknya). Ada 2 jenis delik yang biasa digunakan, yakni delik biasa dan delik aduan.
Delik biasa (gewone delict) adalah delik yang dapat diproses langsung oleh penyidik tanpa adanya persetujuan dari korban yang dirugikan atas suatu peristiwa. Sedangkan delik aduan (klacht delict) sebaliknya, yaitu delik yang dapat diproses mesti dengan persetujuan dari korban yang dirugikan atas suatu peristiwa.
Perbedaan kedua delik tersebut turut menimbulkan konsekuensi terhadap pencabutan laporan. Pada dasarnya, pencabutan laporan itu hanyalah dapat dilakukan terhadap delik-delik yang terkualifisir ke dalam delik-delik aduan. Sedangkan terhadap delik-delik biasa tidak dapat dilakukan.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah “KDRT itu termasuk dalam delik mana? Apakah delik biasa ataukah delik aduan?”
Di dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang KDRT, kedua delik tersebut sebenarnya diakui keberadaannya. Tetapi delik aduan terbatas dan hanya ditujukan kepada bentuk kekerasan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan aktivitas (Pasal 44 ayat (4) dan Pasal 45 ayat (2)) dan terhadap tindak kekerasan seksual (Pasal 46). Di luar dari itu, maka termasuk dalam delik biasa.
Sedangkan jika melihat kondisi Lesti pasca mengalami KDRT itu, ia mesti mendekam beberapa hari di Rumah Sakit. Untuk itu, pasal yang disematkan kepada Rizky Billar adalah Pasal 44 ayat (1) UU KDRT. Notabene pasal tersebut tidak terkualifisir sebagai delik aduan. Melainkan termasuk ke dalam delik biasa. Atas konsekuensi tersebut, maka laporan atas KDRT sejatinya tidak dapat dilakukan pencabutan laporan.
Kendati demikian dalam penegakan hukumnya, ternyata terhadap delik-delik biasa itu dapat dihentikan proses pengusutan perkaranya ditingkat penyidikan dengan dasar “perdamaian”. Meskipun hal ini sejatinya telah menyimpangi ketentuan penghentian penyidikan di dalam KUHAP sebagai hukum pidana formil. Tetapi sejak berlakunya Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif penghentian penyidikan dengan dasar perdamaian dapat dilakukan.
Penghentian perkara itu tidak sekonyong-konyong begitu saja dapat terjadi. Mesti terpenuhinya lebih dulu syarat formil dan materiilnya. Perdamaian antara para pihak yang berseteru termasuk ke dalam syarat formil. Sedangkan salah satu syarat materiil yang mesti dipenuhi adalah bahwa peristiwa yang terjadi itu “tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan masyarakat”.
Berdasarkan hal tersebut, kemudian memunculkan pertanyaan. “Apakah kasus Lesti dapat dihentikan berdasarkan Perkap No. 8 Tahun 2021?”
Kiranya ini cukup menarik. Sebab, jika kita mengacu pada syarat penghentian penyidikan yang dilakukan dengan dasar perdamaian sebagaimana Perkap No. 8 Tahun 2021 itu, maka kiranya secara yuridis-normatif terhadap pencabutan laporan oleh Lesti tidak dapat dilakukan. Alasannya adalah pertama, KDRT bukan termasuk dalam delik aduan yang memberikan ruang untuk melakukan pencabutan laporan. Kedua, sekalipun telah terjadi perdamaian diantara Lesti Kejora dan Rezky Billar, tetapi kasus keduanya telah menyita perhatian publik yang cukup besar. Sehingga tidak memenuhi syarat materiil yang terdapat di dalam Pasal 5 huruf a Perkap No. 8 Tahun 2021. Dengan demikian, terhadap kasus KDRT yang dilakukan oleh suami Lesti itu mestinya terus berjalan dan tidak dapat dihentikan oleh Kepolisian.
Pelajaran
Rumah yang selama ini dianggap menjadi tempat paling teraman, justru bagi sebagian orang malah menjadi tempat yang paling mencekam dengan maraknya tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Begitulah pula kiranya yang dirasakan Lesti dan orang-orang yang pernah mengalaminya.
Terlepas dari itu semua, kiranya terdapat pembelajaran yang cukup berharga dari kasus KDRT yang dialami sang pelagu dangdut ini. Yakni soal “keberanian”nya keluar dari bayang-bayang yang tak banyak dapat dilakukan oleh perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan. Meski ujungnya ia luluh dan akhirnya mesti menutup mata dengan kembali memberikan secerca harapan. Tentu kasus Lesti ini menjadi preseden buruk atas penanganan kasus KDRT.
Namun begitulah “cyrcle of abuse” itu bekerja. Akan selalu tersedia upaya untuk “rekonsiliasi”. Para pelaku kekerasan akan menggunakan segala macam cara. Meminta maaf, rayuan, pembujukkan, memberikan kesempatan, bahkan termasuk “blames the victim” (menyalahkan korban).
Stop Violence Against Women!
Penulis adalah pemerhati hukum